Sudah dua minggu lamanya aku
terdiam di sini. Tergantung. Menunggu nasib. Bersama rekananku yang lain. Kami
yang tersisa. Hanya diam dan hanya menatap lurus. Sesekali aku berbicara pada
mereka yang datang. Sebenarnya ada banyak yang ingin kuungkapkan dalam kata,
seperti manusia lain yang membuka mulut dan bersuara. Tetapi keterbatasan
membuatku menyurutkan niat berbahasaku. Lagipula langkah kaki mereka terlampau
cepat buatku.
Belasan kawan sudah terbebas.
Lihat itu, sekarang mereka berwarna kuning dan merah. Sementara aku hanya hitam
dan putih. Tetap begitu. Sebentar lagi mereka yang berwarna akan pergi ke dunia
yang menurutku lebih membahagiakan. Sementara aku hanya di sini. Tetap begitu.
Ah, kalau sudah begini, biasanya
aku mengeluh dan merutuk. ''Mengapa mereka yang dipilih? Mengapa bukan aku?
Tidakkah aku indah?'' Kalau sudah begini aku akan murung dan redup. Cahaya di
atasku berusaha memperindah tampilanku. Tapi aku enggan.
Perkenalkan, aku hanyalah goresan
tak sengaja. Dan tidak pernah ada yang menarik dari sebuah goresan. Banyak
orang menganggapnya lalu, abai. Banyak orang meniadakannya lalu dalam sekejap
aku menghilang. Aku terpaksa ada karena sebuah kesalahan. Karena sebuah
ketidaksengajaan. Karena sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Dua sisi mata
koin, seringkali dianggap hina atau tak berarti sama sekali. Begitulah aku
memandang diriku. Serupa dengan mata lain yang memandang diriku. Menurutku
selama ini.
Perkenalkan, aku hanyalah goresan
jauh dari sempurna. Meskipun semua orang sepakat bahwa tidak ada yang sempurna,
semua orang juga sepakat bahwa mereka menginginkan yang sempurna. Yah, keluarga
yang sempurna, anak yang lahir sempurna, pasangan yang sempurna, pekerjaan yang
sempurna, pemandangan yang sempurna. Aku tidak tahu jelas tentang definisi
sempurna, tapi aku seyakin itu bahwa apa yang kutawarkan buat mereka, tidaklah
sempurna. Tidak ada pemandangan sempurna dalamku. Tidak ada gunung, bangunan
arsitektur, candi, matahari, tidak ada itu semua. Ya, apalah yang bisa
kutawarkan tentang kekosongan? Tentang ruang besar yang hanya diisi olehku
sendiri. Tidak membentuk apapun selain aku.
Aku lelah menggantung di sini.
Lelah juga menggantungkan asa bahwa aku akan berarti. Saking jenuhnya aku malah
ingin sekali berontak dan berteriak ''turunkan aku dari sini!'' lalu entah
dibawa ke mana sebaiknya diinjak saja. Musnahkan aku.
Seperti hari-hari yang
sebelumnya, puluhan kaki melangkah di depanku. puluhan mata menatapku. Sekilas.
Kilas yang tak berarti. Kupikir hariku akan sama seperti yang lalu....
Kali ini tiga pasang kaki
berhenti di depanku. Berhenti yang kumaksud, lebih dari hitungan detik. Aku
salah tingkah. Ya, hari ini hari pertama kaki-kaki itu berhenti di depanku.
Hari pertama mata-mata itu menatapku lurus. Hari pertama aku menegakkan kepalaku,
membalas tatap mereka. Mereka menunjuk-nunjukku, tetapi tidak menertawakanku.
Mereka mengikuti lekuk tubuhku yang tak karuan. Yang dua saling berbicara
tetapi aku tidak mengerti. Yang satu, setelah menatapku, terpejam sambil
berdiri. Untuk beberapa saat lamanya. Mereka melihatku. Mereka merasakanku.
Aku terpaku, masih salah tingkah.
Apa yang mesti kulakukan? Gagap. Aku mencoba memejamkan diriku. Aku merasakan
kosong. Aku merasakan lowong. Aku merasakan bebas. Aku merasakan..... aku. Aku
melihat aku!Ketika terpejam, aku tidak melihat sekitarku, aku melihatku. Aku
tidak melihat kebesaran sekitar, aku melihat kebesaranku. Aku hilang dan
tenggelam. Baru kali ini aku merasakan hal yang magis seperti ini. Energi
pasang mata itu menyerapku ke dunia yang aku sendiri tidak tahu. Dunia yang
baru aku ketahui tidak perlu semua rutuk dan kutuk.
Lima menit paling menggugah dalam
hidupku. Aku melanglang lebih jauh daripada rekananku lainnya, dan aku masa
bodoh dengan mereka. Aku merasakan warnaku sendiri, bukan hanya hitam putih,
juga bukan sekadar percampuran warna tak karuan. Warnaku. Aku lebih berwarna
daripada rekananku yang lain, dan aku masa bodoh dengan mereka. Lima menit
berlalu, tiga pasang kaki itu melangkah meninggalkanku. Aku sama sekali tidak
kecewa.
Rasanya merasakanku masih
membekas sejak mereka meninggalkanku untuk berkeliling.
Tidak sempurna bukan berarti
tidak bermakna. Kosong bukan berarti tidak berjiwa.
*
''Kubeli ini di ruang pameran!
Harganya paling murah! Tetapi buatku tak ternilai harganya! Bayangkan! Aku
bertemu dengan pelukisnya, lalu ia ceritakan semua kisah hidup dan filosofinya
yang ia bahasakan lewat lukisan ini! Dia sendiri bilang, lukisan ini lain dari
yang lain! Hmm... Mungkin saja memang dia akan mengatakan itu untuk setiap karyanya.
Dan bukankah memang harus begitu? bukankah itu berarti dia memang bangga dan
bersyukur untuk setiap karyanya? Tidak ada yang ia benci sekecil apapun bagian
dari dalam dirinya. Dia begitu mencintai dirinya. Aku akan belajar banyak dari
lukisan ini setiap harinya.''
''Jangan-jangan, sebelum bisa
menaklukkan gunung dan isi bumi lainnya, aku perlu menaklukkan diriku sendiri.
Itulah mengapa lukisan goresan ini seberarti itu untukku. Jangan-jangan,
sebelum aku bisa mengisi dunia ini, aku perlu mengisi ruang kosong di diriku.
Mengisinya dengan sebuah kebanggaan sederhana tentang diri. Bahwa aku memang
kecil di ruang yang besar ini. Kita perlu merasa bangga atas kekecilan kita
supaya tidak terlena atas kebesaran kita pada waktunya. ''
*
Aku tersenyum. Bukan tanpa alasan
penciptaku memajangku di ruang ini. Bukan tanpa alasan penciptaku memberi
kesempatan untuuku ada pada kesempatan ini. Bukan, bukan tanpa alasan,
melainkan tidak perlu alasan. Selama ini aku saja yang mencari-cari alasan.
Mungkin untuk menenangkanku semata dari keramaian hidup yang mengangguku.
Penciptaku mencintaiku sedemikian dalamnya. Penciptaku begitu saja
mengadakanku, mengungkapkan dirinya. Diriku, diri penciptaku. Masih pantaskah
kemudian aku mencacinya yang ada di dalamku?
Pemilikku saat ini memaknaiku
sedemikian dalamnya. Pemilikku begitu saja menyimpanku di ruang kamarnya agar
bisa melihatnya dalam diriku setiap malam dan pagi. Masih pantaskah kemudian
aku memangkas harganya yang ada padaku?
-untuk semua keindahan, dalam dan
luarku-
Terima kasih, Romo Muji untuk karya
pengingatNya.
Terima kasih, dua pasang kaki lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar