Kebersamaan 3 jam. Luar biasa. Semakin bertambah rasa cinta pada beliau.
Mama, sosok yang paling sering terabaikan, duduk sekitar 3 jam denganku di meja kayu persegi panjang. Mama, sosok yang paling sering termaki oleh anak-anaknya lantaran nasihat-nasihatnya yang pada saat dulu memang belum bisa dimengerti –namanya juga nasihat, pasti bergunanya buat nanti-nanti toh? Mama, sosok yang sebenarnya ingin sekali menangis namun yang keluar darinya bukanlah air mata melainkan kata-kata dengan nada marah, yang tidak mau anak-anaknya tahu bahwa beliau sedang-atau mungkin selalu- bersedih saat anak-anaknya melenceng sedikit dari nasihatnya, yang lebih baik anak-anaknya mengetahuinya sebagai seorang yang galak daripada seorang yang selalu bersedih. Galak? Ya, siapa yang tidak takut dengan mama? Tanya saja kedua saudaraku. Tapi tanyakan itu pada waktu mereka masih kecil, masih SD. Sekarang, kami bertiga sudah bukan lagi anak SD. Sudah cukup bisa memahami bahwa mama seorang yang disiplin, bukan galak. Sudah cukup bisa mengerti betapa mama bersedih hati karena kami nakal, bukan hanya sekedar marah. Mama ingin kami jadi orang yang benar sekeluarnya dari rumah. Benar, berdasarkan pendidikan yang diturunkan dari eyang buyut ke eyang putri, dari eyang putri ke mama, dan dari mama ke kami. Bagaimana yang benar? Lihatlah aku nanti jadinya seperti apa, itu yang benar. Angkuh sekali aku bicara seperti ini? Tidak, itu bukan sekedar pernyataan, itu harapan, itu doa.
Aku seringkali bercerita mengenai banyak hal mengenai kehidupan, yang simpel menurutku tapi ada banyak yang bisa diambil. Dan dari cerita yang menurutku tidak sesuai dengan ajaran dan didikan orang tuaku, aku bahas lagi dengan mama. Aku yang tidak suka dengan cewek yang mencari cowok berdasarkan materi semata. Aku yang tidak suka dengan gaya hidup hura-hura tanpa bekerja. Aku yang tidak suka dengan pembelian barang mewah yang berlebih -kalau secukupnya, aku suka, lho *abaikan, hahaha*. Aku yang tidak suka dengan situasi yang memungkinkan untuk berbagi namun tidak dilakukan. Aku tidak suka dengan terlalu membangga-banggakan apa yang dia punya. Aku tidak suka dengan orang pintar –dan akhirnya jadi sok pintar di mataku- yang mendominasi dan serba mengatur segalanya –hei, dia siapa? Ga semuanya bisa dia atur kan? Semua hal itu aku bahas dengan beliau dan mendapat komentar dan juga senyum. Sama seperti hari ini, beliau berkomentar dan tersenyum, dan menangis.
Apa? Menangis?
Kalau kuingat-ingat, aku melihat Mama berkaca-kaca dan menangis selama hidupnya itu 2 kali. Pertama saat Kakung meninggal, dan kedua saat Kuti –panggilan untuk eyang putri- meninggal. Menangis karena ditinggal? Itu konsep pertama mengenai ‘menangis’ yang aku tahu. Saat itu aku masih SD, dan hanya tahu kalau menangis itu selalu berkaitan dan hanya berkaitan dengan kesedihan; saat dimarahi, saat jatuh, saat sakit, saat ditinggal. Maka aku tahu bahwa Mama menangis karena sedih ditinggal oleh Kakung. Menangis karena ikhlas? Itu konsep berikutnya yang kutahu dari tangis Mama saat ditinggal Kuti. Yang aku tahu, bukan lagi sekedar menangis karena kepergian orang yang kita cintai, tapi lebih dalam daripada itu. Atas semua jernih payah dan segala keikhlasan yang diberikan Kuti ke anak-anaknya, dan saat tanggung jawab itu sudah waktunya selesai dilaksanakan, maka ya sudah, giliran anak-anaknya yang mengikhlaskan.
Tapi, untuk kali ini, tangis Mama apa yang dimaksud?
Aku sendiri, awalnya keras terhadap reaksi menangis. Aku dulu tidak suka menangis. Tapi seiring dengan berkembangnya diriku dan menjumpai beberapa peristiwa dan tokohnya, aku mulai melunak. Aku mulai menikmati menangis. Menikmati setiap basahnya yang turun ke pipi –jangan lupakan nikmatnya menyeka ingus sebagai efek samping dari menangis :p- Aku mulai menangis, saat kekesalan yang terpendam memuncak, sungguh tidak tertahan lagi, ketika marah bukan lagi cara untuk menghadapi masalah, maka aku menangis…
Tunggu, inikah, maksud tangis Mama? Sama kah seperti konsepku? Saat kekesalan, segala beban yang harus ditanggung tidak bisa lagi, menangiskah?
Merindinglah aku dan seketika itu aku merasa sangat susah untuk bernafas. Sekuat itu kah Mama? Sudah berapa tanggungan saja yang bisa ia pikul selama ini, hingga baru kali ini aku melihatnya ia berair mata – dan bahkan itupun tidak sampai menangis sesengukan,melainkan masih bisa ditahan sambil mendongakkan kepala sedikit? Lelahkah Mama?
Kenapa, lalu, beliau memperlihatkan air mata itu di depanku?
Yang bagian ini aku belum tahu jawabannya. Yang jelas, aku benci melihatnya. Aku tegaskan, aku tidak suka melihat air mata jatuh dari matanya. Segala rasa langsung tertahan. Aku seolah mati. Aku benci, karena dengan melihat air matanya, aku melihat aku yang sampah.
Menangis kah beliau dalam diam? Seringkah?
Berarti mungkin benar yang kubilang tadi, ketika ia masih bisa marah, berarti ia masih bisa untuk tidak menangis di depan kami. Dan mungkin, karena beliau tahu aku akan benci, maka lebih baik ia tidaklah menangis di depan kami? Aku pernah mendengarnya berkata bahwa, saat sujudnya, ia menangis. Mendengar. Bukan melihat. Indera pengelihatanku rasanya lebih bisa menyerap banyak pelajaran ketimbang indera pendengaranku. Maka wajar, bila aku tidak tersentak ketika mendengar cerita bahwa beliau menangis saat sujud. Memang, ndablek, istilahnya aku ini. Makinlah aku tidak bernafas saat mengetikkan kalimat tadi.
Aku tahu, aku sudah sangat merepotkan beliau, sudah sangat ndablek, sejak masih di dalam tempat paling suci di dunia, di rahimnya. Aku selalu berputar di dalamnya, dan baru kutahu setelah besar bahwa itu menyakitkan. Aku juga memaksanya memilih menyelamatkan aku atau dirinya atau pilihan C: selamat keduanya. Dan syukur alhamdulilah, kami berdua selamat, lewat operasi caesar. Wajar jika beliau menangis? Ya! Beliau kesakitan! Tapi apa, kutanya Papa, tidak tuh…
Beranjak besar, semakin aku menjadi nakal, luar biasa nakal. Mulai dari naik ayunan dan terjatuh dari sana, ngisengin teman lain, berbohong, banyak cerita tentang kenakalanku. Menangis kah dia? Tidak. Yang ada hanyalah aku, yang selalu menangis saat dimarahi, tapi untuk nakal lagi. Air mataku, air mata buaya; gampang keluar, gampang lagi masuknya. Bukan demikian dengan air matanya. Suci. Bukan sembarang air yang bisa dikeluarkan dan dibuang-buang. Maka aku tidak pernah melihatnya menangis. Dan kalau kuingat lagi tentang ceritanya saat sujud tadi, maka semakin yakinlah aku bahwa air mata itu suci, karena hanya diperlihatkan olehnya kepada yang Maha Suci.
Dan tadi beliau menangis, apa itu tadi?
Kemarilah, dan biar kupeluk Mama…
*
Kalau begitu, kisah ini tidaklah sama lagi. Ya, awalnya ini hanya sekedar perbincangan anak dan ibu, seperti biasa, aku sudah beberapa kali melakukannya dengan beliau. Tapi ketika air mata itu menimbulkan efek bercermin di matanya, ini bukan lagi sekedar-sekedar lagi. Ini adalah sebuah renungan yang sangat mendalam dari seorang anak, seorang cucu.
Tahu apa yang pertama kali terlintas saat itu? Aku akan kehilangan Mama. Gatau kenapa, pikiran seram itu malah yang terlintas. Aku takut. Lupakan saja pikiran ini.
Yang kedua terlintas adalah aku bangga, karena Mama mau membaginya padaku. Dan air mata yang kulihat tadi, yang kubilang benci tadi, aku anggap sebagai anugerah. Aku beruntung bisa melihat air mata suci itu. Aku bangga karena aku mendapatnya dari orang yang paling kucintai dalam hidupku. Orang yang dicintai tidak selalu harus bagus kan? Aku pernah tidak menyukainya, lebih karena aku sebagai anak dibimbing ke arah yang benar, dan yang benar itu sering kali tidak menyenangkan. Aku pernah juga bersedih karenanya, saat kata-kata itu keluar dari mulutnya dan merobekku tepat di hati. Tapi aku cinta padanya. “Setiap kata adalah yang harus dibayar”, katanya. Maka ketika aku mengatakan aku mencintainya, aku harus membayarnya dengan kongkret, dengan mencintainya. Memang tidak akan pernah mencapai titik pertengahan, di mana yang diberi sama dengan yang didapat; mustahil. Mendapat kesempatan untuk mencintai orang suci itu, kusadari sekarang adalah anugerah, sungguh.
Yang terlintas ketiga adalah pusing. Ya, berkecamuk sekali pikir ini. Biarlah dulu ia terurai sementara renungan ini dibiarkan menggantung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar