Selain sudut, ucapkan salam perkenalan pada satu sosok yang bisa kita sebut sebagai saksi hidup kegamangan perempuan itu. Perkenalan tidak perlu harus selalu berbasa-basi. Jadi aku tidak perlu memperkenalkan namanya. Juga alamatnya di mana, atau apa hobinya. Pribadi itu, tidak cukup dijelaskan melalui atributnya. Lagipula atribut yang melekat itu suatu hari akan dilepas juga. Izinkan aku memperkenalkan sosok ini dengan kalimat yang menjadi bukan hanya menyapa, namun menegur lebih dalam perempuan gamang itu, “Kenapa sih, gak terima saja setiap yang datang? Kenapa sih mesti ada standar yang tinggi bahkan untuk ‘hadiah’ yang datang kepadamu?”Aku –yang bersembunyi di antara tembok bata- yakin masih banyak lanjutan kenapa dan kenapa yang hendak ditanyakan, namun untuk kali itu, cukup dua tanya kenapa yang ia lontarkan.
Belum sempat perempuan gamang itu membalas tegurannya, ia terserap ke dalam lubang keheningan yang semakin menggoda. Meninggalkan sudut ruang yang mati, meninggalkan sosok perempuan yang hidup.
*
“Cepetan dong, mak! Ini ‘ntar lagi datang keretanya dari Manggarai!” perempuan muda itu, masih dengan nada yang tinggi, antara menggandeng atau menarik ibunya berjalan mendekati area peron. Perempuan tua itu sudah berjalan secepat mungkin, tetapi memang cacian dari perempuan muda itu tetap saja lebih cepat daripada langkahnya. Ah, kecepatan suara bukankah memang lebih cepat daripada kecepatan gerak? Ia mencoba untuk mempercepat langkahnya. Untuk itu ia harus menunduk memerhatikan jalan di depannya. Ternyata lagi-lagi, menunduk dianggap sebagai suatu kesalahan oleh si perempuan muda.
“Yaelah, maak! Duduk sini, ngapain jalan jauh-jauh ke sana. Nih ada tempat duduk! Jalan, main jalan aja, gak lihat-lihat anaknya ke mana,” katanya gemas. Raut wajah kesal mewarnai perempuan muda yang duduk di kursi peron. Perempuan tua yang tersadar oleh teguran perempuan muda, segera berbalik badan dan berjalan pelan menuju tempat duduk. Kesadarannya sungguh dituntut untuk cepat sekali berganti. Belum selesai menyadari cara masuk peron, sudah harus berjalan cepat. Belum selesai menyadari perlunya berjalan cepat, sudah harus duduk. Apakah memang secepat ini kesadaran bermain dalam kehidupan di usia senja? Dan perempuan tua itu yang terlalu lambat sehingga kewalahan? Tidak adakah kesempatan yang diberikan oleh waktu, paling tidak untuk mengizinkan kesadarannya sekedar mengambil nafas?
Terduduk perempuan tua itu. Mengambil nafas. Beruntungnya, perihal mengambil nafas tidak ikut-ikutan mencari perhatian untuk disadari. Beruntungnya, manusia memang tidak pernah bisa sadar pada seluruh hal di sekelilingnya sekaligus. Perempuan tua itu bisa semakin kewalahan ketika dituntut juga menyadari dirinya bernafas. Perempuan tua itu masih bisa memegang bangku besi itu dan meletakkan pantatnya di sana.
Dalam duduknya, perempuan tua itu membiarkan dirinya beristirahat sejenak. Belum lama duduk, perihal bernafas sudah memanggil-manggil untuk disadari. Ah, betapa kesadaran di usia senja cepat sekali muncul.
Lalu bagaimana kesadaran memainkan perannya dalam kehidupan usia muda? Sadarkah perempuan muda itu dengan apa yang dia lakukan terhadap ibunya selama delapan menit terakhir? Apakah kesadaran berjalan selambat itu, hingga sebuah ketidaksantunan dianggap sebagai suatu kewajaran? Hingga beberapa tatap mata heran dianggap sesuatu yang lalu? Hingga untuk beberapa menit ke depan, ia akan melakukan hal yang sama sebagai proses pembelajaran dan berujung pada kebenaran versinya? Mungkin memang begitulah. Suatu kewajaran apabila anak muda belum cukup sadar atas kehidupannya. Juga, dapat dimaklumi apabila anak muda belum cukup sadar tentang diri dan sekitarnya. Kelak waktu yang membantu menyadarkannya.
Atau, adalah suatu anugerah, ketika seorang anak muda seusiaku memanfaatkan kebebasan yang terberi sepenuhnya untuk menyadari -setidaknya seper-berapa bagian- kehidupan? Bukankah seorang kawan juga pernah mengatakan bahwa menjadi bulan yang kepagian bukan tidak bisa dinikmati indahnya? Sepertinya tidak perlu menunggu usia senja untuk menikmati kesadaran. Sepertinya tidak perlu menunggu waktu sore senja untuk menikmati keindahan. Apalagi untuk menikmati keindahan kesadaran, mengapa harus menunggu?
Itu hadiah pertama.
*
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar