Hari kedua. Surat cinta.
Akh, masih belum tau bagaimana bentuknya. Tapi tak mengapa, mungkin seiring bertambahnya hari yang terlalui, semakin bertumbuh sendiri bentuk cinta itu. Atau, malah tidak terurus karena tak disadari dan mati?
*
Terima kasih, kesempatan. Terima kasih, kesadaran. Kalian membuat aku menyesal di awal. Sehingga, selagi ada nafasku dan nafasnya itu, aku berhak dan pantas mencintainya. Di usianya yang menginjak 5 dasawarsa lebih 3 tahun.
Betapa memang tidak akan terbalas seutuhnya apa yang kuberi ini, tapi biarlah, toh senyumnya membuatku bergidik. Bicara tentang pengorbanan, jelas tidak sepadan, tapi biarlah, toh pejamnya mata itu membuatku membatu. Biarlah, toh tatapnya membuatku merinding. ya, biar saja, siapa yang peduli juga dengan perihal balas budi?
Sudah tiba waktunya. Bertukar peran.
Kumohon, beristirahatlah. Biar aku yang terbanting tulangnya, biar aku yang terkikis sabarnya, ya biar saja, toh seperti dirinya, tidak habis tulang dan sabarnya; siapa yang peduli juga dengan perihal balas budi?
Mari.
Kesempatan, kiranya kamu datang juga padanya. Kesadaran, sesekali berkunjunglah kepadanya. Biar, biar dirinya rasakan betapa pantasnya ia dicinta, yang ialah haknya.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar