Minggu, 09 Februari 2020

Sungguh-sungguh Menjadi Bagian dari Alam



Bertahun menjalani hidup sebagai seorang manusia rupanya lebih banyak membawa pergumulan tentang masalah diri. Apakah aku bahagia, mengapa aku diberi nestapa, bagaimana rasanya dicintai, salahkah jika aku merasa kecewa, dan lainnya. Aku, aku, dan aku. Wajar, toh? Manusia memang keakuannya tinggi, mampu mengakui, dan mampu mengaku-aku.

Perjalanan kemudian membawa pada rasa sepi yang menakutkan. Tidak menjadi bagian penting di hati manusia lain, merasa tertolak dan terbuang, kemudian merutuki diri sendiri.

Di saat yang sama, bumi sedang menahan sakit dan mengerang dengan pelan. Erangan yang baru kemudian terdengar, meski samar. Untuk bisa mendengarnya lebih jelas, manusia ini perlu meletakkan telinganya lebih lekat dengan tanah, karena dekat saja tidak cukup.

Maka, manusia lepaskan segala yang melekat di tubuhnya, kemudian merapatkan tubuh telanjangnya kepada bumi. Tampilannya seperti ritual-ritual animisme yang sudah tidak populer lagi. Ketika merebahkan kepala dan menempelkan cuping telinganya pada tanah, ada sebuah rasa rindu yang asing.

“Ke mana saja kamu?” tanyanya.

Tiba-tiba air matanya meleleh jatuh menyamping, mendekati telinganya. Barangkali tanya itu memberinya perasaan telah ditemukan –aku sendiri tidak tahu lagi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Seperti seorang anak sekolah yang tersesat di pusat perbelanjaan dan ditemukan oleh ayahnya yang kelimpungan mencari ke sana kemari. Seperti seorang lelaki yang mengembara ke penjuru angin lalu angin malah membawanya kembali ke rengkuhan istrinya yang kehilangan.

Pulang.

Usai air mata reda. Ia biarkan jejaknya mengering di antara mata dan telinganya. Biar ada jejak dari kerak-kerak itu.

*

Kehidupan barunya setelah itu ia isi dengan lebih berpikir. Tidak lagi tentang keakuannya, melainkan tentang kemanusiaan. Sebab manusia tidak hanya semata aku; ada akal, dan ada alam semesta.

“Katanya, segala yang baik itu akan terurai. Katanya yang lain lagi, kebaikan itu akan abadi.”

*

Bulan pertama, ia sediakan tempat untuk memilah sampah rumah tangga. Bulan pertama, ia jadikan tanah sebagai lubang untuk terurainya bahan alami. Bulan pertama, ia siapkan komitmen untuk air matanya sendiri.

Belajar tentang biopori dan lubang kompos, belajar soal jenis-jenis sampah, belajar jenis-jenis pengolahan sampah, belajar mengurangi penggunaan barang berpotensi sampah plastik, belajar untuk lebih disiplin, dan belajar untuk menyosialisasikan gerakan kepada anggota keluarga.

Tentu masih banyak eror yang terjadi.

Ada saja sampah plastik yang sudah dikumpulkan ternyata malah dibuang ke tempat sampah juga. Alasannya karena ketidaktahuan dan pemikiran bahwa semua sampah pastik akan diserahkan kepada pemulung. Padahal tidak semua plastik bisa didaur ulang.
Tetap saja masih ada sampah campur yang tersisa di akhir hari. Alasannya karena terlalu malas untuk memisahkan plastik sekali pakai dengan bahan makanan yang melekat di dalamnya. Padahal bisa dicuci terlebih dahulu.

Namun semua eror itu perlu terjadi.

Memasuki bulan kedua, ia belajar untuk menerapkan ecobrick. Sampah sachet-an, yang berkontribusi sangat besar terhadap pencemaran alam dan penumpukan sampah, adalah jenis plastik yang tidak bisa terurai. Maka, ia endapkan sampah plastik yang tidak bisa terurai itu ke dalam botol mineral kemudian dimampatkan hingga padat.

Lagi, belajar lagi, dan masih melakukan kesalahan. Ada teknik yang luput diperhatikan sehingga beratnya belum mencapai bobot standar ecobrick. Idealnya, 600 ml botol air mineral bisa disesakkan oleh potongan plastik-plastik itu seberat 200 gr. Sementara, botol sudah penuh meski bobotnya baru 100 gr. Tidak apa, minggu-minggu ke depan, bisa diperbaiki.

*

Alam masih meraung barangkali. Akan tetapi di tanah ini, lebih banyak geliat sukacitanya.
Dan manusia, tidak lagi resah soal kesepiannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar