Bertahun menjalani hidup sebagai
seorang manusia rupanya lebih banyak membawa pergumulan tentang masalah diri. Apakah
aku bahagia, mengapa aku diberi nestapa, bagaimana rasanya dicintai, salahkah
jika aku merasa kecewa, dan lainnya. Aku, aku, dan aku. Wajar, toh? Manusia memang
keakuannya tinggi, mampu mengakui, dan mampu mengaku-aku.
Perjalanan kemudian membawa pada
rasa sepi yang menakutkan. Tidak menjadi bagian penting di hati manusia lain,
merasa tertolak dan terbuang, kemudian merutuki diri sendiri.
Di saat yang sama, bumi sedang
menahan sakit dan mengerang dengan pelan. Erangan yang baru kemudian terdengar,
meski samar. Untuk bisa mendengarnya lebih jelas, manusia ini perlu meletakkan
telinganya lebih lekat dengan tanah, karena dekat saja tidak cukup.
Maka, manusia lepaskan segala
yang melekat di tubuhnya, kemudian merapatkan tubuh telanjangnya kepada bumi.
Tampilannya seperti ritual-ritual animisme yang sudah tidak populer lagi. Ketika
merebahkan kepala dan menempelkan cuping telinganya pada tanah, ada sebuah rasa
rindu yang asing.
“Ke mana saja kamu?” tanyanya.
Tiba-tiba air matanya meleleh
jatuh menyamping, mendekati telinganya. Barangkali tanya itu memberinya
perasaan telah ditemukan –aku sendiri tidak tahu lagi kata yang tepat untuk
menggambarkannya. Seperti seorang anak sekolah yang tersesat di pusat
perbelanjaan dan ditemukan oleh ayahnya yang kelimpungan mencari ke sana
kemari. Seperti seorang lelaki yang mengembara ke penjuru angin lalu angin malah
membawanya kembali ke rengkuhan istrinya yang kehilangan.
Pulang.
Usai air mata reda. Ia biarkan
jejaknya mengering di antara mata dan telinganya. Biar ada jejak dari
kerak-kerak itu.
*
Kehidupan barunya setelah itu ia
isi dengan lebih berpikir. Tidak lagi tentang keakuannya, melainkan tentang
kemanusiaan. Sebab manusia tidak hanya semata aku; ada akal, dan ada alam
semesta.
“Katanya, segala yang baik itu akan
terurai. Katanya yang lain lagi, kebaikan itu akan abadi.”
*
Bulan pertama, ia sediakan tempat
untuk memilah sampah rumah tangga. Bulan pertama, ia jadikan tanah sebagai lubang
untuk terurainya bahan alami. Bulan pertama, ia siapkan komitmen untuk air
matanya sendiri.
Belajar tentang biopori dan
lubang kompos, belajar soal jenis-jenis sampah, belajar jenis-jenis pengolahan
sampah, belajar mengurangi penggunaan barang berpotensi sampah plastik, belajar
untuk lebih disiplin, dan belajar untuk menyosialisasikan gerakan kepada
anggota keluarga.
Tentu masih banyak eror yang
terjadi.
Ada saja sampah plastik yang sudah
dikumpulkan ternyata malah dibuang ke tempat sampah juga. Alasannya karena
ketidaktahuan dan pemikiran bahwa semua sampah pastik akan diserahkan kepada
pemulung. Padahal tidak semua plastik bisa didaur ulang.
Tetap saja masih ada sampah
campur yang tersisa di akhir hari. Alasannya karena terlalu malas untuk
memisahkan plastik sekali pakai dengan bahan makanan yang melekat di dalamnya.
Padahal bisa dicuci terlebih dahulu.
Namun semua eror itu perlu
terjadi.
Memasuki bulan kedua, ia belajar
untuk menerapkan ecobrick. Sampah sachet-an, yang berkontribusi sangat
besar terhadap pencemaran alam dan penumpukan sampah, adalah jenis plastik yang
tidak bisa terurai. Maka, ia endapkan sampah plastik yang tidak bisa terurai
itu ke dalam botol mineral kemudian dimampatkan hingga padat.
Lagi, belajar lagi, dan masih
melakukan kesalahan. Ada teknik yang luput diperhatikan sehingga beratnya belum
mencapai bobot standar ecobrick.
Idealnya, 600 ml botol air mineral bisa disesakkan oleh potongan plastik-plastik
itu seberat 200 gr. Sementara, botol sudah penuh meski bobotnya baru 100 gr. Tidak
apa, minggu-minggu ke depan, bisa diperbaiki.
*
Alam masih meraung barangkali.
Akan tetapi di tanah ini, lebih banyak geliat sukacitanya.
Dan manusia, tidak lagi resah
soal kesepiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar