Senin, 10 Februari 2020

tempat pembuangan



Perempuan datang ke tempat pembuangan. Membawa serta anak pilihannya. Ia datang dengan perasaan cinta yang meletup-letup. Tampak nyata letupannya menyala di dalam matanya yang membara.

Anak laki-lakinya bertubuh lebih besar dari perempuan itu. Padahal usianya terpaut tiga puluh dua tahun. Apa memang anak zaman sekarang memiliki gizi yang lebih baik, atau memang kehidupan sedemikian menguras raga si perempuan hingga ciut.

Tibalah perempuan itu di tempat yang pada akhirnya ia beranikan langkahnya untuk ke sana. “TEMPAT PEMBUANGAN” terpampang jelas kali ini. Bukan hanya di batas ingin dan ragunya lagi. Satu kaki tertahan di depan papan itu, seperti menahan agar tidak lagi maju. Namun sebelah kakinya sudah berancang-ancang untuk terus. Bagaimana ini, mengapa dua kaki dan satu hati tidak pernah benar-benar bisa membantu menghadapi situasi yang dilematis?

Belum habis dia berpikir, anak lelakinya yang tadi menggandeng tangannya kini melepas tangan dan tanya, “Bunda, tempat apa ini?”

*

“Dia, adalah anak saya juga,” tuturnya dengan sangat jelas, tanpa getar tidak yakin, dan penuh keikhlasan. Hampir enam tahun aku menjaga tempat pembuangan ini, baru kali ini kujumpai seorang ibu yang sedemikian tangguhnya. Tidak terbayang sudah berapa air mata yang mengalir dan mengering, hingga lajur-lajurnya mencipta raut muka tegar di wajahnya. Namun, matanya tetap teduh. Baru kali ini, mendadak aku merindukan ibuku yang ada di kampung sana.

Anak lelakinya sedang melakukan pemeriksaan kesehatan dulu di ruang yang lain.

“Mengapa Ibu ingin membuangnya?” tanyaku.

“Tidak. Bukan dia yang ingin saya buang. Tidak lagi.”

“Maksud Ibu?”

Lalu ia ceritakan tentang kehadiran anak lelakinya itu. Anak laki-laki yang datang bukan dari rahimya. Anak laki-laki yang bukan buah cintanya –bahkan pada saat itu ia belum berani bercinta! Anak laki-laki yang datang atas campur tangan orang lain dan Tuhan. Anak laki-laki yang pernah merasai air susunya pada usia 2 tahun –air susu pertama yang anak laki-laki itu ingini dan pada akhirnya ia teguk.

“Dia, adalah anak saya juga,” tuturnya lagi. Hampir di setiap cerita, kalimat itu meluncur bagai iklan yang tidak pernah bosan dan tidak tahu diri. Sebagaimana iklan, barangkali kalimat itu ia buat untuk meyakinkan dirinya sendiri, pada setiap babak dan hari-hari bersamanya.

Ali. Anak lelaki itu.

Anak laki-laki yang tidak mau menyentuh tetek ibu kandungnya saat inisiasi dini. Ia malah meronta dan rewel, menolak merasai puting ibunya. Ibunya sudah diminta untuk meminta maaf padanya, sembari melakukan pendekatan agar mau menyusu. Sejak dua hari kelahirannya, ia terus menerus diasupi susu bubuk, biar bertahan hidup. Meskipun menurut cerita, tidak perlu diasupi susu pun dia akan tetap hidup dan jalan hidupnya yang terjal masih akan panjang.

“Sekarang, pada aktenya, ibunya adalah saya. Maka, saya adalah ibu dari anak laki-laki ini. Dan tidak ada seorangpun yang bisa meniadakan hal ini. Termasuk kenyataan sekalipun,” tegasnya.
Anak laki-laki ini masih hidup di bawah bayang-bayang kenyataan yang disuguhkan oleh bundanya. Bunda dan ayahnya, dengan kedua adiknya. Anak laki-laki ini hanya mengenal bunda sebagai ibunya dan ayah sebagai ayahnya. Ayah dan bunda yang teramat menyayanginya. Ia belum perlu tahu bahwa ia adalah anak hasil sisa keriaan dan kesia-siaan.

Namun kehidupan selalu berjalan paralel. Kenyataan yang dibuat oleh sang bunda, nyatanya beriringan dengan kenyataan yang dialami oleh si anak laki-laki sendiri. Ia telah terlatih untuk membangun dunianya sendiri. Sendiri. Tanpa kenal perasaan. Karena hidup secukupnya sudahlah sangat cukup.

Manusia pertama yang ia tolak adalah ibunya, manusia pertama yang menolaknya.

Garisan darah dan ikatan batin, misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Tumbuh besar mendewasa meski belum matang, bundanya kemudian mengantarkannya pada sebuah pertemuan yang dibuat-buat. Acara keluarga, katanya. Sebagaimana acara keluarga, menjaga adab adalah warisan. Bisa dengan memanggil nama sebutan tetua atau bisa dengan salim dan mencium tangan. Kepada semua paman dan bibi ia diperkenalkan. Maklum, hampir tujuh tahun tidak kembali ke kampung halaman, tentulah yang ada diingatan para tua itu hanyalah waktu masih gadisnya saja.

Ada satu bibi yang ketika diperkenalkan, anak laki-laki itu malah bersembunyi di balik bundanya. Seperti ketakutan. Rasa takut dengan keasingan yang demikian familiar, bisa dirasakan olehnya. Disuruhnya anak laki-laki itu bersalaman saja, tetapi ia menolak. Tidak mau, katanya. Lalu ia pergi, bermain dengan para sepupu.

Sang bunda terdiam setelahnya. Demikian juga dengan sang bibi –yang adalah ibu kandung si anak laki-laki.

Terputar kembali peristiwa tahunan lalu saat si bocah masih jabang bayi, masih meringkuk tidak berdaya di dalam rahim ibunya. Diminuminya ramuan herbal yang bisa membahayakan kandungan, ditendanginya perut ibu oleh si nenek, dua itu saja yang mampu diceritakan oleh ingatannya. Percobaan pembunuhan. Toh si jabang tidak mati. Sembilan bulan kemudian ia lahir normal. Sempurna. Dengan membawa kerapuhan di sana dan di sini.

Rapuhnya membuatnya terancam sekaligus kuat. Ia adalah anak laki-laki paling ganas di kelasnya, semua anak takut padanya, tidak berani macam-macam. Ia adalah anak laki-laki yang tidak mau dipeluk dan tidak mau dibelai. Rasa cinta buatnya adalah omong kosong. Hidup buatnya adalah tuntutan.

“Tapi dia, adalah anak saya juga.”

Sebuah hubungan rumit yang sulit dijelaskan, apalagi soal perasaan-perasaan terdalamnya.

“Saya teramat menyayanginya,”katanya, meskipun ia tidak tahu apakah perasaan itu akan sampai.

*

Sepulangnya perempuan dan anaknya, tempat ini begitu lengang. Padahal, bukankah baru saja segala 
tumpah ruah kepahitan hidup baru saja dibuangnya di tempat ini?


Minggu, 09 Februari 2020

Sungguh-sungguh Menjadi Bagian dari Alam



Bertahun menjalani hidup sebagai seorang manusia rupanya lebih banyak membawa pergumulan tentang masalah diri. Apakah aku bahagia, mengapa aku diberi nestapa, bagaimana rasanya dicintai, salahkah jika aku merasa kecewa, dan lainnya. Aku, aku, dan aku. Wajar, toh? Manusia memang keakuannya tinggi, mampu mengakui, dan mampu mengaku-aku.

Perjalanan kemudian membawa pada rasa sepi yang menakutkan. Tidak menjadi bagian penting di hati manusia lain, merasa tertolak dan terbuang, kemudian merutuki diri sendiri.

Di saat yang sama, bumi sedang menahan sakit dan mengerang dengan pelan. Erangan yang baru kemudian terdengar, meski samar. Untuk bisa mendengarnya lebih jelas, manusia ini perlu meletakkan telinganya lebih lekat dengan tanah, karena dekat saja tidak cukup.

Maka, manusia lepaskan segala yang melekat di tubuhnya, kemudian merapatkan tubuh telanjangnya kepada bumi. Tampilannya seperti ritual-ritual animisme yang sudah tidak populer lagi. Ketika merebahkan kepala dan menempelkan cuping telinganya pada tanah, ada sebuah rasa rindu yang asing.

“Ke mana saja kamu?” tanyanya.

Tiba-tiba air matanya meleleh jatuh menyamping, mendekati telinganya. Barangkali tanya itu memberinya perasaan telah ditemukan –aku sendiri tidak tahu lagi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Seperti seorang anak sekolah yang tersesat di pusat perbelanjaan dan ditemukan oleh ayahnya yang kelimpungan mencari ke sana kemari. Seperti seorang lelaki yang mengembara ke penjuru angin lalu angin malah membawanya kembali ke rengkuhan istrinya yang kehilangan.

Pulang.

Usai air mata reda. Ia biarkan jejaknya mengering di antara mata dan telinganya. Biar ada jejak dari kerak-kerak itu.

*

Kehidupan barunya setelah itu ia isi dengan lebih berpikir. Tidak lagi tentang keakuannya, melainkan tentang kemanusiaan. Sebab manusia tidak hanya semata aku; ada akal, dan ada alam semesta.

“Katanya, segala yang baik itu akan terurai. Katanya yang lain lagi, kebaikan itu akan abadi.”

*

Bulan pertama, ia sediakan tempat untuk memilah sampah rumah tangga. Bulan pertama, ia jadikan tanah sebagai lubang untuk terurainya bahan alami. Bulan pertama, ia siapkan komitmen untuk air matanya sendiri.

Belajar tentang biopori dan lubang kompos, belajar soal jenis-jenis sampah, belajar jenis-jenis pengolahan sampah, belajar mengurangi penggunaan barang berpotensi sampah plastik, belajar untuk lebih disiplin, dan belajar untuk menyosialisasikan gerakan kepada anggota keluarga.

Tentu masih banyak eror yang terjadi.

Ada saja sampah plastik yang sudah dikumpulkan ternyata malah dibuang ke tempat sampah juga. Alasannya karena ketidaktahuan dan pemikiran bahwa semua sampah pastik akan diserahkan kepada pemulung. Padahal tidak semua plastik bisa didaur ulang.
Tetap saja masih ada sampah campur yang tersisa di akhir hari. Alasannya karena terlalu malas untuk memisahkan plastik sekali pakai dengan bahan makanan yang melekat di dalamnya. Padahal bisa dicuci terlebih dahulu.

Namun semua eror itu perlu terjadi.

Memasuki bulan kedua, ia belajar untuk menerapkan ecobrick. Sampah sachet-an, yang berkontribusi sangat besar terhadap pencemaran alam dan penumpukan sampah, adalah jenis plastik yang tidak bisa terurai. Maka, ia endapkan sampah plastik yang tidak bisa terurai itu ke dalam botol mineral kemudian dimampatkan hingga padat.

Lagi, belajar lagi, dan masih melakukan kesalahan. Ada teknik yang luput diperhatikan sehingga beratnya belum mencapai bobot standar ecobrick. Idealnya, 600 ml botol air mineral bisa disesakkan oleh potongan plastik-plastik itu seberat 200 gr. Sementara, botol sudah penuh meski bobotnya baru 100 gr. Tidak apa, minggu-minggu ke depan, bisa diperbaiki.

*

Alam masih meraung barangkali. Akan tetapi di tanah ini, lebih banyak geliat sukacitanya.
Dan manusia, tidak lagi resah soal kesepiannya.



Senin, 15 Oktober 2018

Berjiwa




“Ke mana kita hari ini?” adalah sebuah tanya yang akan membawa kita pergi, entah melangkahkan kaki berkelana atau sekadar membuat pikiran melanglang bertualang. Empat hari yang lalu, pertanyaan itu mendorong saya untuk pergi sangat jauh, melampaui batas langit.

Pagi itu saya keluar rumah dengan membawa dua tas, satu tas ransel diisi dengan air minum satu liter, roti, dompet, telepon genggam, dan alat-alat kecantikan (baca: bedak biar ga tampak kucel, deodoran dan semprotan pewangi tubuh biar ga menyiksa orang), dan satu lagi tas jinjing imajiner diisi dengan kekosongan. Setiap kali saya bepergian, saya seringkali merasa perlu membawa dua sisi yang pada diri saya itu. Satu sisi cukup persiapan sesuai rencana, berjaga-jaga kalau-kalau di perjalanan saya butuh mengandalkan diri saya dengan apa yang saya punya. Sementara satu lagi, sisi yang cukup legowo, kalau-kalau di jalan, yang saya butuhkan ternyata bukan apa yang saya punya melainkan apa yang saya tidak punya.

Tukang ojek yang ramah, senyum sahabat yang cerah, dan kereta pagi yang parah, adalah tiga hal pertama yang menyambut saya dengan sukacitanya. Tentang tukang ojek dan sahabat, tidak perlu kita bahas panjang lebar di sini ya, lagipula, adalah hal yang mudah untuk merasakan kebaikan dari hal yang memang sudah tampak baik, bukan begitu?

Nah, tentang kereta pagi yang parah dan sukacitanya. Bagaimana agar bisa melihat kebaikan dari setiap keganasan dan kebrutalan yang terjadi di depan mata? (saya berlebihan kok ini, maklum, bawaan nyeri pinggang pasca berdesakan di dalam gerbong!) Hari itu, sebelum saya tiba pada batas langit, terlebih dahulu saya mesti berhasil melewati ujian hidup di kereta pagi. Mirip-mirip perjalanan Buddha, ada hal-hal keduniawian yang perlu saya tapiskan dan teguhkan untuk kedamaian yang lebih tinggi. Maka kemudian di dalam pikiran, gerbong kereta wanita di kereta pagi berubah menjadi arena pertarungan kungfu. Sejujurnya, saya tidak punya dasar teknik kungfu, kalaupun ada teknik dasar, ada ajaran karate waktu SD yang terpendam di memori-memori bawah sadar. Saya hanya suka membaca cerita-cerita kungfu, membuat saya punya gambaran tentang bagaimana kungfu dan kebijaksanaan-kebijaksanaannya, paling tidak itu yang masih menggantung di alam sadar saya. Jadi saya coba untuk menjadi air, belajar mempraktikkan kebijaksanaan air tentang kontrol dan batas diri: untuk tidak memaksakan diri bertahan (khawatir nanti malah menyakiti diri) dan tidak juga menyusahkan orang lain (tidak sepenuhnya bertahan pada diri bukan berarti bersandar seenaknya pada orang lain). Saya bisa menyatakan diri lulus dengan predikat “cukup memuaskan” dari sebuah babak kereta-pagi-dari-Bogor-menuju-Jakarta-di-gerbong-wanita. Saya keluar di Stasiun Sudirman tanpa ada luka luar, sedikit nyeri di titik pinggang dan lutut (oh tidak!), dan tanpa sakit hati yang banyak (meski masih ada beberapa pertanyaan tentang perilaku berkereta manusia).

Stasiun Sudirman yang selalu sibuk, menyapa manusia-manusia yang menggantungkan kakinya di sana. Barisan para pekerja itu saya lewati, bukan hanya karena berbeda jalur antrian, melainkan karena saya tidak sedang menjadi pekerja hari itu. Hari itu saya adalah penonton.

Keluar dari lorong stasiun, kami memilih untuk menggunakan bus Kopaja saja, daripada bus TransJakarta. Langsung duduk di jok Kopaja yang berhenti sembarang di tepi jalan dan tidak mesti berjalan kaki lagi menuju halte adalah pilihan terbaik setelah berjuang di dalam kereta. Pembenaran.

Dalam perjalanan, masuk seorang pria tua berusia sekitar 50-an dengan penampilan tunawisma, berkemeja hitam lusuh, berambut ikal putih. Tidak ada kata sambutan seperti penampil lain, yang meminta izin dan meminta rezeki. Beliau memulai pertunjukan dengan menepuk-nepukkan tangannya, membuat tempo sekaligus intro. Lalu meluncurlah nada demi nada Sweet Child O' Mine ciptaan Guns N Roses. Suara tinggi, pejaman mata, dan tepukan dari tangannya. Indah. “Siapa orang ini?” Begitu magisnya, caranya menjaga eksistensinya. Saya masukkan pria tua itu ke dalam tas kosong. Pria tua itu adalah hal pertama yang saya bawa pulang. Untuk nanti saya ingat-ingat bahwa menjadi adil mulai dari pikiran sungguh memanusiakan yang lain. Tidak mudah memang, namun bisa dimulai dengan paling tidak meyakini bahwa setiap orang punya cerita, kemudian membiarkan waktu beberapa saat, memberikan kesempatan, dan menjawab pertanyaan.

Tibalah kami di Gelora Bung Karno, tempat Soekarno dulu mengajak kita semua membentuk MANUSIA BARU INDONESIA. Kini, Asian Para Games 2018 diselenggarakan di tempat ini, menghadirkan surga di atas bumi, di mana segalanya boleh terjadi bagi siapapun; menunjukkan sebuah miniatur kota baru yang menandakan masyarakat kita siap inklusif, setiap orang siap mempersilakan orang lain melihat dunia yang sama dari mata yang berbeda.

Apa saja yang bisa didapat dengan 100 ribu rupiah harga tiket terusan? Keriuhan di setiap lokasi pertandingannya dan di dalam kepala saya. Riuh yang tadinya jauh perlahan-lahan mendekat, sampai-sampai saya tenggelam bersamanya.

Stadion GBK adalah lokasi pertama yang kami injak. Cabang olahraga atletik, lari 400m. Atletnya buta. Dari jauh sudah saya lihat tiga pasang peserta, atlet dan pendampingnya, bersiap-siap di setiap lajur. Ada yang berlatih dua tiga langkah lari, ada yang meregangkan tangan dan kakinya. Sebentar lagi pertandingan dimulai, keenam peserta bersiap di lajur. Pertandingan dimulai. Berlari, berpasangan, dengan tangan terikat, mengitari lapangan hijau. Barangkali dari ikatan pada tangan ke tangan itu, mereka melakukan sinkronisasi, bersama-sama dan saling berbagi data tentang langkah, ritme, dan laju yang mesti dipacu, dengan sangat cepat. Kalau pernah menyaksikan masquerade di televisi, secanggih itulah yang ditunjukkan oleh setiap peserta. Diri dan bayangan, sama persis, tidak ada cela sedikitpun. Lari dengan kecepatan yang dipercepat, gerak tangan dan langkah kaki yang serima, belok ke kiri dengan tepat di setiap tikungannya. Hingga 400m terlibas dan tiba di garis akhir, dengan catatan waktu di bawah satu menit. Diri dan bayangan saling berpelukan, ada juga yang menepuk-nepukkan tangan di pundak. “Kita menuntaskan ini dengan baik, kawan.” Hangat mengaliri sekujur tubuh menyaksikan mereka berlari. Jelas mereka mampu berlari sendiri, lebih jelas lagi, akan ada saja orang-orang yang tidak akan membiarkan mereka berlari sendiri dan menemani.

Setelah ikut merasakan satu kemenangan dari stadion, kami sedikit berlari membawa semangat itu berpindah ke lapangan voli duduk, di mana tim Indonesia akan bertanding melawan Jepang memperebutkan medali perunggu. Kami menuju bangku penonton bersamaan dengan persiapan atlet memasuki lapangan. Setelahnya kami masih sempat berdiri bersama menyanyikan Indonesia Raya dan menghormati Kimigayo. Masih lekat di ingatan bagaimana rasa haru dan bangga yang saya rasakan menyatu bahkan sejak awal melihat para atlet di depan mata. Para atlet berdiri gagah baik dengan satu kaki atau berdiri ditopang penyangga kaki dan kaki palsu. Selesai lagu nasional masing-masing diperdengarkan, pertanda pertandingan akan dimulai. Atlet memasuki lapangan dengan lincah. Beberapa dengan langkah pincang, yang lain meloncat dengan satu kakinya, dan ada juga yang berjalan menggunakan pantat dan tangannya. Pertandingan berjalan dengan sangat menarik, banyak warna yang saya lihat. Pukulan-pukulan yang dahsyat, penempatan bola-bola yang cerdik, pertahanan yang ketat, dan yang paling menarik menurut saya adalah kelincahan para atlet bermobilisasi di dalam lapangan. Dalam posisi duduk mereka mendorong dan mengupayakan diri agar bisa berada pada posisi yang tepat untuk menangkap bola.

Adegan lain yang juga saya simpan adalah ketika pergantian lapangan, setelah selesai satu babak. Perpindahan dari dalam lapangan keluar dilakukan juga dengan cekatan. Beberapa langsung mengangkat tubuhnya berdiri dan melesat menuju pinggir lapangan, beberapa memilih menyeret dan mengayunkan tangan sebagai kaki, dan dua di antaranya memilih kawan setimnya sebagai kawan jalannya. Sambil saling merangkul pundak, mereka berdua bergantian melangkah, menjadi kaki bagi satu sama lain. Di antara ringan langkahnya, ada juga senyum yang saling dilemparkan di tengah raut wajah serius yang mengevaluasi performa pada babak sebelumnya. Pada akhirnya, Indonesia kalah atas Jepang, namun saya tidak kecewa. Hal ini lebih dipengaruhi oleh kekosongan yang saya tenteng, daripada rasa nasionalisme yang kurang atau kurangnya empati terhadap perjuangan atlet kita. Mereka telah menunjukkan kepada kepala saya yang keras ini. Entah berapa kali mereka mengalami kekalahan dalam hidupnya, dan berkali-kali itu juga mereka menangis untuk kembali menciptakan makna.

Sambil mengantongi kekalahan, sepaket dengan penghargaan terhadap upaya dan perjuangan para atlet, kami keluar dari arena pertandingan voli dengan rasa bangga. Senyum, kekaguman, dan cerita mengalir di antara kami. Entah ada cerita apalagi di lokasi berikutnya. Istora Senayan.

Setelah mengisi perut di bawah pepohonan rindang di atas tanah tandus kekeringan, kami menuju lokasi pertandingan bulutangkis. Olahraga kebanggaan masyarakat Indonesia. Olahraga yang dulu sempat singgah menjadi mimpi saya. Masuk ke dalam Istora, sebagian besar bangku penonton sudah penuh, kami harus mencari-cari sisa bangku. Siang itu, Indonesia mengirimkan banyak perwakilannya di beberapa nomor. Hal ini yang menambah riuh suasana di bangku penonton. Seorang pendukung meneriakkan nama Indonesia dan segera disambut oleh tepukan balon-balon. Dari tempat kami duduk, saya bisa menyaksikan lima pertandingan sekaligus di setiap lapangan bulutangkis. Dua lapangan dikhususkan bagi atlet berkursi roda, tiga lapangan lain diisi dengan atlet yang mengalami cacat di tangan atau di kaki. Pemandangan itu segera menawan saya. Bola mata berlarian acak melihat pertandingan di mana-mana, berloncatan dari satu lapangan ke lapangan lain. Setiap ada kok yang mati, otomatis mata mencari lapangan yang bolanya masih hidup dan bergulir. Tidak fokus memang dan beberapa kali saya merasakan lelah menontonnya.

Di saat lelah itulah, saya menemukan oase. Sebuah pemandangan yang hangat dan bersahabat dari area khusus penyandang disabilitas yang membutuhkan pendampingan. Di sana ada mereka, siswa SDLB dengan beragam cacat yang menghidupinya. Saya ikut terlarut melepas lelah ketika mata terarah pada seorang anak yang mengantuk di kursi rodanya, menempelkan kepalanya pada sandaran dan memejamkan mata. Di deretan belakangnya, dua orang anak buta asyik bercengkrama. Untuk bisa mendengar apa yang disampaikan, seorang anak perlu memiringkan kepalanya, lalu dia tertawa. Beberapa saat kemudian, terdengar sorakan nama Indonesia, membuat percakapan mereka terhenti. Anak perempuan itu diam sejenak, mendengarkan. Tidak lama kemudian, ia menepukkan tangannya mengikuti irama tepukan balon-balon di sekitarnya, dan mulutnya meneriakkan INDONESIA, sambil tertawa kecil. Ah, lihatlah anak-anakmu, Ibu Pertiwi. Di belakangnya lagi, ada siswa dengan hydrocephalus. Seorang anak laki-laki yang lebih sering diam dan mengamati dengan tatap muka datar. Raut muka yang tiba-tiba menjadi berseri ketika seorang atlet tunggal putra Indonesia yang berhasil memenangi pertandingan melemparkan bungkusan baju ke arah bangku penonton siswa-siswa itu. Dia ikut berdiri menyambut kemungkinan, dan tetap tersenyum selebar tiga jari sekalipun baju tersebut tidak ia dapatkan. Ya, mereka pantas mendapatkan apresiasi juga dari para atlet, yang saling mendapatkan dukungan dari kehadiran dan energi mereka. Saya beruntung, bisa merasakan jalinan energi dan kebaikan dari dalam Istora.

Meninggalkan gegap gempita dan sorak-sorainya, kami beralih ke lapangan yang jauh dari keramaian, mengumpulkan cap lain di tangan dari olahraga lawn balls. Olahraga yang baru buat saya ini mengajarkan lagi bagaimana menjadi penonton yang beretika, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Olahraga yang membutuhkan konsentrasi dan kecermatan tidak boleh diusik oleh suara yang terlalu berisik. Ketenangan itu membuai saya, apalagi hari mulai sore dan semilir angin mulai kencang. Saya mengantuk! Sampai tiba satu teman baik saya, psikolog timnas lawn ball Indonesia. Darinya, saya tahu tentang lawn balls, tentang peran psikolog dalam mendampingi kesiapan dan ketidaksiapan atlet, dibagikan cerita perjuangan beberapa atletnya, dan menangkap keseruan yang ia rasakan selama tinggal di wisma atlet. Merinding mendengarnya. Dia bilang, “Ini tempatnya psikolog pendidikan.” Bersamaan dengan itu, di bangku penonton deretan depan tampak sepasang muda-mudi saling berbagi cerita dengan bahasa isyarat, di bangku penonton sederet dengan saya seorang pria buta didampingi tiga orang muda bercakap-cakap, di sisi tribun yang lebih jauh tampak seorang artis ibu kota bertepuk tangan. Sementara di lapangan lawn balls, empat orang atlet berembuk menentukan skor pada putaran tersebut, yang dua berbadan kerdil, yang satu sedikit pincang, satu lagi bertangan satu. Saya mengangguk membenarkan, sambil dalam hati menyambungnya, “Ini tempat buat kita semua.”

Layar lebar di hadapan saya menunjukkan keadaan langit di atas kawasan GBK, sudah mulai berwarna gelap dengan matahari merah jingganya semakin matang. Setelah berpamitan, kami melanjutkan petualangan yang penuh kejutan. Pemberhentian berikutnya adalah arena akuatik.  Menjelang senja di arena renang adalah waktu final untuk beberapa nomor. Kami datang lebih lambat, kursi penonton sudah penuh semua. Sisanya adalah di sisi jauh, di situlah kami berdiri. Awalnya perlu berjinjit agar bisa lebih puas menyaksikan para atlet memulai dorongan pertama. Sudah berjinjitpun, tetap saya tidak bisa melihat secara langsung siapa yang lebih dulu tiba di garis akhir karena terhalang tembok. Saya terpaksa menonton dari layar lebar. Seperti di rumah. Tidak. Tidak seperti di rumah. Saya bersama puluhan pendukung lain yang datang menyaksikan perjuangan para atlet secara langsung. Atlet yang berenang tanpa kaki, sangat mengandalkan kekuatan tangan dan otot tubuh bagian atas, membuat siapapun yang melihatnya otomatis menggerakkan otot bagian pergelangan dan telapak tangannya untuk membuat gerak tepukan. Berkali-kali. Mulai dari awal dorongan awal, hingga sentuhan tangan di garis akhir. Berlaku bagi seluruh atlet yang menyelesaikan pertandingan, yang tercepat maupun yang terakhir. Tenggorokan saya seperti kering, ada rasa yang tertahan, sekalipun air mata di hati saya menderas. Seperti tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Momen mengharukan. Ada kalanya, ketika tidak ada menang dan kalah pada setiap perjalanan, yang ada hanya setiap jiwa akan tiba pada waktunya. Para atlet telah menunjukkan bahwa kita menyelesaikan apa sudah kita mulai, menggenapi kesempatan yang dijanjikan. Para pendukung telah menunjukkan bahwa kita merayakan apa yang kita hidupi.

Setelah beberapa atlet dipanggil ke podium untuk penyerahan medali, kami beranjak dari area akuatik, meninggalkan perayaan yang membahagiakan. Malam sudah sempurna, begitu juga dengan anginnya. Masih ada apa lagi di sini? Satu lagi harta karun datang dari olahraga kursi roda bola basket.

Di hall basket, kami bisa duduk di deretan yang dekat dengan para atlet, berjarak sekitar 6 meter, tinggal berjalan sedikit untuk menepuk pundak si atlet lalu berkata “you go, girl!” Sambil duduk manis, saya menyaksikan pertandingan berlanjut pada quarter ketiga. Alot sekali, beberapa kali kursi roda beradu. Dua dari sekian kali itu membuahkan hasil salah satu atlet terjerembap, dengan posisi masih duduk di kursi roda. Pemandangan yang menyakitkan buat saya, mungkin juga buat pada atlet itu. Tanpa memandang lawan atau kawan, atlet yang ada di dekatnya segera mendekati dan membantunya. Dengan bantuan tersebut, si atlet juga perlu memelantingkan tubuhnya ke belakang agar mendapat daya dorong yang cukup untuk bisa tegak kembali. Setelah itu, seperti melupakan peristiwa jatuh, mereka berlarian lagi, memutar roda-rodanya, meluncur dengan cepatnya dari satu sisi ke sisi lapangan lain, membangun serangan. Mereka ini tidak ada matinya, mengalirkan bola, merebut bola, melakukan pelanggaran, membuang bola sia-sia, dinamika yang disaksikan pada setiap olahraga. Saya selalu mengagumi dan menaruh hormat pada atlet sebab mereka memiliki jiwa yang tidak biasa. Hingga sirine panjang menjadi tanda selesainya pertandingan di quarter keempat.

Malam semakin panjang, seperti menolak sejenak untuk besok, namun rumah menunggu pulangnya kita. Dengan kondisi tubuh yang lelah, kami memutuskan pamit dari kawasan GBK. Persediaan air dan roti habis sudah, tas ransel saya ringan sekarang. Sementara tas kosong imajiner saya, penuh. Banyak yang terekam dan masuk ke dalamnya diam-diam. Keseluruhan hari ini seperti satu hal yang perlu masuk ke dalam daftar “101 hal yang dilakukan sebelum mati: menonton pertandingan atlet yang cacat fisik”, dengan catatan tambahan dari saya, “nikmati segala aspeknya, biarkan mereka menarikmu, membawamu larut, menerbangkanmu ke langit, dan memulangkanmu pada yang sejati.”



Sabtu, 17 September 2016

Setiap Kita


Pernah ada masanya, rahasia adalah jarak bagi kita. Sedekat apapun kita berdiri dan berpeluk, ada satu ruang di aku dan di kamu yang menjadikan kita bukanlah pijakan untuk kuat masing-masing, juga bukan sebuah pelabuhan bagi lelah masing-masing.

Masa-masa itu,senyum kita tidak selebar bentang sayap rajawali, kata-kata kita tidak sejujur rasa sakit. Berbalut canda, rahasia tetap menyimpan dirinya.

Apa-apa yang terus tersimpan membuatnya perlahan tak tersentuh. Ya, kemudian, kita menjauh.

Sampai lupa rasanya merindukan satu sama lain.


Pada masa kejayaannya, rahasia berbahagia. Sangat berbahagia. Aku dengan rahasiaku, kamu dengan rahasiamu. Jauh mundur ke tahun pertama kita, kita sepakat bahwa berbahagia adalah urusan diri sendiri. Aku tidak bertanggung jawab atas kebahagiaanmu, begitu juga kamu atasku. Kamu tidak perlu menjadi alasan kebahagiaanku, sebagaimana aku yang bersikeras bahwa bahagia tidak memerlukan alasan. Maka, pada masa kejayaannya, aku tahu kamu berbahagia dengan pilihanmu, meski pada saat itu aku tidak benar-benar tahu apa saja yang menjadi opsimu. Sama halnya, kamu tahu aku berbahagia dengan asumsi atas lika-liku yang kujalani, meski saat itu kamu tidak benar-benar tahu putaran apa yang kulakukan.

Masa itu, rahasia mendewasakan kita.

Hingga tiba kemudian, pilihan berliku kita bermuara pada satu malam. Bukan wajah dan raga yang bersua, tak mengapa. Suara kita bertemu, bersamaan dengan hati yang saling menyapa. Aku tidak pernah menyangka bahwa sebuah kata 'halo' bisa mengungkap kisah 36 bulan dalam 4 jam.

*

Pernah ada masanya, rahasia adalah jembatan bagi kita. Jembatan bagi dua jiwa yang ternyata saling merindukan. Jembatan bagi deras air mata keharuan serta henyak nafas tak percaya. Kita menyeberanginya malam itu. Menyeberangi rindu yang dalam, bersama melewati deras air mata yang hamper menghanyutkan, dan selama mungkin tetap menahan nafas demi terus hidup.

Pukul satu dini hari. Barangkali rahasia lebih senang keluar di kegelapan, sekalipun yang menjadi rahasia adalah salah satu yang menerangi kehidupan. Ruanganku tetap lengang, membiarkan raunganku melenggang. Sebebas senyap malam itu, terungkap aku yang disembunyikan dari kenyataan.

Di seberang sana, keheningan bersepakat dengan jangkrik yang diam meski masih tersadar, juga dengan angin yang datang mengendap-endap agar tidak mengganggu setiap hembusan nafas. Sebagian dirinya yang dianggap tak layak menerobos telingaku dengan tiba-tiba, sebagian dirinya yang jujur mengetuk hatiku dengan lembut.

*

Kita memang tidak bisa merebut peran rahasia sebagai sahabat bagi masing-masing. Tetapi mungkin, kita hanya butuh tempat. Semata-mata agar hati kita tidak lagi sesak. Agar hati kita bisa terus menjadi ladang kebaikan dan kebahagiaan.

***



Ps. Rahasia tetap menjadi rahasia. Tetap ada celah-celah yang kita tutupi, sebesar apapun penerimaan satu sama lain. Bagaimanapun, manusia ini tampaknya masih saja takut pada sesamanya. Barangkali karena belum paham benar kepada siapa seharusnya manusia takut. 

Jumat, 15 April 2016

merangkai

Seperti anggrek, ia meminta kata-kata.

Tidak sepert anggrek, ia rimbun.
Ketika anggrek berbunga satu-dua, bunganya tumbuh tak beraturan di balik dedaunan. Ketika bunga anggrek mengundang decak kagum dari keramaian, bunganya berkembang rupawan sendiri di taman surgawinya. Dan ketika satu-dua bunga anggrek harus layu meninggalkan batang anggrek yang mengering, bunganya menebar aroma wangi yang membuat orang bertanya-tanya dari mana asalnya.

Kepalanya, taman surgawinya. Ide, cita, dan kebebasan berkeliaran dengan riangnya.

Mulutnya, ladangnya: apa yang ia tanam, itulah yang ia tuai. Tak sedikitpun keburukan ia niatkan untuk tumbuh. Jikapun ada setitik keteledoran sebagai manusia, segera ia bangun orang-orangan sawah pengusir hama. Ia bangunkan orang dalam dirinya.

Taman dan ladangnya berbahagia.
Ia tahu benar bagaimana menjadikannya berbahagia.

Teruslah berbahagia. Selamat ulang tahun.

-dari seorang tetangga yang hampir selalu melongok pada hijaunya rumput yang ada di pekaranganmu-



.gambar dari google images.

Minggu, 31 Januari 2016

jendela bercerita


Artis-artis kaca berwarna sudah mulai bekerja sejak pagi, sejak sajakku masih menunggu mendidihnya telur kampung yang direbus.

Dibawanya kaca, timah  hitam, dan cahaya. Hati-hati. Sebab yang namanya kaca bisa retak ketika melihat dan mencerminkan keburukan. Sebab yang namanya timah hitam bisa menjelma debu yang mendadak hilang. Sebab yang namanya cahaya, bisa menjadi gelap ketika dipilih untuk dipandang dalam pejam.

Artis-artis kaca zaman sekarang tak punya bengkel; mereka punya toko serba ada. Artis-artis kaca zaman sekarang perlu berkaca pada pada artis-artis kaca zaman pertengahan: mencermati kehati-hatian mereka menenteng kaca, timah hitam, dan cahaya dalam satu genggaman. Harga sebuah karya seni dipatok sejak sebelum karya itu ada.

Kalau kapan-kapan kamu berkunjung ke katedral di dekat jalan raya –tempatku menolak perpisahan denganmu- ingatlah sebuah kisah ini:

“Bahwa sebelum jadi bangunan megah itu, dipersiapkan terlebih dulu kaca-kaca berwarna untuk jendela. Nantinya ia akan mewujud ornamen yang indah. Awalnya ia adalah sebuah bukan apa.

Oleh para artis kaca berwarna, disusunlah letak garis timah hitam dan warna dari potongan kaca yang akan dipakai. Para artis bekerja sesukanya: membuat lekuk dan membayangkan padanan warna yang acak. Para artis tak peduli apakah akan jadi indah atau apa kelak.

Potongan kaca lalu dilukis. Agar lekat, dipanaskan cat pada kaca.

Kemudian para artis bermain dengan imajinasinya. Imajinasi yang tertib. Imajinasi yang patuh pada rancangannya. Imajinasi yang tidak lari dari inti cerita yang hendak ia sampaikan.

Pada zaman dahulu, jendela adalah buku –kebalikan dengan zaman sekarang. Maka ketika para artis kaca berwarna bekerja, sebenarnya mereka sedang bercerita. Menceritakan seorang petani yang menyebarkan beraneka biji di beberapa macam kondisi tanah. Disusunnya potongan kaca merah sebagai baju petani, kaca biru sebagai celananya, kaca putih dan coklat sebagai ladangnya.

Beberapa artis kaca berwarna tidak mengerti soal agama dan ajarannya. Beberapa buta soal iman. Satu hal yang dimiliki oleh mereka adalah kebaikan. Itu saja. Sebab mereka takut akan kehilangan pekerjaanya. Satu saja keburukan mereka lakukan, retaklah kacanya, buyarlah ceritanya. Karena itulah, para artis kaca berwarna adalah manusia yang paling menyenangkan pada masanya.”


Kalau kapan-kapan kamu berdoa di dalam katedral yang sama, doakan aku. Untuk menjadi orang yang paling menyenangkanmu.


Sabtu, 31 Oktober 2015

Tak Sampai Garis Akhir



Satrio, 14 tahun, pelajar Sekolah Menengah Pertama, pembalap dalam lamunan.

Lampu merah, kuning, dan hijau bertengger di atas jalan. Tergantung dengan gagahnya. Sementara di bawah, para mata yang tajam bersiaga tanpa kedip, agar bisa segera memerintahkan tangan yang menggenggam setang untuk segera menghentakkan motor meluncur ke depan. Nanti, ketika lampu hijau menyala. Deru motor bersahutan. Sama-sama ingin menunjukkan kejantanannya, yang sampai sekarang masih ditahan.
Pada saat yang bersamaan, deru mesin motor bebek Satrio juga sama lantangnya, meski memang tenggelam di antara raungan motor serba cepat yang lain. Satrio memanaskan mesinnya. Memanaskan nyalinya. Pembalap itu keren seperti ini. Pembalap itu super cepat!
Terdengar riuh suara penonton. Mendukung pembalap kesayangannya beraksi. Menyaksikan pembalapnya merendahkan motor di setiap tikungan dan memacu motornya di jalanan yang lurus. Para penonton sama tidak sabarnya dengan pembalap. Menunggu lampu-lampu itu menyala.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar juga Ibu berteriak,”Jangan lupa ya, Satrio! Telur setengah kilo dan beras lima kilo! Hati-hati! Tidak usah pakai motor, nanti Bapak marah!”
Entah Ibu didengar atau tidak. Ah, Satrio hanya mendengar penonton meneriakkan namanya. Maka ia melaju dengan motornya. Motor bapaknya.
Pembalap itu keren. Dia bisa merasakan angin yang panas menerpa wajahnya. Semakin memanaskan nyalinya. Itu yang Satrio suka. Ia mesti lebih sangar daripada orang lain. Ini masalah pembuktian. Satrio menggerungkan mesinnya. Motor meraung. Itu yang Satrio suka, dari curi-curi kesempatan.
Perlombaan dimulai. Satrio berada di urutan ke-tigabelas, masih jauh dari unggul. Tidak mengapa, masih putaran pertama. Masih banyak putaran berikutnya. Ia mesti fokus dulu sekarang. Bagaimana caranya mencapai garis akhir.
Satrio begitu ingin mencapai garis akhir. Sudah dibayangkannya berdiri di atas podium dan mendapatkan piala, diiringi teriakan penonton mengelukan namanya. Juga sudah terbayang olehnya nanti ketika menyemprotkan botol anggur putih yang meledak setelah dikocok beberapa kali. Sudah dibayangkan dirinya yang keren dan gagah.

*

 Masalahnya, kalau kita lihat dari kacamata yang riil, perlombaan ini bukan perlombaan yang mesti dimenangkan. Tepatnya, ini bukan perlombaan. Tidak ada perlombaan.
Satrio harus ke pasar untuk membelikan pesanan Ibu. Telur, beras, dan catatan lain yang sudah dikantungkannya. Agar bisa tiba di pasar, Satrio mesti menghadapi jalanan yang ganas. Pemotor yang ugal-ugalan, angkutan kota yang semaunya, pengguna mobil yang tidak sabaran. Uh oh, sungguh potret kota yang brutal, tempat Satrio tinggal. Maka, pada saat itu, pada saat ia mesti keluar dari gang rumahnya, Satrio mesti menjelma menjadi salah satu di antaranya.
Sepertinya tidak hanya Satrio yang bertransformasi. Begitu juga dengan hampir sebagian warga di kotanya. Memasang gigi yang paling tajam, mata yang paling awas, dan hati yang paling keras. Melunak berarti menyerah. Menyerah berarti kalah. Lalu kamu akan mati tertindas. Jangan, jangan sampai!
Kemudian Satrio mewujud pembalap dalam benaknya. Pembalap yang keren itu! Pembalap yang nomor satu! Pembalap juara! Pembalap yang sampai pertama kali di garis akhir.

*

Kembali ke jalanan versi kita, alias perlombaan versi Satrio. Baru saja ia disalip. Merasa kesal karena kecolongan, ia kebut motornya, memburu motor merah yang tadi.
Sial, cepat sekali melesat! Ke mana motor merah itu! Mungkin setelah lewat tikungan di depan itu, aku akan bisa menyusulnya. Lalu menghabisinya di jalanan sepanjang 70 meter itu. Akan kupacu si bebek ini di sana nanti
Mobil yang ada di hadapannya tidak membuatnya mengurangi kecepatan. Seperti yang ia lihat di televisi, pembalap tidak pernah melambat. Maka ia arahkan roda depan motornya ke sebelah kiri, melintasi jalanan dan menyalip dari sisi kiri mobil.
Lewat satu, dua, dan tiga mobil. Pembalap itu cepat. Pembalap itu berani. Sebentar lagi dia sampai di pertigaan dan ia harus belok ke kanan. Lampu lalu lintas tadinya masih hijau ketika ia menyalip ketiga mobil. Sekarang sudah berganti ke kuning. Kuning, artinya hati-hati. Hati-hati kalau sebentar lagi akan merah dan berhenti. Tapi seolah tidak ada artinya bagi Satrio. Ia pacu motornya. Sebelum merah maka ia tidak perlu berhenti. Lagipula, kalau berhenti, ia bisa kehilangan motor merah tadi. Tidak mungkin dia jatuh ke urutan bawah dan tertinggal.
Mobil-mobil dan beberapa motor sudah mulai berhenti. “Bagus,” pikir Satrio, “tidak ada lagi yang menghalangi jalanku.” Kemudian dari sisi kiri jalan, ia arahkan motor untuk membelok ke kanan, mengarah langsung ke jalan yang ia tuju. Pembalap itu hanya melihat ke depan, tidak kiri tidak kanan. Satrio hanya melihat ke depan, tidak kiri tidak kanan. Tidak melihat kalau dari sebelah kiri, beberapa motor yang memang punya hak untuk jalan, juga memacu motornya.
Klakson melengking. TIIIIINNNNN…. TIINNNNN….. Tidak hanya dari satu motor, mungkin tiga. Menyalak. Marah.
Menghindari tabrakan, Satrio membanting motornya ke sebelah kanan. Seperti pembalap yang merendah ketika membelok. Sayang, dia tidak seimbang untuk bisa mengembalikan motor ke posisi tegap.  Badannya lebih ringan daripada bobot motor bebeknya. Satrio terjatuh. Pertemuan antara kepala tanpa helm dengan aspal jalan tidak terelakkan.
Mobil-mobil berhenti. Ada dua motor yang ikut terjatuh. Yang satu karena roda depannya sempat menyundul roda belakang motor Satrio, oleng, dan menyenggol motor di sebelahnya.
Satrio sudah tidak sadarkan diri ketika beberapa pemuda memakinya.
“Bocah gak tau aturan!”
Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menyaksikan makian yang berubah menjadi kepanikan. Dari tiga motor yang terjatuh, hanya satu motor yang tergeletak diam bersama pengendaranya.

*


“Pak, pembalap itu keren banget ya, Pak! Pembalap super cepat! Wuuuzzz…! Melesat lebih cepat daripada angin!”
“Pembalap itu memang keren. Bukan keren-kerenan,” kata Bapak, beberapa minggu yang lalu ketika menonton balap motor yang disiarkan di suatu televisi swasta bersama Satrio.
Kan sama-sama keren, Pak!”
“Pembalap itu keren. Pembala itu dewasa. Kamu tahu, apa yang membedakan pembalap dengan pengendara motor yang ugal-ugalan? Kesabaran. Dia memang cepat. Tapi bukan asal cepat. Sekali lagi, pembalap bukan pengendara motor yang ugal-ugalan. Pembalap, penuh perhitungan, menghitung risiko, bukan hanya melihat celah. Pembalap, mensyukuri hidup, bukan sekadar menjalani hidup. Pembalap itu orang yang paling menyayangi dirinya sendiri. Dan orang yang paling menyayangi dirinya sendiri adalah orang yang juga menyayangi asal muasalnya. Maka ia tidak akan membawa kendaraannya sembarangan.”
Satrio terdiam sejenak. Entah mengerti, entah berusaha mengerti, entah tidak mengerti sama sekali. Bapak juga terdiam, memandangi putranya yang kecil badannya namun besar nyalinya. Sudah beberapa kali Satrio merajuknya agar boleh membawa si bebek keluar dari gang, menuju jalan besar. Khawatir benar Bapak dengan putranya yang belum siap menghadapi keganasan. Belum siap mental. Belum stabil secara emosi. Masih mementingkan adrenalinnya. Bapak tahu benar, sebab Bapak juga pernah menjadi anak laki-laki.  
“Kita tidak mesti menjadi pembalap. Kita cukup memiliki jiwa pembalap. Bapak harap kamu ingat pesan Bapak tadi. Itu buat nanti kalau kamu sudah berusia 17 tahun.”
“Boleh, Pak, kubawa si bebek itu ke sekolah?” Satrio mencoba peruntungannya lagi biar mendapat izin membawa motor bapaknya itu.
“Bebek mesti menunggumu tiga tahun lagi,” begitulah Bapak menjawab.
“Tiga tahun itu lama, Pak! Ayolah! Kemarin kulihat Raden membawa motor bapaknya juga ke tempat les. Raden keren, Pak!”
“Ah, Raden biasa saja, Nak. Tidak ada yang keren dengan membawa motor bapaknya.”
“Kalau begitu bapaknya Raden yang keren! Karena dia membolehkan Raden mengendarai motor sendiri! Bapakku tidak keren!” Satrio marah.
Bapak menghela nafas.
“Baiklah. Kamu mau mendapatkan izin mengendarai si bebek sendiri?” tanya Bapak.
Satrio mengangguk.
“Kalau kamu sudah bisa memahami pesan Bapak tadi, baru kamu boleh membawa si bebek ke mana saja kamu mau.”
Jelas sekali dalam hatinya Satrio marah pada Bapak. Sudah gagal mendapat izin, tidak mengerti pula apa pesan Bapak tadi. Uh!

*

Sudah selesaikah perlombaanmu, Satrio?
Sudah senang, sampai ke garis akhir?
Siapa yang menang? Maut?
Bukankah garis akhirmu hari ini adalah membawakan Ibu telur setengah kilo dan beras lima kilo?

***





Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com