Di atas sana, aku melihatmu melihatku di bawah sini. Ya, aku yakin pasti begitu, karena aku belum bisa memalingkan wajahku yang mendongak mengikuti pesawat lepas landas. Pesawat yang dinaikimu.
Burung besi itu membelah matahari yang mulai terbenam, dan bagiku, itu sangat indah. Indah yang mengiris hati.
Membelah matahari, membelah hatiku, membelah yang indah. Kamu bayangkan saja indahnya melihat siluet pesawat yang menukik dengan latar belakang warna jingga keemasan.
Tapi, membelah tetaplah sakit.
Semakin benda itu membumbung, namun mengapa aku semakin tenggelam? Semakin kamu terbang, namun mengapa aku semakin terjatuh?
Lalu benda itu dan kamu hilang. Aku? Tetap di tempatku, memandangi satu titik yang semakin kecil.
*
Apa ya yang ada di benak orang2 yang sedang berada di dalam pesawat yang baru lepas landas melewati senja?
Samakah dengan yang ada dalam pikirku?
Kenapa senjaku suram?
Kenapa walau sudah beratus senja sejak keberangkatanmu, senjaku di bandara kali ini sama suramnya dengan waktu dulu?
Berarti bukan masalah senjanya. Senja selalu baik padaku.
Bandara, pesawat, hanggar, rupanya punya asosiasi yang kurang baik denganku. Aku teringat kamu. Ingin kuhancurkan saja tempat itu, agar kamu tidak kembali.
Tapi tidaklah, aku kemari untuk menjemput penghuni baru hatiku, kalau kuhancurkan tempat ini, bukankah aku bodoh?
Astagaaa, kenapa juga aku mengenangmu? Kenapa aku merindukanmu? Bukankah merindu itu adalah sebuah keinginan untuk mundur, kembali ke masa lalu? Aku menata hidupku untuk melangkah ke masa depan dan sekarang malah keinginan untuk mundur yang muncul? Mau berapa lama lagi aku terjebak? ...
Aku melihat hampa keliaran orang lalu lalang di depanku. Biar. Tidakkah sekarang ini mungkin tidak hanya aku yang terjebak? Mungkin mereka juga?
Seseorang melambaikan tangannya berulang kali di depan wajahku. "Haloooo..!!! Hei, bengong sih??? Udah pulang nih akuuu!!",katanya dengan riang. Setelahnya peluk hangat menyelimutiku yang diam.
*
Sore hari telah lewat. Matahari sudah tenggelam dengan sempurna. Di kamar itu, aku berdua dengannya. Sekarang, benar-benar kami berdua. Tidak lagi bertiga, seperti saat aku menjemputnya dulu di bandara.
Tentang waktu yang selalu berjalan, ternyata demikian juga denganku. Aku pernah memilih untuk diam dan disalip oleh waktu. Maka aku memilih untuk beranjak dari saat waktu menjatuhkanku. Aku memilih untuk mengejar waktu. Dan kini aku bisa berdampingan dengan sang waktu. Indah, dilihat dari tampak mana pun tetap indah. Dia, tidak sungguh-sungguh bisa menggantikan kamu, tapi aku memilih untuk mengganti kamu dengannya. Selamat datang, masa kini.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar