Senin, 24 Maret 2014

awal kejatuhan cinta



Ada yang tersesat, ada yang tak bisa keluar. Tapi untuk apa keluar, kalau toh di dalamnya justru bisa menemukan dunia yang baru, dunia yang menenangkan, dunia yang membuainya, dunia yang tanpa dusta, dunia yang membiarkannya melepas apapun yang dikenakannya –entah topeng bahkan bajunya, dunia yang menjanjikan apa-apa seperti bahagia, dunia yang belum pernah yang ia kenal sebelumnya, dunia yang justru sebentar lagi merenggut dirinya.

Ia mulai jatuh cinta.

Pandang itu menusuknya, kedip itu menerbangkannya, senyum itu menariknya, segalanya mengapakan dia. Hingga ia benar merasakan bahwa setiap nafasnya ada bukan hanya untuknya tapi juga untuk sosok itu. Juga bahwa setiap tetes darah yang mengalir adalah bukan milikinya tapi juga milik sosok itu.
Entah bagaimana hal itu berakhir, kita tidak akan pernah tau. Demikian pula denganku, yang tidak mengenal satu sosok yang sedang terlena.

Begitu awalnya, dan perjalanan cinta yang jatuh pun dimulai.

Dari kejauhan bisa kulihat dia yang terburu-buru makan ketika berkumpul bersama gadis-gadisnya. Yang lain tertawa terbahak, dia cemas. Namun tidak ada yang dapat melihat kecemasannya, kecuali aku. Dengan lihainya mampu ia tutupi dengan sesekali menceletuk kalimat konyol yang membuat mereka kembali terbahak, kecuali dia. Segera saja habis santapan di hadapannya, segera ia undur diri pada teman-temanya. Sebelum sempat ditahan oleh gadis-gadisnya, ia melesat. Segera turun ke lantai 1 dan pergi dari kafe itu.
Dari kejauhan bisa kulihat para gadisnya yang kebingungan oleh tingkahnya. Satu orang marah, satu menenangkan, satu diam saja. Satu yang kutangkap, mereka kecewa.

Melesatnya gadis itu berarti juga melesatku ke sana. Entah ke mana.

Oh, ternyata pulang ia ke dunianya. Dunia yang tak pernah kupahami, yang dulu awalnya juga belum pernah ia pahami namun kini mencanduinya. Tidak ada senyum yang dipaksakan, tidak ada kecemasan, tidak ada kepalsuan. Gadis itu menjadi seonggok jiwa paling lemah yang pernah kusaksikan, di hadapan sosok pujaannya. Dan mereka terbuai, yang seolah menyuruhku untuk enyah dari dunia mereka.

Pernah juga suatu masa ketika gadis itu berhadapan dengan tanggung jawabnya. Terbengkalai. Hanya karena sosok itu menjemputnya dan membawanya jauh ke dalam dunianya.

Dunia mereka yang jatuh, tak pernah bisa kupahami.

Semakin lama memperhatikan polah kedua jiwa itu, semakin aku mengerutkan dahi. Apakah cinta semembahagiakan itu? Benarkah sekalipun jatuh, tidak ada yang terluka? Di duniaku, cinta tidak semembahagiakan itu, terkadang cinta menyakitkan. Apalagi ketika jatuh. Jatuh berarti sakit. Berani jatuh cinta berarti berani menanggung konsekuensi sakit atas cinta.

Tidakkah mereka sakit?

Belum. Belum saatnya sakit. Mungkin saja gravitasi di dunia mereka tidak memiliki besaran yang sama dengan gravitasi di duniaku. Dan itu berarti, sebentar lagi mereka akan sakit. Karena dengan gravitasi yang melambat, mereka bisa melakukan apapun yang mereka ingin lakukan sepuasnya. Dan dorongan nikmat untuk merasakan kepuasan manusia yang tidak terbatas kadang menjerumuskan manusia dan dalam waktu yang tidak terduga mengubah anugerah menjadi musibah –selalu dari sudut pandang manusia, yang melupakan tuhannya.

Bukan salahku ketika tiba-tiba saja badai menghampiri mereka. Menghampiri yang tidak hanya sekedar lewat tetapi juga sekaligus menghantam keduanya. Rupanya gravitasi yang terlalu lambat membuat putaran pasang dan surut yang tidak normal, yang tidak sengaja tertahan sehingga ketika gravitasi mencapai ke titik jatuhnya, semua terhempas.

Dalam sekejap dunia mereka kandas. Nasib mereka sungguh naas. Mereka yang tidak pernah mengetahui apa itu sakit, sejak saat itu berkenalan dengannya.

Perkaranya sederhana, masa depan yang tidak tampak pada awalnya, mungkin karena terbutakan, tiba-tiba saja menjadi masa kini yang harus ditelan oleh mereka berdua. Perkaranya sederhana, bahwa di masa mendatang, mereka tidak dapat bersama. Dan itulah yang kini mereka hadapi. Berapa pasang manusia lainnya yang juga kulihat begitu optimisnya soal kebersamaan? Ratusan! Berapa pasang manusia lainnya yang kulihat begitu kukuhnya mempertahankan ego atas hubungannya? Sama ratusannya. Berapa pasang manusia yang begitu saja termakan oleh indahnya kesesaatan yang menyesatkan? Yang ini mungkin lebih dari ratusan. Salah dua dari ratusan orang itu adalah mereka.


Yang sekarang, yang satu mati. Yang satunya pergi. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melalui getir seorang diri. Siapa suruh melupakan tuhan? 

2 komentar:

  1. tulisannya menarik, ala-ala capingnya GM. mengambang entah kemana akhir tulisannya namun menarik diikuti. salam kenal, ciao.

    BalasHapus
  2. wah! mas widianto indra, terima kasih sudah mampir! ah sudah lama seklai tidak menulis lagi... salam kenal juga ya :D

    BalasHapus