Selasa, 28 Oktober 2014

Sebuah momen hening




Aku butuh momen untuk hening. Karena aku terbiasa hidup dalam bising. Bukan bisingnya kota, sebab itu bisa kualihkan dengan mendengar musik instrumental. Bukan bisingnya anak-anak sekolah di waktu belajar, sebab mereka bisa kutegur. Bukan bisingnya suara musik di klab malam, sebab itu bisa kuhindari dengan memilih untuk tidur saja. Bisingnya ini, lalu-lalangnya pikiranku. Ke sana kemari tak karuan. Meletup-letup memenuhi ruang, meninggalkan sisa yang menutut untuk diangkat, yang artinya tidak berhenti berpikir. Tidak bisa dihentikan, atau dialihkan, atau ditegur.

Tidak. Aku tidak ingin berhenti berpikir. Satu-satunya anugerah yang diberikan Tuhan padaku, masa’ aku minta dihentikan? Aku hanya ingin menenangkan, mengatur kembali supaya tidak macet, supaya tidak bertabrakan.

Aku hanya ingin merasakan. Berpikir dengan hati. Oh! Betapa aku sudah lama absen…

Ada kelembutan. Seperti saat aku sedang di pulau pasir di laut Jawa. Ada ketenangan. Seperti saat aku sedang di pulau pasir di laut Jawa. Ada kedamaian. Seperti saat aku sedang di pulau pasir di laut Jawa.

Senyap. Burung pun entah di mana waktu itu, sama seperti riak yang menabrak pulau pasir tanpa bunyi, juga suara ombak yang berbalap-balapan tanpa desah dorongan angin. Aku perlu sendiri untuk merasakan ketidaksendirianku. Sebab justru dalam ramai aku abai.

Dalam momen hening ini, kuterima sayangmu dengan sepenuh hati yang kuberikan padamu.

Terima kasih untuk hadirmu di persimpangan, memenuhi cerita epik kolosalku, seperti narasi epik kolosalmu.

Terima kasih untuk hadirmu di pinggir jalan, memberi rambu. Jangan segan untuk menegur dan jangan bosan untuk mengingatkan.

Terima kasih untuk hadirmu di tengah jalan, meninggalkan kesan dan kenangan yang tidak akan terlupa bahkan senantiasa kucaci di masa nanti.


Mendewasa merupakan pilihan. Boleh kalau aku memilih tidak tetap kenanak-kanakan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar