Senin, 10 Februari 2020

tempat pembuangan



Perempuan datang ke tempat pembuangan. Membawa serta anak pilihannya. Ia datang dengan perasaan cinta yang meletup-letup. Tampak nyata letupannya menyala di dalam matanya yang membara.

Anak laki-lakinya bertubuh lebih besar dari perempuan itu. Padahal usianya terpaut tiga puluh dua tahun. Apa memang anak zaman sekarang memiliki gizi yang lebih baik, atau memang kehidupan sedemikian menguras raga si perempuan hingga ciut.

Tibalah perempuan itu di tempat yang pada akhirnya ia beranikan langkahnya untuk ke sana. “TEMPAT PEMBUANGAN” terpampang jelas kali ini. Bukan hanya di batas ingin dan ragunya lagi. Satu kaki tertahan di depan papan itu, seperti menahan agar tidak lagi maju. Namun sebelah kakinya sudah berancang-ancang untuk terus. Bagaimana ini, mengapa dua kaki dan satu hati tidak pernah benar-benar bisa membantu menghadapi situasi yang dilematis?

Belum habis dia berpikir, anak lelakinya yang tadi menggandeng tangannya kini melepas tangan dan tanya, “Bunda, tempat apa ini?”

*

“Dia, adalah anak saya juga,” tuturnya dengan sangat jelas, tanpa getar tidak yakin, dan penuh keikhlasan. Hampir enam tahun aku menjaga tempat pembuangan ini, baru kali ini kujumpai seorang ibu yang sedemikian tangguhnya. Tidak terbayang sudah berapa air mata yang mengalir dan mengering, hingga lajur-lajurnya mencipta raut muka tegar di wajahnya. Namun, matanya tetap teduh. Baru kali ini, mendadak aku merindukan ibuku yang ada di kampung sana.

Anak lelakinya sedang melakukan pemeriksaan kesehatan dulu di ruang yang lain.

“Mengapa Ibu ingin membuangnya?” tanyaku.

“Tidak. Bukan dia yang ingin saya buang. Tidak lagi.”

“Maksud Ibu?”

Lalu ia ceritakan tentang kehadiran anak lelakinya itu. Anak laki-laki yang datang bukan dari rahimya. Anak laki-laki yang bukan buah cintanya –bahkan pada saat itu ia belum berani bercinta! Anak laki-laki yang datang atas campur tangan orang lain dan Tuhan. Anak laki-laki yang pernah merasai air susunya pada usia 2 tahun –air susu pertama yang anak laki-laki itu ingini dan pada akhirnya ia teguk.

“Dia, adalah anak saya juga,” tuturnya lagi. Hampir di setiap cerita, kalimat itu meluncur bagai iklan yang tidak pernah bosan dan tidak tahu diri. Sebagaimana iklan, barangkali kalimat itu ia buat untuk meyakinkan dirinya sendiri, pada setiap babak dan hari-hari bersamanya.

Ali. Anak lelaki itu.

Anak laki-laki yang tidak mau menyentuh tetek ibu kandungnya saat inisiasi dini. Ia malah meronta dan rewel, menolak merasai puting ibunya. Ibunya sudah diminta untuk meminta maaf padanya, sembari melakukan pendekatan agar mau menyusu. Sejak dua hari kelahirannya, ia terus menerus diasupi susu bubuk, biar bertahan hidup. Meskipun menurut cerita, tidak perlu diasupi susu pun dia akan tetap hidup dan jalan hidupnya yang terjal masih akan panjang.

“Sekarang, pada aktenya, ibunya adalah saya. Maka, saya adalah ibu dari anak laki-laki ini. Dan tidak ada seorangpun yang bisa meniadakan hal ini. Termasuk kenyataan sekalipun,” tegasnya.
Anak laki-laki ini masih hidup di bawah bayang-bayang kenyataan yang disuguhkan oleh bundanya. Bunda dan ayahnya, dengan kedua adiknya. Anak laki-laki ini hanya mengenal bunda sebagai ibunya dan ayah sebagai ayahnya. Ayah dan bunda yang teramat menyayanginya. Ia belum perlu tahu bahwa ia adalah anak hasil sisa keriaan dan kesia-siaan.

Namun kehidupan selalu berjalan paralel. Kenyataan yang dibuat oleh sang bunda, nyatanya beriringan dengan kenyataan yang dialami oleh si anak laki-laki sendiri. Ia telah terlatih untuk membangun dunianya sendiri. Sendiri. Tanpa kenal perasaan. Karena hidup secukupnya sudahlah sangat cukup.

Manusia pertama yang ia tolak adalah ibunya, manusia pertama yang menolaknya.

Garisan darah dan ikatan batin, misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Tumbuh besar mendewasa meski belum matang, bundanya kemudian mengantarkannya pada sebuah pertemuan yang dibuat-buat. Acara keluarga, katanya. Sebagaimana acara keluarga, menjaga adab adalah warisan. Bisa dengan memanggil nama sebutan tetua atau bisa dengan salim dan mencium tangan. Kepada semua paman dan bibi ia diperkenalkan. Maklum, hampir tujuh tahun tidak kembali ke kampung halaman, tentulah yang ada diingatan para tua itu hanyalah waktu masih gadisnya saja.

Ada satu bibi yang ketika diperkenalkan, anak laki-laki itu malah bersembunyi di balik bundanya. Seperti ketakutan. Rasa takut dengan keasingan yang demikian familiar, bisa dirasakan olehnya. Disuruhnya anak laki-laki itu bersalaman saja, tetapi ia menolak. Tidak mau, katanya. Lalu ia pergi, bermain dengan para sepupu.

Sang bunda terdiam setelahnya. Demikian juga dengan sang bibi –yang adalah ibu kandung si anak laki-laki.

Terputar kembali peristiwa tahunan lalu saat si bocah masih jabang bayi, masih meringkuk tidak berdaya di dalam rahim ibunya. Diminuminya ramuan herbal yang bisa membahayakan kandungan, ditendanginya perut ibu oleh si nenek, dua itu saja yang mampu diceritakan oleh ingatannya. Percobaan pembunuhan. Toh si jabang tidak mati. Sembilan bulan kemudian ia lahir normal. Sempurna. Dengan membawa kerapuhan di sana dan di sini.

Rapuhnya membuatnya terancam sekaligus kuat. Ia adalah anak laki-laki paling ganas di kelasnya, semua anak takut padanya, tidak berani macam-macam. Ia adalah anak laki-laki yang tidak mau dipeluk dan tidak mau dibelai. Rasa cinta buatnya adalah omong kosong. Hidup buatnya adalah tuntutan.

“Tapi dia, adalah anak saya juga.”

Sebuah hubungan rumit yang sulit dijelaskan, apalagi soal perasaan-perasaan terdalamnya.

“Saya teramat menyayanginya,”katanya, meskipun ia tidak tahu apakah perasaan itu akan sampai.

*

Sepulangnya perempuan dan anaknya, tempat ini begitu lengang. Padahal, bukankah baru saja segala 
tumpah ruah kepahitan hidup baru saja dibuangnya di tempat ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar