Sabtu, 13 September 2014

catatan perjalanan

12 September 2014.

"Sebuah catatan tentang keberadaan dan jejak yang ditinggalkan. Jejak kaki yang pasti akan tersapu dan jejak memori yang tidak akan abadi. Semoga saja catatan ini akan mengembangkan senyumku, ketika kaki tidak bisa lagi menjejak dan memori tidak lagi abadi"

*

Sebelum perpustakaan, 10.00.

Aku selalu suka peron kereta api. Tempat penantian. Tempat pertemuan, termasuk pertemuan dengan perpisahan. Tempat segala kebetulan yang tidak mungkin, terjadi. Tempat kehidupan berlangsung. Kehidupan yang apa adanya, sedikit rekayasa. Di sini, sebagian besar orang melepas kedoknya. Toh orang lain juga tidak peduli dengan atribut yang melekat pada diri kita sebab di sini status semua orang sama. Menunggu. Ada yang dengan riangnya menunggu datangnya sebuah pertemuan, ada yang menunggu dengan was-was datangnya perpisahan, ada yang mesti rela menunggu kesempatan yang berlalu akan datang lagi entah kapan. Melihat orang yang berseliweran, aku tersenyum kecil. Ada alasan yang sama mengapa peron harus ada, seperti Sang Maha yang menciptakan dunia. Sebatas tempat persinggahan. Lalu, mau apa kita selama menunggu?

Masih dalam penantianku, aku melanglang lebih cepat daripada langkah orang-orang yang mengejar kereta tujuan Jakarta Kota. Kereta datang. Sudah sore, tapi masih saja penuh. Kereta (yang tidak kenal waktu) didominasi oleh pejuang-pejuang kantoran, ada juga beberapa pejuang pasaran, dan terselip pejuang rumahan. Di antara itu, ada juga pejuang jalanan. Di manapun, mereka itu sedang berjuang. Mereka tahu apa yang mereka perjuangkan. Keluarga, cinta, karir, kemewahan, kesahajaan, kemanusiaan, harga diri, apalah kalian bisa sebut yang lainnya. Setidaktahunya mereka tentang perjuangan, mentok-mentoknya pun, mereka akan dengan lantang bilang “memperjuangkan hidup mereka”.  Lantas aku? Malu aku menyamakan statusku dengan mereka, sebab aku tidak tahu apa yang kuperjuangkan.

Kereta datang. Buyar lamunanku yang mengaduk pikiranku tentang perjuangan. Temanku sudah menunggu di sana. Di tempat baru yang akan kami jelajahi bersama. Baiklah, sementara menunggu kehidupan, mungkin menjelajah akan menjadi jawaban yang lebih baik daripada tidak menjawab sama sekali soal apa yang kuperjuangkan.

*

Sebelum perpustakaan, 14.30.

Kami bertemu lagi. Kami berkumpul lagi. Kami tidak bisa mengontrol sikap dan tingkah laku agar tampak lebih bermartabat. Ugh! Rindu!

*
Perpustakaan, 16.30.

Setelah bercengkrama, kami memilih untuk berjalan dan masuk ke dalam perpustakaan. Kami memilih tempat kami masing-masing. Sebab kami ingin menunaikan tugas kami masing-masing. Sabahatku satu langsung memilih tempat duduk tanpa meja, yang satu berkeliling melihat dekorasi bagian dalam, yang satu lagi ke toilet (ada yang harus ditunaikan dengan segera). Aku, semestinya menunaikan baktiku pada negara. Tetapi menyayangi diri sendiri berada di nomor urut satu akhir-akhir ini, karena seringkali menomorsekiankan di bawah tumpukan pekerjaan.

Berjalanlah aku, berkeliling. Ah, ada sebuah surat cinta kutemukan di balik buku-buku koleksi berlabel sastra. Belum usang, tapi juga bukan surat yang baru ditulis kemarin. Sepertinya sudah beberapa tahun, sebab lipatannya melekat antara kertas itu.

14 Juni XXXX.

Tebak di mana aku menuliskan ini. Tempat yang tidak akan kupercayai bahwa aku ada di sini untuk menulis ini.


Perpustakaan (aduh menuliskannya saja aku gemetar).


Tempat yang sewaktu SD sangat kugemari. Tempat yang sewaktu SMP aku hindari. Tempat yang sewaktu SMA, kucaci. Dan sekarang, lebih boro-boro lagi, “tempat apa itu?” Aku ini sekarang tidak jelas jenjang pendidikanku. Tampaknya cara berpikirku dan cara merasaku masih sangat jauh dari orang yang terdidik. Jadi aku lebih percaya diri untuk mengatakan “tidak jelas” daripada berkoar persis seperti orang yang katanya paham apa arti mendidik, dididik, dan terdidik.”Katanya” itu ungkapan rasa kerdil dan ketidakbanggaan atas pencapaian diri sendiri. Aku, dengan segala ketidakjelasan pendidikan, rupanya bisa tampil lebih orisinil daripada mereka itu.


Perpustakaan (masih gemetar juga).


Tempat yang selalu menjadi favoritmu sejak SD hingga seusia sekarang ini. Tempat yang menjadi pemantul ide-idemu, kreasi-kreasimu, letupan-letupanmu. Tempat yang menjadi saksi bisu pertumbuhan pemikiranmu.
Aku tidak bersahabat dengan perpustakaan. Kalau ditanya, kenal, ya mungkin kenal. Sampai akhirnya aku bertemu dengan kamu, dan yang lebih parahnya mencintai kamu, yang membawa aku ke dalam sini. Mau tidak mau, aku berusaha untuk mengenal sahabatmu. Bukankah mencintai itu perihal keseluruhan? Mencintaimu berarti mencintai orang tua, keluarga, dan juga sahabat-sahabatmu. Sayangnya, salah satu sahabatmu adalah perpustakaan. Musuhku.

Adakah pasangan yang berkencan di perpustakaan selain Rangga dan Cinta? Ada. Salah satunya aku. Adakah pasangan –yang dua-duanya sama-sama penggemar kegiatan membaca dan menulis- yang berkencan di perpustakaan selain Rangga dan Cinta? Ada. Sayangnya itu bukan aku. (Ngomong-ngomong tentang aku dan Ada Apa dengan Cinta, bahan bacaan puisi pertamaku dan terakhir –sebelum bertemu kamu- ya tentang “AKU” itu. Tapi bacanya bukan di perpustakaan).  


Kapan aku mengenal perpustakaan? Ketika esde! Ketika buku-buku bacaan banyak yang gambarnya. Ketika aku lebih bisa membuat cerita dari gambar sesuka hati. Ketika aku boleh duduk dan bergulingan di lantai ruangan yang ber-AC. Itu saja yang sangat positif dari memoriku tentang perpustakaan.


Siang hari ini, mengapa juga kamu bawa aku ke mari. Tempat ini membuatku trauma. Kalau ada apa-apa dulu, anak berseragam putih-biru sampai putih-abu-abu yang bermasalah itu dihukumnya di perpustakaan. Rupanya guru-guru sudah tahu apabila menghukumku di WC atau di lapangan akan menyenangkan buatku. Maka ditaruhlah aku di perpustakaan. Dua jam pelajaran. Sembilan puluh menit! Di lapangan, waktu sembilan puluh menit itu bisa banyak hal kulakukan seperti mencabuti rumput. Di WC pun juga, menyikatinya. Mencabut dan menyikat itu tidak perlu berpikir. Aku gemar kegiatan yang tidak perlu berpikir. Sementara di perpustakaan? Perpustakaan itu kan, tempat orang-orang pemikir, yang segala sesuatunya dipikirkan. Apa tidak takut mati ya mereka itu?


Dua jam pelajaran kalau dipersilakan tidur sih, aku akan sembah sujud pada pemilik semesta. Tapi ketika dua jam pelajaran duduk di meja perpustakaan dipaksa untuk menyarikan artikel dengan sastra Inggris, atau biografi Salman Khan, didampingi dan akan diuji oleh seorang guru killer sebelum aku boleh kembali ke kelas, harus bagaimana aku selain mengangguk lemah dan mulai menuliskannya.  Entahlah apa yang kutulis, sepertinya mengarang bebas. Saat itu aku merasa sangat bodoh, bahkan ketika ditanya tentang siklus air pun jangan-jangan aku tidak mampu. Masa-masa sulit itu memang sudah berlalu. Tetapi yang berlalu pun bukan dengan penerimaan yang legowo. Makanya itu, mungkin masih mendendam.


Tuhan memang Maha Membolakbalikkan Hati Manusia. Hatiku dan otakku terbolak-balik oleh Tuhan lewat kamu. Aku biasanya alergi dengan perpustakaan. Jangankan masuk, membaca huruf “P-E-R-…” saja aku berpikiran negatif, padahal bisa saja itu“PERUSAHAAN”. Kalau sudah begitu biasanya aku mejaga jarak aman, radius sekitar dua kilometer dari tulisan itu, misalnya berakhir di warung Ibu Barkah dekat stasiun itu. Tapi hari ini, mukjizat itu benar nyata adanya. Buktinya, aku sekarang duduk manis di sini. Apalah artinya jaga jarak aman dari tempat mengerikan itu dibandingkan jaga image di depanmu. Aku butuh konsentrasi maksimal. Supaya aku tidak salah tingkah dan tidak salah langkah.


Ini bukan lagi sekedar pertemuan dua orang, dua karakter dan dua jiwa. Aku bilang dunia. Aku datang dari dunia butaaksara, kamu datang dari dunia antah berantah yang di sekelilingmu ada permen dan rumah dari susunan huruf dan angka. Ada jalinan dan rasa yang aneh yang muncul ketika dua dunia bertemu. Walau buatku, pertemuan ini lebih terasa konyol daripada romantis. Bagaimana tidak. Kamu bayangkan skenario di bawah ini. Ini tentang kita, di sore hari itu. Semoga kamu ingat. Kamu sebahagia itu, dan aku sesengsara itu. Baru sekarang kurasakan bahagia di atas deritaku.


Aku senang kamu yang berteriak kagum memaksaku untuk setuju bahwa dekorasi perpustakaan ini unik. Sementara aku gagap, “apanya yang indah dari batu-batuan di taman dan bangunan berisi buku?”Kamu tetap berargumentasi bahwa bangunan itu adalah bangunan indah kedua. Setelah rumahmu. Ya, ya, ya. Buatku kamulah yang indah kedua. Setelah ibuku. Gombal. Maaf.


Aku senang kamu yang kegirangan bertemu dengan buku. Sementara aku malah mual. Demi Tuhan, aku mulas juga, tetapi karena jaga image itu tadi, aku bertahan.


Aku senang kamu yang mengajakku menuju meja dan kursi di pojok sebelah dalam. Sementara aku keringat dingin menghitung langkah demi langkahku masuk ke sana. Tidak bisakah kita hanya duduk di terasnya?Atau radius dua kilometer saja dari sana?


Aku senang kamu yang duduk tenang di kursi di sudut ruang itu. Sementara aku mati gaya, apa yang harus kulakukan?Selain membaca kutipan-kutipan yang ditempel di tembok atas di beberapa sisi gedung itu?Bagaimana kamu bisa setenang itu, sementara aku ingin teriak tiba-tiba saja, tapi kutahan. Takut dihajar massa, lalu ditinggal kamu.


Aku senang kamu yang tidak melepaskan mata dari kumpulan kalimat itu. Sementara aku senang tidak melepaskan mata dari kamu. (Ada juga bagian yang kita sama-sama senang!)


Aku senang kamu yang melahap beberapa buku dan tidak surut sedikitpun semangatmu untuk menceritakan ulang kepadaku. Sementara aku mati-matian mencerna semua yang kamu ceritakan. Kamu ini kok apa-apa diserap toh? Sepertinya aku harus belajar darimu, banyak menyerap, supaya ketika diperas tidak segera mengering.


Aku senang kamu yang semangat mencari apa lagi, apa lagi, dan menunjukkan ini itu padaku, persis anak kecil yang dilepas di halaman belakang rumah nenek kakeknya. Sementara aku malah lelah. Lelah berpura-pura menyusuri lorong berlabel “sastra”, “politik sosial”, “jurnal”,”ekonomi”. Sungguh, berpura-pura itu melelahkan dan aku tidak tahan. Maka dari itu, di tulisan ini aku buka semua. Berharap kamu terima keterbukaanku. Aku ingin menyenangkanmu tanpa harus berpura-pura.


Aku senang kamu yang ngomel ketika aku-yang-mati-gaya memanggilmu untuk meruntuhkan kebosananku. Sementara aku menikmati marahmu. Benar kan, sudah gila aku, mana ada orang yang menikmati dimarahi. Perpustakaan selalu bikin otakku berputar. Kamu tanpa perpustakaan saja sudah membuat duniaku berputar. Kombinasi kamu dan perpustakaan, bisa mengacak-acak diriku seutuhnya, lahir dan batin. Terima kasih.


Aku senang kamu yang memintaku menceritakan sepenggal yang kubaca. Sementara aku mati kutu. Kemudian memutar ulang kisah biografi Salman Khan (ada untungnya juga sering dihukum).


Aku senang kamu yang menertawai tampang bodohku (katamu) ketika aku cemas menyetujui tantanganmu untuk membaca cepat dan menceritakan secara tepat. Sementara aku ingin koprol rasanya tetapi berusaha memasang tampang pintar –padahal bodoh, jadi percuma-. Kamu membuat belajar menjadi menyenangkan rasanya bagiku.


Aku senang kamu yang begitu penuh penghayatan ketika kutantang balik untuk mendeklamasikan sebuah puisi religius karya W.S. Rendra. Sementara aku yang tadinya hendak menertawakan menjadi takzim. Bagaimana tidak. Salahku juga asal pilih puisi dari kumpulan puisi yang ada di deretan sana. Kubiarkan kamu yang meminta waktu sejenak untuk meresapi, katamu. Lalu mempersilakanmu untuk berdiri dan mendeklamasikannya.


Sering kali aku berkata, ketika seorang memuji milikku,

bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan-Nya,
bahwa rumahku hanya titipan-Nya,
bahwa hartaku hanya titipan-Nya,
bahwa putraku hanya titipan-Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku ?

Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali
oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah

kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah
derita.

Ketika aku berdoa,

kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku," dan menolak
keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku..

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,

Hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama
saja."

Entah karena aku juga yang (lagi-lagi) bodoh, karena baru tahu bahwa yang namanya deklamasi itu sehidup itu, atau kamu yang memang punya daya magis sebegitunya, sampai ya sudah terlarutlah aku bersamamu dalam puisi. Puisi yang hampir selalu menjadi bahan olokanku ketika sekolah dulu.


Aku senang kamu yang cemberut dan tampang sedihmu menjelang jam tutup perpustakaan. Sementara aku mengucap syukur pada semesta. Ah ternyata ada juga bagian ini. Baru sekarang juga kurasakan bahagia di atas penderitaan orang lain.


Aku senang kamu yang memaksaku untuk membuat kartu anggota di sana. Sementara aku pasrah menerima kenyataan bahwa ada orang yang dalam setahun ajaran sekolah berganti sampai dua kartu (Seingatku dulu, kartu perpustakaanku kala sekolah hanya diisi dengan stempel pada lima baris pertama saja, dari mungkin seratusan baris yang tersedia). Katamu, “Ini bukan buat pinjam buku. Ini buat curi ilmu. Sepuas kamu” Tergelitik aku dengan istilah “curi”-mu itu. Sepertinya istilah itu terlalu brutal untuk sosok selembut kamu.Tapi aku tampaknya bisa menerimanya.  


Aku senang kamu yang mengiyakan tawaranku untuk jajan siomay di depan perpustakaan. Sementara aku sudah tidak peduli lagi apakah kamu mengiyakan atau menolak sebab aku sudah sangat kelaparan.  


Yang pasti, momen beberapa jam di hari ini benar-benar istimewa buatku.


Aku senang melihat kamu yang hanyut dan seperti mengalami fase trans masuk ke kehidupanmu yang lain. Salah satu sisimu dari yang berganda. Salah satu pintumu dari yang berlapis. Salah satu duniamu dari yang bahkan tidak terbayangkan olehmu. Menyenangkan melihatmu begitu menikmati dirimu sendiri.


Aku senang melihat kamu yang lepas. Lepas penat, lepas beban, lepas rasa, lepas pikir, lepas dari diri orang lain, lepas menjadi kamu.

Aku senang melihat kamu yang jujur. Kamu jujur sekali ketika kamu berhadapan dengan mereka. Dan rasa sayangmu berpendar ketika kamu jujur. Jujur melampiaskan kerinduanmu pada buku-buku kesayanganmu. Kamu penyayang buku tapi kamu bukan pemilih buku. Mungkin perasaan spesial itulah yang dirasakan oleh para buku. Ketika merasa menemukan sosok yang menyayangi tanpa memilih-milih. Menemukan sosok yang menyayangi tanpa memilih membuatku berpikir bahwa bukan pilihannya yang menjadi perkara, tetapi menyayanginya. Aku memang tidak selalu harus menjadi pilihan, tetapi berusaha untuk selalu menyayangi tanpa alasan. Kamu pun ada juga bukan semata untuk dipilih, tetapi untuk disayangi. Kamu berhak mendapatkan sayang sebesar sayangmu pada buku-buku itu.

Aku senang melihatmu memberikan kesempatan untuk berbagi. Berbagi. Saling. Kamu memberi, aku menerima. Aku memberi, kamu menerima. Aku sempat merasa rendah diri karena berpikir apa yang harus kubagikan padamu, bukankah kamu sudah memiliki semua dan tahu semua. “Da aku mah apa atuh?” Tetapi kamu menjawab bahwa ada yang bisa dibagi. Apapun. Kesempatan itu, benar-benar langka. Orang seperti kamu, benar-benar langka. Kamu membuat aku percaya bahwa kamu bisa dipercaya dan kamu memercayai aku serta aku layak dan pantas memercayai diriku.

Semoga orang langka seperti kamu tetap lestari.

Sungguhan deh, pertemuanku dengan sahabatmu yang ini lumayan membuatku migrain. Tetapi mengenal sosokmu dari hal-hal yang kamu sayangi sangat berharga untukku.


Izinkan aku menyudahi tulisan ini. Aku hanya ingin jujur, dan selesai sudah poin hari ini. Catatan ini catatan tentang keberadaan dan jejak yang ditinggalkan. Jejak kaki yang pasti akan tersapu dan jejak memori yang tidak akan abadi. Semoga saja catatan ini akan mengembangkan senyumku, juga senyummu, ketika kaki tidak bisa lagi menjejak dan memori tidak lagi abadi.




Kalau katamu, bahasa adalah rasa, bisakah kamu bantu aku bagaimana membahasakan rasa ini?
Dari sosok yang bertumbuh harapan agar tersembuhkan rasa traumanya.

Aku bergeming, mungkin juga tidak berkedip membaca serangkaian kalimat di kertas itu. Rasa cinta itu, pasangan itu, puisi Rendra itu, … kubiarkan berputar semua di kepalaku, kubiarkan semua menggaung di hatiku. Kulipat lagi kertas itu, kemudian kuselipkan di buku sastra yang kuambil secara acak tadi. Biar kertas itu jadi pelajaran untuk banyak manusia, pelajaran yang sesuai dengan interpretasinya masing-masing. Itulah serunya perpustakaan.  Ada saja harta karun yang tersembunyi di sana. Kalau kamu datang ke Freedom Institute, telusuri rak bagian “sastra”. Temukan salah satu kejutannya di sana.

*

1 komentar:

  1. Setidaknya ada 18 "Aku senang" di surat itu. Aku bergeming, turut menyetujuinya.
    Semakin mahir saja memilih angle, Di ;)

    BalasHapus