Aku, laki-laki dari kejauhan.
Setiap hari menunggunya datang ke stasiun. Setiap jam pulang kerja yang tidak
menentu. Setia.
Kemarin
itu, beberapa hari yang lalu, dia cantik sekali. Kurasa dia sudah semakin
matang, bukan hanya dari usia tetapi juga dari peran yang harus ia jalani
setiap harinya. Katakan aku sok tahu karena itu satu-satunya yang jelas dari
diriku. Jelas, sebab aku tidak pernah bercengkrama dengannya. Ah, kok muluk
sekali bercengkrama. Menyapa saja mungkin kurang santun.
Kemarin
itu, beberapa hari yang lalu, dia berjalan bersama temannya. Berdua akrab
sekali. Seperti sudah mengenal beberapa tahun lamanya. Aku ingin iri, namun
memilih untuk tidak.
Kemarin
itu, beberapa hari yang lalu, senyumnya dewasa sekali. Aku selalu mudah terpincut
oleh murah senyumnya yang tidak murahan. Kepada temannya itu ia tersenyum,
kepada diriku bahagia itu tersampaikan.
Kemarin itu,
beberapa hari yang lalu, kulihat ia berjalan anggun. Sama memang seperti
hari-hari sebelumnya. Hanya saja, ia lebih anggun hari itu. Dengan tas
jinjingnya, ia melangkah ringan. Seperti tidak ada beban yang terlalu berat. Mungkin
ia sedang bahagia.
Kemarin itu, beberapa hari yang lalu, menunggunya di peron, banyak sekali ia bercerita. Aku tidak tahu pasti apa yang ia ceritakan, sebab aku dari kejauhan. Tetapi dari yang berjarak itulah, aku senang menerka-nerka, celotehan macam apa yang ia bagi ke temannya itu? Wajahnya cerdas, kutebak, mungkin tentang pengetahuan-pengetahuan yang ia dapat hari itu? Wajahnya misterius, kutebak, mungkin tentang masalah-masalah kehidupan yang seperti badai, yang tidak bisa diceritakan kepada banyak orang. Wajahnya lembut, kutebak, mungkin tentang bahagia yang ia resapi hari itu? Aku (sok) tahu benar ketangguhan dan kebahagiaan seseorang tidak dilihat dari wajah ataupun proposi tubuhnya. Tetapi mudah-mudahan kesederhanaan syukur selalu bersamanya yang rumit.
Kemarin itu, beberapa hari yang lalu, ia melangkah masuk ke dalam kereta yang baru datang. Sama seperti hari yang sebelumnya, ia selalu menyempatkan menengadahkan kepalanya ke langit. Seperti berdoa, kurasa. Berdoa yang berbeda denganku yang menunduk melihat tanah. Lalu ia menghilang ketika pintu tertutup.
Menyaksikannya
hampir setiap sore seperti menunggu acara favorit waktu kecil dulu.
Ah ya, ada yang berbeda dari kemarin itu, beberapa hari yang lalu…
…
dia memakai jaket dengan warna kesukaanku. Warna yang sama dengan warna
kulitku. Hanya saja tidak sebusuk dan sekumal kulitku. Coklat warnanya.
Setahuku, kereta memang dingin. Seinginku, menghangatkannya melindunginya
mendekapnya, seperti jaket itu. Biar pun aku sendiri kedinginan di atas gelaran
kardus penghangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar