Kamis, 18 September 2014

bekal




Pukul 05.30, jauh sebelum mobil jemputan datang. Mata masih terpejam, berat sekali untuk membuka yang terlanjur melekat. Ugh! Pagi lagi, sekolah lagi! 

Mengulet lah dia. Papa selalu melarangnya untuk tidak seperti itu. Tapi, hey, ngulet itu benar-benar nikmat! Usai mengulet, masih di tempat tidur, terdengar suara mesin cuci berputar. Mesin cuci yang persis ada di depan kaca kamarnya. Mesin cuci yang lebih berfungsi menjadi pembangun dibandingkan weker di bawah kasur yang ia simpan semalam. Selalu, setiap pagi. Ada saja yang harus dibilas oleh mesin cuci itu. Pakaian sekolahnya, salah satunya.

Sebelum papanya masuk, ia sudah terduduk di atas tempat tidur. Sebelum hampir terjatuh lagi, ia memutuskan untuk beranjak keluar kamar. Menyambut pagi. Bagaimanapun bukan paginya yang ia benci, juga bukan sekolahnya. Ia selalu suka pagi, apalagi bau pagi hari setiap harinya. Ia juga selalu suka sekolah, apalagi saat libur. Tetapi melawan kenikmatan dari tidur itulah yang ia benci. Perlawanan yang baru ia syukuri setelah semakin tua semakin didera kenikmatan yang beragam.

“Sudah sholat?”, tanya sesosok di dapur yang selalu menjadi sosok pertama yang ia cari sejak membuka mata. Dengan menyengir ia menggeleng. “Ayo, sana….”, katanya lagi. Gadis kecil itu tahu ibunya akan mendorongnya lembut sambil mengusap kepalanya setelah ia menggelayutkan tangan di pinggangnya. Ritual kecil yang menyenangkan. Mengganggu sedikit pemasakan nasi goreng tanpa kecap, menginterupsi banyak pemasakan nasi goreng dengan kasih. Wangi sekali. Ia selalu suka bau bawang yang ditumis.

Sekalian mandi, sekalian buang air, gadis itu bersiap. Sudah tidak kucel lagi tampangnya sekarang. Ia sudah sewangi nasi goreng, tapi belum sesiap nasi goreng yang sudah tersaji. Ia masih memakai baju tidur. Bisa gawat apabila belum bersalin. Kasur dan pakaian tidurnya memiliki magnet yang sangat kuat. Pernah beberapa kali ia terjerat dan terpaksa papanya yang turun tangan membangunkannya lagi dengan kelitikannya. Setelah memastikan tertawa keras, papanya suka memberikan pertanyaan matematika. Penjumlahan. Kalau bisa menjawab, berarti sudah sadar. Karena pernah, gadis itu sudah tertawa pun, masih ngelindur menjawab persoalan matematika itu. Duh, betapa bangun itu belum tentu sadar.

Gadis itu segera berlarian kecil dengan seragam putih merahnya menuju ke meja makan. Ada yang mengepul di sana. Menggiurkan sekali. Sebelum memakannya, ibu selalu menyuruhnya untuk berkaca. Dan menyisir. Malas benar gadis itu untuk menyisir. Rambutnya kan lurus, tidak perlu dirapikan. Tetapi ibunya selalu sama setiap hari, menyuruhnya untuk menyisir sebelum makan. Siap itu, dari ujung rambut sampai ujung kaki, jangan lupa di antara itu, ada hati juga. Maka, ketika kita mengabaikan yang paling sepele bagaimana memedulikan yang besar? Dengan malas-malasan gadis itu menyisir. Sudah merasa cantik dan rapi dengan pantulan di cerminnya, gadis itu bernyanyi riang. Ibunya melihat dari kursi makan, memberikan arahan, “ayoo, sisir yang benar, ah…”,“itu, belakangnya disisir juga…”,”jangan ngawur tho nyisirnya..”, dan lain-lain. Benar-benar, papa dan ibunya kompak benar soal kesadaran. Luar-dalam, depan-belakang, kiri-kanan, segala sisi sejauh yang bisa disadari dan disadarkan oleh orang lain. Segala aspek remeh-temeh, yang kecilnya dengan diterima dan dilakukan saja dengan wajah bingung, yang seiring bertambah usianya kemudian tidak hanya menumbuhkan kesadaran melainkan menumbuhkan kemawasan diri.

Selesai urusan sisir menyisir. Melelahkan. Gadis kecil itu lebih senang ketika ibunya mengepangnya sebab rasa malas berhasil merajainya. Ibunya juga tahu itu. Itulah mungkin mengapa ibu tidak membiasakan diri untuk mengepang rambut putrinya setiap hari, meskipun ia ingin. Ya, putri kebanggaannya. Seperti boneka. Ibu mana yang tidak berbangga pada buah hatinya? Ibu mana yang tidak mau membanggakan buah hatinya? Ia ingin putri kecilnya tampak menawan di luaran. Dan ia sangat tahu, bahwa putrinya sedemikian gembiranya ketika hari rambut kepang tiba sebab ia selalu mendapatkan pujian dari teman dan guru di sekolahnya. Ada kebanggaan terhadap dirinya sendiri juga ketika pulang sekolah mendengarkan cerita tentang rambut kepang putrinya itu. Kebanggaan itu lalu ia simpan sendiri untuk nanti ia bagi dengan zat penyejuk hatinya setiap kali. Bahwa ia merupakan ibu yang memerhatikan putra-putrinya dari segi penampilan dan bahwa kemampuan kepangnya yang standar itu bisa menghasilkan pujian…. Kebanggaan itu lantas menyindirnya, buat apa berpuas hati karena merasa campur tangannya adalah selalu yang terbaik? Campur tangannya mungkin akan membuat putrinya menawan di luaran, tetapi keropos di dalam. Campur tangannya mungkin akan membuat putrinya dipuji, tetapi tidak pernah tahu bahwa pujian datang dari belajar dan kerja keras. Putrinya harus merasakan hasil dari tangannya sendiri. Putrinya harus belajar menyisir. Putrinya harus kerja keras merapikan rambut bagian belakangnya, entah dengan berputar-putar di depan cermin atau mengambil cermin lain, apapun. Putrinya harus merasa cantik tanpa kepangan ibunya saja. Putrinya harus tahu masa-masa ia tidak cantik. Putrinya harus mendapat banyak kritikan dari teman dan guru di sekolahnya soal performanya. Putrinya, harus bisa mempercantik dan membanggakan dirinya sendiri, dengan tangannya sendiri, dengan refleksinya sendiri. Dan sebagai ibu, beginilah yang seringkali terjadi setiap harinya. Ibu tetap mengirimkan kasihnya lewat arahan-arahan paling sepele, soal bando yang miring, atau kunciran yang masih meninggalkan rambut sisa, juga tentang senyum yang kurang.

Gadis itu kini duduk di meja makan berempat bersama papa, ibu, dan masnya. Adiknya yang masih bayi, masih lelap, tak jarang gadis itu iri. Setiap pagi, selalu berempat. Kalau pun tidak selalu, ibunya selalu mengusahakan agar mereka duduk berempat. Sarapan bersama, judulnya. Tetapi yang sarapan hanya tiga. Ibu, sibuk mengoleskan mentega di atas roti. Mereka selalu bersemangat setiap kali ibu mempersiapkan bekal untuk mereka. Apalagi ketika ibu memberi pertanyaan, “mau diisi apa rotinya?”, mereka bisa memilih sesuka hati. Apapun jawabannya, ibu selalu sigap, dan tidak pernah tertukar roti milik siapa. Dia suka roti isi gula. Masnya suka keju dan meises. Papanya suka keju, selai strawberi dan meises. Biasanya sebelum mereka selesai menghabiskan sarapan, roti banyak pesanan itu selesai lebih cepat. Mungkin juga karena gadis selalu terkagum-kagum, betapa cepat kerja ibunya. Senang menonton pertunjukkan pembuatan bekal sampai lupa mengunyah.

Roti selalu menjadi andalan dan kebanggaan kedua buah hati ibu di sekolah. Itu kalau mereka sedang jadi anak yang manis. Katanya, anak-anak lain mesti jajan, sementara mereka mempunyai roti. Pernah juga mereka membagikan ke teman yang tidak membawa bekal dan juga tidak membawa uang. Kalau mereka sedang jadi anak yang kurang manis, beberapa kali ibu menangkap ada roti yang bersisa, tidak dihabiskan lalu dibuang. Ibu sedih. Ibu juga selalu berulang kali bilang, “Tidak apa-apa tidak habis, tapi jangan pernah dibuang!” Roti itu dibeli oleh papa atau ibu setiap dua atau tiga hari sekali sepulangnya dari kantor. Mentega, meises, keju, gula, itu yang selalu ada di daftar belanja bulanan, hanya agar keinginan anak-anaknya terpenuhi. Begitulah betapa orang tua itu selalu ingin memanjakan anak-anaknya. Mereka tahu, yang dibutuhkan anaknya hanyalah roti dan mentega. Tetapi mereka juga tahu, yang diinginkan anak-anaknya adalah roti aneka rasa. Sengaja mereka menyisihkan uang lebih untuk memenuhi keinginan anak-anaknya. Begitu saja, tanpa alasan. Oleh karena itu, kalau ada roti yang tidak dimakan di sekolah, mereka bisa memakannya di rumah sepulang sekolah atau sore harinya. Bekal itu rejeki, bekal itu bermanfaat. Tidak ada bekal yang dibuang. Bekal dibawa ke mana-mana. Bekal itu untuk jaga-jaga, untuk persediaan. Kita tidak pernah tahu kapan kita membutuhkannya. Maka itu, jangan pernah dibuang.

Suara mobil jemputan sudah terdengar dari kejauhan. Saatnya gadis kecil itu memakai kaos kaki dan sepatunya. Sebelumnya, tidak lupa ia memasukkan bekal pemberian ibunya. Sebelum jemputan datang, gadis kecil dan masnya sudah siap di ruang tivi, bersepatu dan bertas. Bangga bukan main ibu dan papanya. Anak-anaknya sudah siap sebelum waktunya datang. Paling tidak, anak-anak sudah dipersiapkan untuk waktunya tiba nanti.

Keduanya asik bercengkrama. Masnya mengajak gadis kecil masuk ke dalam kamar si bayi untuk memberi ciuman-pamit-sampai-berjumpa-siang-nanti­-dan-kita-main-bersama. Papa menyeruput teh hangat dari cangkir setelah membantu menggiring anak-anak meletakkan piring kotor ke dapur untuk dicuci nanti. Ibu mencuci tangannya setelah mengelap remahan roti di atas meja. Klakson mobil jemputan berbunyi. Kedua anak itu berlarian dari kamar menghampiri papa dan ibunya yang sudah ada di meja makan lagi. Memberikan salim dan cium pipi lalu mengucapkan “daaaghh…!” dengan ceria. Setiap pagi, mereka selalu melepas anak-anaknya dengan kalimat yang sama, “hati-hati ya… (semoga bekal kami cukup menjadi persediaan selama perjalanan kalian)”

Jam pagi yang ramai sebentar lagi akan menyepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar