Kamis, 02 April 2015

kepada lumut, juga kepada kerak


Hari ini, pagi.
Tidak ada iringan instrumental dari DVD player, sengaja.
Aku keduluan hujan, terlambat.
Hujan yang menyapa dan menarikku ke dunia yang indah, doa.
Aku selalu merasa tentram saat hujan turun, membuka lebar pintu depan rumah.
Wangi dan dinginnya masuk, tersenyum.
Mungkin itu juga waktu favoritku berdoa kala hujan, alasan.

Karena setiap hujan ada yang perlu kulepas, biar siap menerima yang baru. Melepas diri dengan apapun yang sudah terjadi hingga hari ini, biar lebih siap menerima yang baru. 
Jadi untuk setiap duka, luka, kesedihan, kepedihan yang boleh dirasakan, mungkin dari kehilangan, mungkin dari kejatuhan dan keterpurukan, lepaskan. 
Lalu pada saat yang bersamaan sesuatu yang baru akan hinggap. 

Seperti hari-harimu kemarin, 
Air mata yang sederas mata air perlu dilepaskan untuk mengalir, agar tidak jadi kerak. Biar jalannya yang dilalui oleh air mata itu menumbuhkan. Perlahan tak mengapa. Ya, seperti kisah periuk bocor yang dibawa oleh petani. Demikian, setiap liuk yang dialiri air mata menumbuhkan bunga harapan perlahan. 
Dari situ aku belajar lagi untuk berdoa, bahwa, untuk hari-hari yang telah berlalu dan akan berlalu, izinkanlah keindahan bersemayam selalu di hati. 

Hujan masih terus turun, enggan pergi.
Aku merasa sudah cukup untuk doa pagi ini, mungkin.
Entahlah apakah doa hanya lewat kata yang terucap, tanya.

Toh hujan lebih bisa menangkap dan menggaungkan sekalipun yang tak terdengar.
Sudah menjadi keahliannya untuk meresap dan masuk lewat sela yang bisa ia telusuri.
Jadi mungkin hujan bisa meresap ke celah hati, lalu membahasakan doa-doa yang ada di sana. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar