Bayangkan,
tentang bintang yang bertaburan di lautan lepas… Pernahkah?
Aku
pernah. Aku sering. Berkilauan.
Terangnya
tersapu ombak dan segera saja mengelilingi samudra di seluruh antero dunia.
Utara
langit menjadi pedoman kapal nelayan ke mana harus melemparkan jangkarnya nanti
malam. Menurunkan jala dan berpesta pora.
Persis
bintang di langit yang membentuk rasi penanda. Seperti itu juga terang bintang
di lautan.
Entah
benar diartikan sebagai penanda, tak jarang juga orang mengartikannya sebagai
pertanda.
Rasi
Skorpio pernah terbentang jelas di atas laut sana. Seorang awak kapal nelayan
segera meloncat dari dek ke lautan. Membunuh pemburunya. Membunuh dirinya. Seperti
Skorpio yang taat pada Apollo membunuh Orion.
Memang
bisa beragam manusia mengartikan bintang.
Aku juga
punya bintang terang di hati dan pikirku. Kamu. Mungkin sama seperti awak kapal
yang membunuh dirinya, aku juga tak sadar sedang menjeratkan diriku pada
kematian. Bersemayam abadi di dalam kamu. Sama seperti kamu di dalamku.
Tuhan
mengizinkan kehidupan dan kematian berjalan seiring. Di antara itu, tidak ada
dosa. Mati bukan berarti berdosa. Hidup juga tidak berlumur dosa. Maka
berpestalah kita, aku dan kamu, bersuka cita, berpeluk penuh cinta, berpeluh
penuh cinta, seperti nelayan di tengah laut. Merayakan keberlimpahan yang bisa
kita raup. Mumpung masih ada oksigen yang bisa kita hirup.
Adalah
luka ketika berjauhan. Bumi juga tidak rela berjarak dengan bintangnya namun
bumi memilih untuk tetap menjaga radius agak tidak hangus. Bayangan luka yang
terbakar kutepis. Lebih baik begini, melihatmu dari jauh, menyapamu sehangat
mungkin, menjagamu dengan khidmat, mendoakanmu senantiasa.
Debar hati
seramai debur ombak magrib di tepi pantai yang dulu kita sambangi bersama.
Bersama walau tidak bersama-sama. Debur ombaknya ramai namun lembut. Apalagi
sinar surya semakin merona. Semakin seksi. Dulu, senja kuhabiskan duduk di
kurang lebih sepuluh meter dari bibir pantai. Membayangkan bibirmu. Kamu,
seperti biasa, ada di tempat lain bersama orang yang kamu kasihi itu. Orang
yang tidak bisa kamu tinggal, karena kamu memilih untuk tidak meninggalkannya
sebelum ia benar-benar pergi meninggalkanmu. Tentang debar, masih sama, sayang.
Tak peduli di pantai atau lembah.
Ibarat
seorang filatelis dengan perangkonya, juga seperti seorang kolektor dengan
benda antiknya. Aku entah bagaimana dipertemukan denganmu yang langka.
Lautan
kini semakin bergejolak. Hurikan datang. Namun tetap tidak menepis binar dari
bintang di laut. Ya, badai boleh datang, sila datang. Aku tidak akan kehilangan
kilaumu. Karena kilau itu bukan seperti mutiara. Karena kamulah bintang.
Bintang punya sinarnya sendiri.
Aurora
pernah menyapa kita dari kejauhan. Kamu dan aurora seperti sahabat karib. Punya
pesonanya sendiri.
Ulas
perona seakan sia-sia. Sesia-sia sapuan gincu.
Terpagut
aku pada alamimu. Pada dalammu.
Asmara
tidak pernah mudah didefinisikan. Lagipula kata juga sebenarnya hanya bualan.
Apa yang jujur yang tersisa selain rasa?
Nampakkan
pula wajah surutmu. Aku tidak mengapa. Lagipula kamu sudah belajar banyak dari
lautan tentang pasang surutnya toh? Dari perjalanan terombang-ambingmu, dari
perjalanan terkoyakmu.
Kilau batu
permata akan terpantul ketika banyak getir yang mendekam dalamnya.
Pancarkanlah.
Esensi
dari sebuah petualang ada di dalam jiwamu. Berbahagialah, wahai jiwa-jiwa
cerdas. Jiwa tercerdas yang pernah kujumpai. Sempurna, untukku, karena terus
mencari kesempurnaan. MencariNya.
Selamat
berjumpa, sayang. Senang menjumpaimu di kehidupan yang sekarang. Keajaiban
cerita Heracles dan Abderos akan berpihak pada kita. Memang bukan sekarang.
Saatnya akan tepat. Kita hanya tidak memerlukan ketergesaan. Gegabah membawa
musibah. Tabah.
Estetika
akan terajut menjadi harmoni dari sebuah yang kusut. Benang atau kerumitan
lain. Itu yang kutemukan ada di dalam lautan lepas.
Denting
hujan semakin bernada di sini. Seindah gesek cello yang kamu mainkan di gedung pertunjukkan itu. Dulu bersama
kawananmu. Tidak boleh ada suara lain di sana, selain alat musik. Bahkan helaan
nafas pun kalau bisa jangan terdengar. Bisa mengganggu kekhusyukkan
pertunjukkan. Bersama sebelas rekananmu, kamu menghipnotis kami yang ada di
ruangan. Baru kutahu juga bahwa di zaman youtube
sekarang ini, jutaan penonton ikut terhipnotis hingga memutar ulang Ave Verum
Corpus gubahan siapa dulu itu yang memimpin pertunjukanmu. Ya, berputar memori
seperti berputar bumi pada porosnya. Berputar di situ-situ saja. Hujan rintik
membawaku semakin dalam tenggelam dalam lautan.
Insting
eros meledak-ledak. Jangan salahkan. Sama mendentumnya dengan thanosku.
Keduanya berpadu. Berkejar-kejaran tanpa tahu siapa mendahului siapa.
Hanya
yakin bahwa jika salah satu berhenti, maka berhentilah sudah cerita.
Asmara
sukar didefinisikan. Sama seperti tamat yang dipaksakan, asmara akan terkoyak
jika didefinisikan.
Nantikan
sembari nikmati. Keberlanjutan kisah ini akan hadir setiap harinya, setiap
waktu. Baik dalam realita juga dalam imaji. Terima kasih untuk hadirmu. Tidak
hanya menghadirkan nama tetapi juga makna.
Sukaaaa ❤❤❤
BalasHapusUdah lama ga baca tulisan daiyen. Hebat kamu masi tetep nulis. Aaaaaa jadi kangen nulis..
NAMOOOOONN!!!!! *peluk peluk gigit* huaaaaa kangeeeennn...
Hapushihihii iya Namoon, yang bikin tetep hidup soalnya *tsah ahahaha.. kamu juga ayo tulis tentang aku!!!