Ada yang tersesat, ada yang tak
bisa keluar. Tapi untuk apa keluar, kalau toh di dalamnya justru bisa menemukan
dunia yang baru, dunia yang menenangkan, dunia yang membuainya, dunia yang
tanpa dusta, dunia yang membiarkannya melepas apapun yang dikenakannya –entah
topeng bahkan bajunya, dunia yang menjanjikan apa-apa seperti bahagia, dunia
yang belum pernah yang ia kenal sebelumnya, dunia yang justru sebentar lagi
merenggut dirinya.
Ia mulai jatuh cinta.
Pandang itu menusuknya, kedip itu
menerbangkannya, senyum itu menariknya, segalanya mengapakan dia. Hingga ia
benar merasakan bahwa setiap nafasnya ada bukan hanya untuknya tapi juga untuk
sosok itu. Juga bahwa setiap tetes darah yang mengalir adalah bukan milikinya
tapi juga milik sosok itu.
Entah bagaimana hal itu berakhir,
kita tidak akan pernah tau. Demikian pula denganku, yang tidak mengenal satu
sosok yang sedang terlena.
Begitu awalnya, dan perjalanan cinta yang jatuh pun dimulai.
Dari kejauhan bisa kulihat dia
yang terburu-buru makan ketika berkumpul bersama gadis-gadisnya. Yang lain
tertawa terbahak, dia cemas. Namun tidak ada yang dapat melihat kecemasannya,
kecuali aku. Dengan lihainya mampu ia tutupi dengan sesekali menceletuk kalimat
konyol yang membuat mereka kembali terbahak, kecuali dia. Segera saja habis
santapan di hadapannya, segera ia undur diri pada teman-temanya. Sebelum sempat
ditahan oleh gadis-gadisnya, ia melesat. Segera turun ke lantai 1 dan pergi
dari kafe itu.
Dari kejauhan bisa kulihat para
gadisnya yang kebingungan oleh tingkahnya. Satu orang marah, satu menenangkan,
satu diam saja. Satu yang kutangkap, mereka kecewa.
Melesatnya gadis itu berarti juga
melesatku ke sana. Entah ke mana.
Oh, ternyata pulang ia ke
dunianya. Dunia yang tak pernah kupahami, yang dulu awalnya juga belum pernah
ia pahami namun kini mencanduinya. Tidak ada senyum yang dipaksakan, tidak ada
kecemasan, tidak ada kepalsuan. Gadis itu menjadi seonggok jiwa paling lemah
yang pernah kusaksikan, di hadapan sosok pujaannya. Dan mereka terbuai, yang seolah
menyuruhku untuk enyah dari dunia mereka.
Pernah juga suatu masa ketika
gadis itu berhadapan dengan tanggung jawabnya. Terbengkalai. Hanya karena sosok
itu menjemputnya dan membawanya jauh ke dalam dunianya.
Dunia mereka yang jatuh, tak
pernah bisa kupahami.
Semakin lama memperhatikan polah
kedua jiwa itu, semakin aku mengerutkan dahi. Apakah cinta semembahagiakan itu?
Benarkah sekalipun jatuh, tidak ada yang terluka? Di duniaku, cinta tidak
semembahagiakan itu, terkadang cinta menyakitkan. Apalagi ketika jatuh. Jatuh
berarti sakit. Berani jatuh cinta berarti berani menanggung konsekuensi sakit
atas cinta.
Tidakkah mereka sakit?
Belum. Belum saatnya sakit.
Mungkin saja gravitasi di dunia mereka tidak memiliki besaran yang sama dengan
gravitasi di duniaku. Dan itu berarti, sebentar lagi mereka akan sakit. Karena
dengan gravitasi yang melambat, mereka bisa melakukan apapun yang mereka ingin
lakukan sepuasnya. Dan dorongan nikmat untuk merasakan kepuasan manusia yang
tidak terbatas kadang menjerumuskan manusia dan dalam waktu yang tidak terduga
mengubah anugerah menjadi musibah –selalu dari sudut pandang manusia, yang
melupakan tuhannya.
Bukan salahku ketika tiba-tiba
saja badai menghampiri mereka. Menghampiri yang tidak hanya sekedar lewat
tetapi juga sekaligus menghantam keduanya. Rupanya gravitasi yang terlalu
lambat membuat putaran pasang dan surut yang tidak normal, yang tidak sengaja
tertahan sehingga ketika gravitasi mencapai ke titik jatuhnya, semua terhempas.
Dalam sekejap dunia mereka
kandas. Nasib mereka sungguh naas. Mereka yang tidak pernah mengetahui apa itu
sakit, sejak saat itu berkenalan dengannya.
Perkaranya sederhana, masa depan
yang tidak tampak pada awalnya, mungkin karena terbutakan, tiba-tiba saja
menjadi masa kini yang harus ditelan oleh mereka berdua. Perkaranya sederhana,
bahwa di masa mendatang, mereka tidak dapat bersama. Dan itulah yang kini mereka
hadapi. Berapa pasang manusia lainnya yang juga kulihat begitu optimisnya soal
kebersamaan? Ratusan! Berapa pasang manusia lainnya yang kulihat begitu
kukuhnya mempertahankan ego atas hubungannya? Sama ratusannya. Berapa pasang
manusia yang begitu saja termakan oleh indahnya kesesaatan yang menyesatkan?
Yang ini mungkin lebih dari ratusan. Salah dua dari ratusan orang itu adalah
mereka.
Yang sekarang, yang satu mati.
Yang satunya pergi. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melalui getir
seorang diri. Siapa suruh melupakan tuhan?
tulisannya menarik, ala-ala capingnya GM. mengambang entah kemana akhir tulisannya namun menarik diikuti. salam kenal, ciao.
BalasHapuswah! mas widianto indra, terima kasih sudah mampir! ah sudah lama seklai tidak menulis lagi... salam kenal juga ya :D
BalasHapus