Minggu, 28 September 2014

surat dalam botol



Bayangkan, tentang bintang yang bertaburan di lautan lepas… Pernahkah?

Aku pernah. Aku sering. Berkilauan.

Terangnya tersapu ombak dan segera saja mengelilingi samudra di seluruh antero dunia.

Utara langit menjadi pedoman kapal nelayan ke mana harus melemparkan jangkarnya nanti malam.  Menurunkan jala dan berpesta pora.

Persis bintang di langit yang membentuk rasi penanda. Seperti itu juga terang bintang di lautan.

Entah benar diartikan sebagai penanda, tak jarang juga orang mengartikannya sebagai pertanda.  

Rasi Skorpio pernah terbentang jelas di atas laut sana. Seorang awak kapal nelayan segera meloncat dari dek ke lautan. Membunuh pemburunya. Membunuh dirinya. Seperti Skorpio yang taat pada Apollo membunuh Orion.

Memang bisa beragam manusia mengartikan bintang.

Aku juga punya bintang terang di hati dan pikirku. Kamu. Mungkin sama seperti awak kapal yang membunuh dirinya, aku juga tak sadar sedang menjeratkan diriku pada kematian. Bersemayam abadi di dalam kamu. Sama seperti kamu di dalamku.

Tuhan mengizinkan kehidupan dan kematian berjalan seiring. Di antara itu, tidak ada dosa. Mati bukan berarti berdosa. Hidup juga tidak berlumur dosa. Maka berpestalah kita, aku dan kamu, bersuka cita, berpeluk penuh cinta, berpeluh penuh cinta, seperti nelayan di tengah laut. Merayakan keberlimpahan yang bisa kita raup. Mumpung masih ada oksigen yang bisa kita hirup.

Adalah luka ketika berjauhan. Bumi juga tidak rela berjarak dengan bintangnya namun bumi memilih untuk tetap menjaga radius agak tidak hangus. Bayangan luka yang terbakar kutepis. Lebih baik begini, melihatmu dari jauh, menyapamu sehangat mungkin, menjagamu dengan khidmat, mendoakanmu senantiasa.

Debar hati seramai debur ombak magrib di tepi pantai yang dulu kita sambangi bersama. Bersama walau tidak bersama-sama. Debur ombaknya ramai namun lembut. Apalagi sinar surya semakin merona. Semakin seksi. Dulu, senja kuhabiskan duduk di kurang lebih sepuluh meter dari bibir pantai. Membayangkan bibirmu. Kamu, seperti biasa, ada di tempat lain bersama orang yang kamu kasihi itu. Orang yang tidak bisa kamu tinggal, karena kamu memilih untuk tidak meninggalkannya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkanmu. Tentang debar, masih sama, sayang. Tak peduli di pantai atau lembah.

Ibarat seorang filatelis dengan perangkonya, juga seperti seorang kolektor dengan benda antiknya. Aku entah bagaimana dipertemukan denganmu yang langka.

Lautan kini semakin bergejolak. Hurikan datang. Namun tetap tidak menepis binar dari bintang di laut. Ya, badai boleh datang, sila datang. Aku tidak akan kehilangan kilaumu. Karena kilau itu bukan seperti mutiara. Karena kamulah bintang. Bintang punya sinarnya sendiri.    

Aurora pernah menyapa kita dari kejauhan. Kamu dan aurora seperti sahabat karib. Punya pesonanya sendiri.

Ulas perona seakan sia-sia. Sesia-sia sapuan gincu.

Terpagut aku pada alamimu. Pada dalammu.

Asmara tidak pernah mudah didefinisikan. Lagipula kata juga sebenarnya hanya bualan. Apa yang jujur yang tersisa selain rasa?

Nampakkan pula wajah surutmu. Aku tidak mengapa. Lagipula kamu sudah belajar banyak dari lautan tentang pasang surutnya toh? Dari perjalanan terombang-ambingmu, dari perjalanan terkoyakmu.

Kilau batu permata akan terpantul ketika banyak getir yang mendekam dalamnya. Pancarkanlah.

Esensi dari sebuah petualang ada di dalam jiwamu. Berbahagialah, wahai jiwa-jiwa cerdas. Jiwa tercerdas yang pernah kujumpai. Sempurna, untukku, karena terus mencari kesempurnaan. MencariNya.

Selamat berjumpa, sayang. Senang menjumpaimu di kehidupan yang sekarang. Keajaiban cerita Heracles dan Abderos akan berpihak pada kita. Memang bukan sekarang. Saatnya akan tepat. Kita hanya tidak memerlukan ketergesaan. Gegabah membawa musibah. Tabah.

Estetika akan terajut menjadi harmoni dari sebuah yang kusut. Benang atau kerumitan lain. Itu yang kutemukan ada di dalam lautan lepas.

Denting hujan semakin bernada di sini. Seindah gesek cello yang kamu mainkan di gedung pertunjukkan itu. Dulu bersama kawananmu. Tidak boleh ada suara lain di sana, selain alat musik. Bahkan helaan nafas pun kalau bisa jangan terdengar. Bisa mengganggu kekhusyukkan pertunjukkan. Bersama sebelas rekananmu, kamu menghipnotis kami yang ada di ruangan. Baru kutahu juga bahwa di zaman youtube sekarang ini, jutaan penonton ikut terhipnotis hingga memutar ulang Ave Verum Corpus gubahan siapa dulu itu yang memimpin pertunjukanmu. Ya, berputar memori seperti berputar bumi pada porosnya. Berputar di situ-situ saja. Hujan rintik membawaku semakin dalam tenggelam dalam lautan.

Insting eros meledak-ledak. Jangan salahkan. Sama mendentumnya dengan thanosku. Keduanya berpadu. Berkejar-kejaran tanpa tahu siapa mendahului siapa.  

Hanya yakin bahwa jika salah satu berhenti, maka berhentilah sudah cerita.

Asmara sukar didefinisikan. Sama seperti tamat yang dipaksakan, asmara akan terkoyak jika didefinisikan.

Nantikan sembari nikmati. Keberlanjutan kisah ini akan hadir setiap harinya, setiap waktu. Baik dalam realita juga dalam imaji. Terima kasih untuk hadirmu. Tidak hanya menghadirkan nama tetapi juga makna.

2 komentar:

  1. Sukaaaa ❤❤❤
    Udah lama ga baca tulisan daiyen. Hebat kamu masi tetep nulis. Aaaaaa jadi kangen nulis..

    BalasHapus
    Balasan
    1. NAMOOOOONN!!!!! *peluk peluk gigit* huaaaaa kangeeeennn...
      hihihii iya Namoon, yang bikin tetep hidup soalnya *tsah ahahaha.. kamu juga ayo tulis tentang aku!!!

      Hapus