Aku butuh momen untuk hening. Karena aku terbiasa hidup
dalam bising. Bukan bisingnya kota, sebab itu bisa kualihkan dengan mendengar musik
instrumental. Bukan bisingnya anak-anak sekolah di waktu belajar, sebab mereka
bisa kutegur. Bukan bisingnya suara musik di klab malam, sebab itu bisa
kuhindari dengan memilih untuk tidur saja. Bisingnya ini, lalu-lalangnya pikiranku.
Ke sana kemari tak karuan. Meletup-letup memenuhi ruang, meninggalkan sisa yang
menutut untuk diangkat, yang artinya tidak berhenti berpikir. Tidak bisa
dihentikan, atau dialihkan, atau ditegur.
Tidak. Aku tidak ingin berhenti berpikir. Satu-satunya
anugerah yang diberikan Tuhan padaku, masa’ aku minta dihentikan? Aku hanya
ingin menenangkan, mengatur kembali supaya tidak macet, supaya tidak
bertabrakan.
Aku hanya ingin merasakan. Berpikir dengan hati. Oh! Betapa
aku sudah lama absen…
Ada kelembutan. Seperti saat aku sedang di pulau pasir di
laut Jawa. Ada ketenangan. Seperti saat aku sedang di pulau pasir di laut Jawa.
Ada kedamaian. Seperti saat aku sedang di pulau pasir di laut Jawa.
Senyap. Burung pun entah di mana waktu itu, sama seperti riak
yang menabrak pulau pasir tanpa bunyi, juga suara ombak yang berbalap-balapan tanpa
desah dorongan angin. Aku perlu sendiri untuk merasakan ketidaksendirianku. Sebab
justru dalam ramai aku abai.
Dalam momen hening ini, kuterima sayangmu dengan sepenuh
hati yang kuberikan padamu.
Terima kasih untuk hadirmu di persimpangan, memenuhi cerita epik
kolosalku, seperti narasi epik kolosalmu.
Terima kasih untuk hadirmu di pinggir jalan, memberi rambu.
Jangan segan untuk menegur dan jangan bosan untuk mengingatkan.
Terima kasih untuk hadirmu di tengah jalan, meninggalkan
kesan dan kenangan yang tidak akan terlupa bahkan senantiasa kucaci di masa
nanti.
Mendewasa merupakan pilihan. Boleh kalau aku memilih tidak
tetap kenanak-kanakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar