Senin, 22 September 2014

indah



Sudah dua minggu lamanya aku terdiam di sini. Tergantung. Menunggu nasib. Bersama rekananku yang lain. Kami yang tersisa. Hanya diam dan hanya menatap lurus. Sesekali aku berbicara pada mereka yang datang. Sebenarnya ada banyak yang ingin kuungkapkan dalam kata, seperti manusia lain yang membuka mulut dan bersuara. Tetapi keterbatasan membuatku menyurutkan niat berbahasaku. Lagipula langkah kaki mereka terlampau cepat buatku.

Belasan kawan sudah terbebas. Lihat itu, sekarang mereka berwarna kuning dan merah. Sementara aku hanya hitam dan putih. Tetap begitu. Sebentar lagi mereka yang berwarna akan pergi ke dunia yang menurutku lebih membahagiakan. Sementara aku hanya di sini. Tetap begitu.

Ah, kalau sudah begini, biasanya aku mengeluh dan merutuk. ''Mengapa mereka yang dipilih? Mengapa bukan aku? Tidakkah aku indah?'' Kalau sudah begini aku akan murung dan redup. Cahaya di atasku berusaha memperindah tampilanku. Tapi aku enggan.

Perkenalkan, aku hanyalah goresan tak sengaja. Dan tidak pernah ada yang menarik dari sebuah goresan. Banyak orang menganggapnya lalu, abai. Banyak orang meniadakannya lalu dalam sekejap aku menghilang. Aku terpaksa ada karena sebuah kesalahan. Karena sebuah ketidaksengajaan. Karena sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Dua sisi mata koin, seringkali dianggap hina atau tak berarti sama sekali. Begitulah aku memandang diriku. Serupa dengan mata lain yang memandang diriku. Menurutku selama ini.

Perkenalkan, aku hanyalah goresan jauh dari sempurna. Meskipun semua orang sepakat bahwa tidak ada yang sempurna, semua orang juga sepakat bahwa mereka menginginkan yang sempurna. Yah, keluarga yang sempurna, anak yang lahir sempurna, pasangan yang sempurna, pekerjaan yang sempurna, pemandangan yang sempurna. Aku tidak tahu jelas tentang definisi sempurna, tapi aku seyakin itu bahwa apa yang kutawarkan buat mereka, tidaklah sempurna. Tidak ada pemandangan sempurna dalamku. Tidak ada gunung, bangunan arsitektur, candi, matahari, tidak ada itu semua. Ya, apalah yang bisa kutawarkan tentang kekosongan? Tentang ruang besar yang hanya diisi olehku sendiri. Tidak membentuk apapun selain aku.

Aku lelah menggantung di sini. Lelah juga menggantungkan asa bahwa aku akan berarti. Saking jenuhnya aku malah ingin sekali berontak dan berteriak ''turunkan aku dari sini!'' lalu entah dibawa ke mana sebaiknya diinjak saja. Musnahkan aku.

Seperti hari-hari yang sebelumnya, puluhan kaki melangkah di depanku. puluhan mata menatapku. Sekilas. Kilas yang tak berarti. Kupikir hariku akan sama seperti yang lalu....

Kali ini tiga pasang kaki berhenti di depanku. Berhenti yang kumaksud, lebih dari hitungan detik. Aku salah tingkah. Ya, hari ini hari pertama kaki-kaki itu berhenti di depanku. Hari pertama mata-mata itu menatapku lurus. Hari pertama aku menegakkan kepalaku, membalas tatap mereka. Mereka menunjuk-nunjukku, tetapi tidak menertawakanku. Mereka mengikuti lekuk tubuhku yang tak karuan. Yang dua saling berbicara tetapi aku tidak mengerti. Yang satu, setelah menatapku, terpejam sambil berdiri. Untuk beberapa saat lamanya. Mereka melihatku. Mereka merasakanku.

Aku terpaku, masih salah tingkah. Apa yang mesti kulakukan? Gagap. Aku mencoba memejamkan diriku. Aku merasakan kosong. Aku merasakan lowong. Aku merasakan bebas. Aku merasakan..... aku. Aku melihat aku!Ketika terpejam, aku tidak melihat sekitarku, aku melihatku. Aku tidak melihat kebesaran sekitar, aku melihat kebesaranku. Aku hilang dan tenggelam. Baru kali ini aku merasakan hal yang magis seperti ini. Energi pasang mata itu menyerapku ke dunia yang aku sendiri tidak tahu. Dunia yang baru aku ketahui tidak perlu semua rutuk dan kutuk.

Lima menit paling menggugah dalam hidupku. Aku melanglang lebih jauh daripada rekananku lainnya, dan aku masa bodoh dengan mereka. Aku merasakan warnaku sendiri, bukan hanya hitam putih, juga bukan sekadar percampuran warna tak karuan. Warnaku. Aku lebih berwarna daripada rekananku yang lain, dan aku masa bodoh dengan mereka. Lima menit berlalu, tiga pasang kaki itu melangkah meninggalkanku. Aku sama sekali tidak kecewa.

Rasanya merasakanku masih membekas sejak mereka meninggalkanku untuk berkeliling.

Tidak sempurna bukan berarti tidak bermakna. Kosong bukan berarti tidak berjiwa. 

*

''Kubeli ini di ruang pameran! Harganya paling murah! Tetapi buatku tak ternilai harganya! Bayangkan! Aku bertemu dengan pelukisnya, lalu ia ceritakan semua kisah hidup dan filosofinya yang ia bahasakan lewat lukisan ini! Dia sendiri bilang, lukisan ini lain dari yang lain! Hmm... Mungkin saja memang dia akan mengatakan itu untuk setiap karyanya. Dan bukankah memang harus begitu? bukankah itu berarti dia memang bangga dan bersyukur untuk setiap karyanya? Tidak ada yang ia benci sekecil apapun bagian dari dalam dirinya. Dia begitu mencintai dirinya. Aku akan belajar banyak dari lukisan ini setiap harinya.''

''Jangan-jangan, sebelum bisa menaklukkan gunung dan isi bumi lainnya, aku perlu menaklukkan diriku sendiri. Itulah mengapa lukisan goresan ini seberarti itu untukku. Jangan-jangan, sebelum aku bisa mengisi dunia ini, aku perlu mengisi ruang kosong di diriku. Mengisinya dengan sebuah kebanggaan sederhana tentang diri. Bahwa aku memang kecil di ruang yang besar ini. Kita perlu merasa bangga atas kekecilan kita supaya tidak terlena atas kebesaran kita pada waktunya. ''

*

Aku tersenyum. Bukan tanpa alasan penciptaku memajangku di ruang ini. Bukan tanpa alasan penciptaku memberi kesempatan untuuku ada pada kesempatan ini. Bukan, bukan tanpa alasan, melainkan tidak perlu alasan. Selama ini aku saja yang mencari-cari alasan. Mungkin untuk menenangkanku semata dari keramaian hidup yang mengangguku. Penciptaku mencintaiku sedemikian dalamnya. Penciptaku begitu saja mengadakanku, mengungkapkan dirinya. Diriku, diri penciptaku. Masih pantaskah kemudian aku mencacinya yang ada di dalamku?
Pemilikku saat ini memaknaiku sedemikian dalamnya. Pemilikku begitu saja menyimpanku di ruang kamarnya agar bisa melihatnya dalam diriku setiap malam dan pagi. Masih pantaskah kemudian aku memangkas harganya yang ada padaku?

-untuk semua keindahan, dalam dan luarku-

Terima kasih, Romo Muji untuk karya pengingatNya.
Terima kasih, dua pasang kaki lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar