Selasa, 14 Oktober 2014

kunjungan



Ada seorang perempuan yang begitu menyenangi bukit. Hanya satu bukit yang ia senangi. Bukit Bergota, namanya. Ya, kamu tidak sedang salah membaca. Bukan, bukan Bukit Golgota. Tetapi mungkin menyimpan garis besar cerita yang sama. Bukit yang sama-sama memberikan bukti. Bukit yang sama-sama menyimpan kesakitan,  kesedihan, kekecewaan, kegetiran, ketegaran, keikhlasan, ketenangan juga kedamaian. 

Perempuan itu punya hobi mencatat tanggal-tangal penting dalam kehidupannya, termasuk tanggal-tanggal perempuan itu mengunjungi Bukit Bergota. Karena Bukit Bergota merupakan tempat yang spesial bagi perempuan itu, maka ia mempersiapkan sebuah buku khusus untuk melukiskan hasil kunjungannya. Buku yang belum pernah penuh sejak tahun 2008. Maklum, jarak yang jauh untuk tiba di sana membuat perempuan itu tidak bisa terlalu sering mengunjugi tempat kesayangannya. Bukit Bergota itu berjarak sekitar 540 kilometer dari tempat perantauan perempuan itu berdiri hari kemarin.

Semilir angin pagi itu bukan hanya menyapa si perempuan, tetapi juga dedaunan. Persis seperti di film-film yang ia tonton- film-film romantis, film-film mellow, film-film thriller- daun yang jatuh selalu menambah kesan mendalam untuk apapun ceritanya. Untuk perempuan itu, daun yang jatuh menambah kesyahduan ceritanya hari itu. Cerita tentang kembali.

Sebuah perjalanan selalu merindukan jalan pulang. Kakinya sudah sampai di rumah pagi ini. Rumah yang ia rindukan sejak pertama kali melangkahkan kaki entah ke mana. Rumah yang tidak pernah ia biarkan lepas dari aliran darahnya meski bertubi-tubi tubuhnya mesti berdarah selama beberapa tahun ini. Rumah yang selalu melekat di hati, meski terkadang dibiarkan tertusuk di sana sini. Rumah yang dibayangkannya terpampang jelas dalam benak, meski terkadang dosa  membuatnya sesekali samar dan terkadang hilang
.
Ya, perempuan ini jarang pulang. Dan betapa pulang selalu menenangkan.

Home is not a place. It’s a feeling”, begitulah yang kutemukan di internet, begitulah yang perempuan itu temukan di sana. Di hadapan sebuah makam berlapis keramik berwarna marun.

*

Tanggal terakhir yang tertera di bukunya adalah 16 Maret 2012. Itu artinya sudah dua tahun silam ia berkunjung ke bukit, sebelum perempuan itu bertualang lagi ke perantauan yang berbeda. Ke tempat yang tidak berhenti membuatnya merasa takut.

Dunia merupakan tempat yang mengerikan bagi perempuan itu. Dunianya pernah berhenti berputar dan pudar pada Mei 2008. Tidak ada lagi kehidupan. Dunia hanya menawarkan kematian. Siapa juga yang bisa tawar-menawar dengan kematian? Maka tanpa pikir panjang, perempuan itu memutuskan untuk menghentikan dirinya dari segala sesuatu. Entah ia melamun, entah ia pingsan, entah ia mati rasa atau mati pikir atau mati suri, yang jelas ia sempat menolak berada di dunia ini. Untuk beberapa saat lamanya.

Dalam kacaunya batas antara bumi dan dimensi lain, ia meracau. Dalam samarnya batas antara hidup dan mati, ia memaki. Begitulah selama beberapa lamanya ia terluntang-lantung, bingung. Ia kehilangan. Hampir semuanya hilang, orang tersayang di kehidupannya, arah hidup, apalagi semangat hidup. Kecuali satu, kesadaran. Satu-satunya yang bisa ia rutuki karena bukankah di saat-saat semenyedihkan itu, lebih baik tidak sadar saja sekalian? Biar hilang semua tanpa sisa.
Sejenak ia mencari yang hilang di ruang kosong. Sia-sia. Apa yang masih tersisa dari sebuah yang hilang dalam kekosongan selain nihil? Bagaimana mungkin yang kosong bisa hilang? Perempuan itu melayang-layang berputar-putar tanpa tahu arah. Perempuan itu bahkan lebih buruk dari gerak rotasi planet di alam semesta, yang terarah.

Masih saja gelap di ruang itu. Ternyata kehidupan ini tidak sesederhana perkara hidup atau mati. Jika hidup sesederhana itu, maka perempuan itu sudah mengetahui posisinya saat itu, apakah ia mati atau hidup. Ternyata semesta tidak mengizinkannya untuk tetap hidup atau tetap mati, melainkan membiarkan perempuan itu berada di antaranya. Semesta tidak terpaku pada kutub kepastian (Ngomong-ngomong soal kepastian, mungkin ini juga ulah manusia yang dengan berbagai pengetahuan yang ia memiliki kemudian berbesar kepala membuat kepastian). Dari pergerakan partikel terkecil hingga perputaran planet, dari awal mula kisah penciptaan dunia yang beragam versi hingga soal akhir dunia, hidup itu soal probabilitas dan kontinuitas. Itu kalau manusia mau sadar. Sayangnya tidak semua manusia mensyukuri anugerah kesadaran yang diberikan untuk mereka.

Berakhirkah kehidupan perempuan itu setelah kehilangan?

Tidak adakah kemungkinan untuk melanjutkan hidup setelah kehilangan?

Bumi yang terus berputar hanya tahu arah tanpa tahu tujuan, menyerahkan tujuannya pada mahkluk selemah manusia. Serah terima yang memuliakan manusia, yang tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk terlemah, juga tidak pernah memandang manusia sebagai mahkluk 
terkuat. 

Perempuan itu mesti mengada. Mesti. Biar ia temukan yang hilang dalam keberadaannya, sebab ia tidak bisa menemukan yang hilang dari kekosongan.

Perempuan yang melayang kini masih tetap melayang, tetapi yang kali ini dengan kesadaran utuh yang disadari. Kesadaran bahwa hidup harus terus berjalan. Tidak mudah memang, tidak pernah ada yang mengatakan melangkah dalam atau melangkah dengan kehilangan itu mudah, termasuk yang ikhlas sekalipun. Lagipula, ikhlas bukan soal mudah atau sulitnya. Ikhlas itu soal menikmati. Dan kehilangan bukanlah hal yang tidak bisa dinikmati.

Maka setelah kepergian perempuan itu ke dimensi yang aneh itu, perempuan itu mulai mengadakan dirinya. Menghidupi hidupnya, seluruhnya yang mampu ia hidupi. Termasuk kenangan.

Enam tahun lamanya sudah ia berhasil merangkak, kalau tidak bisa dikatakan berjalan dengan mulus. Tertatih dalam pilihan-pilihan yang menggiurkan, dalam luka-luka yang terpaksa dibuat, dalam jebakan lumpur hisap. Enam tahun lamanya, bayangan dan kenangan itu senantiasa menyaksikan segala tindak tanduk perempuan itu. Ketika bayangan tak selamanya tampak, dan kenangan seringkali diabaikan, maka keduanya bersatu padu menghadirkan diri melalui buai mimpi. Mengunjungi perempuannya dengan lembut.

*

Dalam mimpinya, sosok perempuan tua itu tersenyum teduh. Bagaimana ya mendeskripsikannya… Seperti danau bening, matanya. Seperti tarikan batas cakrawala saat senja, senyumnya. Sempurna, untuk perempuan itu.

Adegan itu yang sengaja diputar terus menerus oleh si perempuan ketika dalam perjalanan menuju bukitnya. Menangis tipis. Biar saja terurai dan tidak perlu dihapus. Semua dibiarkan mengalir.  Setiap momen yang bisa diingat, setiap rasa yang boleh disesap, setiap tindakan yang terekam. Tidak, dia tidak lagi meratapi sosok tua kesayangannya untuk ada secara nyata di hidupnya. Tidak seperti satu tahun yang lalu, ketika perempuan itu menangisi kepergiannya di hadapan sahabat barunya.

Sebab  hari ini, ada sebuah keyakinan baru bahwa ia sedekat itu dengan sosok panutannya. Hari ini, sosok yang ia muliakan akan hadir senyata itu.

Dan sosok itu sungguh hadir secara nyata pagi hari itu. Perempuan mengambil lap basah dan menyapukannya di atas tulisan yang tertera di nisan. Terdiam sejenak, perempuan itu merasa seperti membasuh wajah lembut orang tua itu. Wajah yang sangat dihafal setiap lekuk dan kerutnya, juga senyumnya. Perlahan, diulanginya pembasahan itu hingga kira-kira sudah cukup bersih dan layak disebut sebagai nisan daripada tumpukan batu tanpa makna.

Terduduknya perempuan itu di dekat keranjang bunga yang akan ditebar nanti. Bunga yang wangi. Bunga yang sebentar lagi akan mati. Ada yang tetap wangi meskipun ia mati. Nama dan pribadi sosok tua yang sangat dicintai perempuan itu. Jadi perempuan itu menaburkan bunga bukan agar wangi, tetapi sebagai bakti bahwa ia tidak pernah lupa dengan perempuan tua itu begitu menyenangi bunga. Jadi perempuan itu menyirami bunga yang tertabur dengan air bukan agar membasahi tanah makamnya, tetapi sebagai pengingat tentang perempuan tua penuh asih yang menumbuhkan sedikit demi sedikit kebaikan untuk orang-orang terdekatnya.

Lalu ia berdoa. Satu jam lamanya. Hingga semilir angin dan kepak dua ekor burung gereja di atas pohon kamboja saling bersahutan. Katanya, “Simpan rasa itu ya, biar jadi jangkar setiap kamu rindu dan membutuhkan momen penyejuk itu”.

***

Love you, Kut :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar