Jangan salahkan aku kalau aku semakin mengagumimu. Pertama
kalinya menjalani peran sebagai pengagum rahasia dari seseorang, ternyata
rasanya bisa sebegininya. Satu sisi mungkin muluk karena berpikiran bahwa cinta
tidak harus memiliki, namun di sisi lain merasakan bahwa cinta yang sedemikian
besarnya sudah sangat mencukupiku, menghidupiku. Rasanya, masih ada trauma yang
mendalam ketika mencintai lebih dari batasnya, meskipun katanya cinta tak
mengenal batas.
Beginilah aku, selalu menatap setiap langkahmu dengan doa.
Tenang, hanya doa yang bisa kukirimkan sebagai teror untukmu. Lain tidak.
Bunga? Kamu tidak suka bunga dan romantisme yang kata orang picik dan kekanak-kanakan
itu. Surat? Coklat? Lagu? Memang ada sedikit untukmu, tapi rasanya tidak usah
kuberi. Persilakan aku untuk egois. Menikmati menuliskan tentangmu, dan tak
membaginya dengan siapapun kecuali aku.
Aku tidak menuntut untuk dikasihani. Aku sudah mendapatkan
cukup kasih dengan begini. Aku serba berkecukupan. Aku bukan pakar bermain api.
Waktu itu, dengan sangat yakinnya aku merasa mampu menjaga api untuk tetap
hangat, tidak membakar dan menghanguskan, tidak juga redup lalu padam. Toh
akhirnya api yang kupunya terlampau besar, menghanguskan, lalu padam. Kurasa
jalan yang baik adalah meredam laju apiku sendiri, menyalakannya di tempat lain
yang lebih aman, dan tidak ada yang tersakiti.
Lari dan terus berlari.
Tulis dan terus menulis.
Menulis adalah pelarian.
Biar saja, biar tetap waras, walau tahu bahwa sudah melenceng
dari garisan kewajaran.
Tetaplah menjadimu yang kukenal, meski kamu tidak
mengenalku. Izinkan aku menikmati setiap senyum. Setiap buah pikir. Setiap rasa
sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar