Ada seorang perempuan yang begitu
menyenangi bukit. Hanya satu bukit yang ia senangi. Bukit Bergota, namanya. Ya,
kamu tidak sedang salah membaca. Bukan, bukan Bukit Golgota. Tetapi mungkin
menyimpan garis besar cerita yang sama. Bukit yang sama-sama memberikan bukti. Bukit
yang sama-sama menyimpan kesakitan,
kesedihan, kekecewaan, kegetiran, ketegaran, keikhlasan, ketenangan juga
kedamaian.
Perempuan itu punya hobi mencatat
tanggal-tangal penting dalam kehidupannya, termasuk tanggal-tanggal perempuan
itu mengunjungi Bukit Bergota. Karena Bukit Bergota merupakan tempat yang spesial
bagi perempuan itu, maka ia mempersiapkan sebuah buku khusus untuk melukiskan
hasil kunjungannya. Buku yang belum pernah penuh sejak tahun 2008. Maklum,
jarak yang jauh untuk tiba di sana membuat perempuan itu tidak bisa terlalu
sering mengunjugi tempat kesayangannya. Bukit Bergota itu berjarak sekitar 540
kilometer dari tempat perantauan perempuan itu berdiri hari kemarin.
Semilir angin pagi itu bukan hanya menyapa si perempuan, tetapi juga dedaunan. Persis seperti di film-film yang ia tonton- film-film romantis, film-film mellow, film-film thriller- daun yang jatuh selalu menambah kesan mendalam untuk apapun ceritanya. Untuk perempuan itu, daun yang jatuh menambah kesyahduan ceritanya hari itu. Cerita tentang kembali.
Sebuah perjalanan selalu
merindukan jalan pulang. Kakinya sudah sampai di rumah pagi ini. Rumah yang ia
rindukan sejak pertama kali melangkahkan kaki entah ke mana. Rumah yang tidak
pernah ia biarkan lepas dari aliran darahnya meski bertubi-tubi tubuhnya mesti
berdarah selama beberapa tahun ini. Rumah yang selalu melekat di hati, meski terkadang
dibiarkan tertusuk di sana sini. Rumah yang dibayangkannya terpampang jelas dalam
benak, meski terkadang dosa membuatnya sesekali
samar dan terkadang hilang
.
Ya, perempuan ini jarang pulang.
Dan betapa pulang selalu menenangkan.
“Home is not a place. It’s a feeling”, begitulah yang kutemukan di
internet, begitulah yang perempuan itu temukan di sana. Di hadapan sebuah makam
berlapis keramik berwarna marun.
*
Tanggal terakhir yang tertera di
bukunya adalah 16 Maret 2012. Itu artinya sudah dua tahun silam ia berkunjung
ke bukit, sebelum perempuan itu bertualang lagi ke perantauan yang berbeda. Ke tempat
yang tidak berhenti membuatnya merasa takut.
Dunia merupakan tempat yang
mengerikan bagi perempuan itu. Dunianya pernah berhenti berputar dan pudar pada
Mei 2008. Tidak ada lagi kehidupan. Dunia hanya menawarkan kematian. Siapa juga
yang bisa tawar-menawar dengan kematian? Maka tanpa pikir panjang, perempuan
itu memutuskan untuk menghentikan dirinya dari segala sesuatu. Entah ia melamun,
entah ia pingsan, entah ia mati rasa atau mati pikir atau mati suri, yang jelas
ia sempat menolak berada di dunia ini. Untuk beberapa saat lamanya.
Dalam kacaunya batas antara bumi
dan dimensi lain, ia meracau. Dalam samarnya batas antara hidup dan mati, ia
memaki. Begitulah selama beberapa lamanya ia terluntang-lantung, bingung. Ia kehilangan.
Hampir semuanya hilang, orang tersayang di kehidupannya, arah hidup, apalagi semangat
hidup. Kecuali satu, kesadaran. Satu-satunya yang bisa ia rutuki karena bukankah
di saat-saat semenyedihkan itu, lebih baik tidak sadar saja sekalian? Biar
hilang semua tanpa sisa.
Sejenak ia mencari yang hilang di
ruang kosong. Sia-sia. Apa yang masih tersisa dari sebuah yang hilang dalam
kekosongan selain nihil? Bagaimana mungkin yang kosong bisa hilang? Perempuan itu
melayang-layang berputar-putar tanpa tahu arah. Perempuan itu bahkan lebih
buruk dari gerak rotasi planet di alam semesta, yang terarah.
Masih saja gelap di ruang itu.
Ternyata kehidupan ini tidak sesederhana perkara hidup atau mati. Jika hidup
sesederhana itu, maka perempuan itu sudah mengetahui posisinya saat itu, apakah
ia mati atau hidup. Ternyata semesta tidak mengizinkannya untuk tetap hidup
atau tetap mati, melainkan membiarkan perempuan itu berada di antaranya.
Semesta tidak terpaku pada kutub kepastian (Ngomong-ngomong soal kepastian,
mungkin ini juga ulah manusia yang dengan berbagai pengetahuan yang ia memiliki
kemudian berbesar kepala membuat kepastian). Dari pergerakan partikel terkecil
hingga perputaran planet, dari awal mula kisah penciptaan dunia yang beragam
versi hingga soal akhir dunia, hidup itu soal probabilitas dan
kontinuitas. Itu kalau manusia mau sadar. Sayangnya tidak semua manusia mensyukuri
anugerah kesadaran yang diberikan untuk mereka.
Berakhirkah kehidupan perempuan
itu setelah kehilangan?
Tidak adakah kemungkinan untuk
melanjutkan hidup setelah kehilangan?
Bumi yang terus berputar hanya
tahu arah tanpa tahu tujuan, menyerahkan tujuannya pada mahkluk selemah
manusia. Serah terima yang memuliakan manusia, yang tidak lagi memandang
manusia sebagai makhluk terlemah, juga tidak pernah memandang manusia sebagai
mahkluk
terkuat.
Perempuan itu mesti
mengada. Mesti. Biar ia temukan yang hilang dalam keberadaannya, sebab ia tidak
bisa menemukan yang hilang dari kekosongan.
Perempuan yang melayang kini
masih tetap melayang, tetapi yang kali ini dengan kesadaran utuh yang disadari.
Kesadaran bahwa hidup harus terus berjalan. Tidak mudah memang, tidak pernah
ada yang mengatakan melangkah dalam atau melangkah dengan kehilangan itu mudah,
termasuk yang ikhlas sekalipun. Lagipula, ikhlas bukan soal mudah atau
sulitnya. Ikhlas itu soal menikmati. Dan kehilangan bukanlah hal yang tidak
bisa dinikmati.
Maka setelah kepergian perempuan
itu ke dimensi yang aneh itu, perempuan itu mulai mengadakan dirinya.
Menghidupi hidupnya, seluruhnya yang mampu ia hidupi. Termasuk kenangan.
Enam tahun lamanya sudah ia
berhasil merangkak, kalau tidak bisa dikatakan berjalan dengan mulus. Tertatih
dalam pilihan-pilihan yang menggiurkan, dalam luka-luka yang terpaksa dibuat,
dalam jebakan lumpur hisap. Enam tahun lamanya, bayangan dan kenangan itu
senantiasa menyaksikan segala tindak tanduk perempuan itu. Ketika bayangan tak
selamanya tampak, dan kenangan seringkali diabaikan, maka keduanya bersatu padu
menghadirkan diri melalui buai mimpi. Mengunjungi perempuannya dengan lembut.
*
Dalam mimpinya, sosok perempuan
tua itu tersenyum teduh. Bagaimana ya mendeskripsikannya… Seperti danau bening,
matanya. Seperti tarikan batas cakrawala saat senja, senyumnya. Sempurna, untuk
perempuan itu.
Adegan itu yang sengaja diputar
terus menerus oleh si perempuan ketika dalam perjalanan menuju bukitnya. Menangis
tipis. Biar saja terurai dan tidak perlu dihapus. Semua dibiarkan mengalir. Setiap momen yang bisa diingat, setiap rasa
yang boleh disesap, setiap tindakan yang terekam. Tidak, dia tidak lagi meratapi
sosok tua kesayangannya untuk ada secara nyata di hidupnya. Tidak seperti satu tahun
yang lalu, ketika perempuan itu menangisi kepergiannya di hadapan sahabat
barunya.
Sebab hari ini, ada sebuah keyakinan baru bahwa ia
sedekat itu dengan sosok panutannya. Hari ini, sosok yang ia muliakan akan hadir
senyata itu.
Dan sosok itu sungguh hadir
secara nyata pagi hari itu. Perempuan mengambil lap basah dan menyapukannya di
atas tulisan yang tertera di nisan. Terdiam sejenak, perempuan itu merasa
seperti membasuh wajah lembut orang tua itu. Wajah yang sangat dihafal setiap
lekuk dan kerutnya, juga senyumnya. Perlahan, diulanginya pembasahan itu hingga
kira-kira sudah cukup bersih dan layak disebut sebagai nisan daripada tumpukan
batu tanpa makna.
Terduduknya perempuan itu di
dekat keranjang bunga yang akan ditebar nanti. Bunga yang wangi. Bunga yang
sebentar lagi akan mati. Ada yang tetap wangi meskipun ia mati. Nama dan
pribadi sosok tua yang sangat dicintai perempuan itu. Jadi perempuan itu
menaburkan bunga bukan agar wangi, tetapi sebagai bakti bahwa ia tidak pernah
lupa dengan perempuan tua itu begitu menyenangi bunga. Jadi perempuan itu
menyirami bunga yang tertabur dengan air bukan agar membasahi tanah makamnya,
tetapi sebagai pengingat tentang perempuan tua penuh asih yang menumbuhkan sedikit
demi sedikit kebaikan untuk orang-orang terdekatnya.
Lalu ia berdoa. Satu jam lamanya.
Hingga semilir angin dan kepak dua ekor burung gereja di atas pohon kamboja
saling bersahutan. Katanya, “Simpan rasa itu ya, biar jadi jangkar setiap kamu
rindu dan membutuhkan momen penyejuk itu”.
***
Love you, Kut :')
Love you, Kut :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar