ibuku menceritakan sebuah kisah lucu padaku tentang filosofi jari.
yang sekarang tentang cincin pernikahan yang diletakkan di jari manis. yaaa, kenapa cincin pernikahan ditaronya di jari manis, bukan jari-jari lain?
untuk mengetahui jawabannya, aku diharuskan menangkupkan punggung jari tengah tangan kanan dengan punggung jari tengah tangan kiri (hanya dua buku jari yang tertangkup)
lalu beliau memintaku untuk:
"coba kamu angkat ibu jarimu, bisa?"
ya, dengan mudahnya aku menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan
itu, adalah orang tua dari kedua belah pihak. orang tua, suatu saat nanti bisa dan memang akan terpisahkan. mereka akan melepaskan anaknya untuk bertumbuh.
"sekarang coba gerakkan telunjukmu"
yaa,bisa juga kumainkan mereka.
telunjuk itu adalah teman-temanmu, rekan kerja, bisnis, saudara, kerabatmu. mereka dengan mudahnya bisa pergi berkeliaran datang dan pergi.
"angkat jari kelingkingmu, dan mainkan"
bisa dengan cepat kulakukan.
jari itu adalah anakmu. seperti layaknya orang tua yang melepaskan anak, kamu nanti juga akan ada saatnya membiarkan anakmu terbang menggapai kehidupan sendiri.
dan tibalah di saat yang kunantikan,
"angkat jari manismu, dan coba pisahkan mereka"
"tanpa menggeser jari tengahmu yang tertangkup"
"bisa"
"tidak, biarkan jari tengahmu sesantai yang sebelum-sebelumnya"
"bisa, tetapi sakit?"
tidak bisa. kalaupun bisa, sakit sekali yang kurasakan pada punggung-punggung jariku.
itu, adalah pasanganmu. tidak bisa dipisahkan, tidak bisa terpisahkan, kecuali memang ketika dituliskan untuk berpisah oleh Sang Khalik. sakit ketika dipaksa untuk berpisah, karena memang, pernikahan itu bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah diceraikan. rasa sakit yang berkepanjangan akan menyertai perceraian tersebut.
"kamu harus ingat selalu filosofi ini ya, ketika nanti kamu dan pasanganmu memutuskan untuk sama-sama meletakkan cincin sakral itu di jari-jari kalian."
ya, Mam....
:)
oh gitu.. baru tau juga :)
BalasHapus4M!! *Mama Mieke Memang Mantap!!* :)
BalasHapushahahha.... ini pasti nak Ajie yang suka SKSD deh sama tante... :))
BalasHapusWarga Taman Sastra memang sering sangat Filosofis. Lebih dari Psikolog dan Antropolog.
BalasHapusSalam untuk Mama juga Psikolog dan Antropolog yang di Bandung...
-londo-