“Aku selalu menginginkan waktu
lebih bersamamu. Entah untuk apa. Mendengar celotehanmu, menertawakan
pemikiranmu, mengagumi responmu, menghayati ceritamu, meresapi kejujuranmu, atau
meluapkan penatku, membagikan senyumku, melepas rasaku, menghangatkan hatiku. Untuk
hal-hal itulah aku seringkali menuntut waktu agar segera tiba pertemuan
berikutnya.” Kulipat kertas itu dengan lembut, siap untuk masuk ke dalam kotak
kecil di samping tempat tidurku.
Kotak yang mulai penuh, meski
tidak sepenuh ruang hatiku yang hanya muat diisi oleh satu, dan itu dirimu.
Pernah kubilang padamu beberapa waktu yang lalu, “Denganmu, apapun bisa menjadi
cerita untukku.” Sebab kamulah ceritaku.
Untung saja, masih ada ruang
untuk beberapa kertas lagi, sehingga cukuplah satu kertas tipis ini. Sebelum
memasukkannya, tergelitik rasaku melihat tumpukan kertas di dalam kotak itu. Ada
tulisan pada kertas-kertas yang usang, tulisan pada kertas daur ulang, tulisan
pada bagian belakang ketikan tugas akhir, tulisan pada kertas origami, bahkan
ada saja tulisan yang tertera di balik nota. Aku dan kata-kata tanpa kata sepakat
ternyata bersatu-padu merangkaimu. Merangkaimu versiku.
Untukku, merangkaimu dalam kata
menjadi hal yang tidak pernah habis, selama ini, meski inginnya selamanya. Kata
jumawa. Tanpa bilang padaku, kata meninggikan dirinya. Katanya, ialah yang
paling setia menemaniku merangkaimu. Nyatanya, kata seringkali kewalahan
menerjemahkan pikir dan rasa yang bertubi-tubi seiya sekata menyerukan namamu.
Kata menjadi kehilangan makna selain kumpulan huruf yang menyusun namamu. Saat
kehilangan itu, kata menjadi kelebihan gaya. Dengan majas-majas, dengan
istilah-istilah, dengan bunga-bunganya, dengan rayu dan puja-puji, yang menjadikannya
gombal bernasib menyerupai namanya, tak berarti. Saat itu, aku mulai menyadari
bahwa aku perlu membuat kesepakatan dengan kata. Membuat kesepakatan untuk
tidak memaksakan diri. Membuat kesepakatan untuk membuatnya menudukkan
tengadahnya kepalanya agar tidak terlampau tinggi. Membuat kesepakatan untuk
membiarkan segala yang tak terkatakan menggila dan menggilas. Membuat
kesepakatan untuk menyayangimu lebih dari sekadar kata. Kata sepakat. Katanya, “Rasa
yang indah, tidak sepatutnya dinodai oleh rentetan huruf yang egois.” Maka
begitulah, ada kertas putih yang kosong di antara tumpukan kertas dalam kotak
itu. Melihatnya, berkecamuk lagi semua rasa yang pernah dan masih ada. Kata
diam, memahamiku.
Nanti akan tiba masanya kotak itu
kubuang. Entah kubuang ke sungai di belakang rumah -ah tapi itu mencemari lingkungan!-
atau kubakar sendiri bersama tagihan-tagihan yang sudah lunas -meski sama juga
itu mencemari lingkungan-, atau kuberikan padamu –sepertinya ini yang paling bersahabat
bagi lingkungan. Satu kotak itu. Ngomong-ngomong kotak, pas sekali judul lagu
yang menjadi temanku sore ini, “Cinta dalam Kardus” dari Endah and Rhesa, meski
beda cerita. Ya, ada kamu di dalam sana. Jadi ketika nanti kuberikan kotak ini
padamu, aku mengembalikan apa yang menjadi hak untuk kamu miliki. Terima kasih
sudah meminjamkan sejenak padaku.
Tuntas sudah kertas keberapa
puluh yang kumasukkan kembali ke dalam kotak. Kubiarkan saja kertas-kertas itu
berserakan di dalam kotak. Cerminan hatiku. Penuh kepingan cerita, serpihan
rasa, potongan momen, yang tercecer tentangmu. Kututup rapi kotak.
Utas pita ungu yang tergeletak di
sampingnya segera kuraih. Ah, pita pemanis, batinku sambil tersenyum. Bukan
warna kesukaanmu, juga bukan kesukaanku. Kotak berpita ini bukan lagi bicara
tentang aku atau kamu. Kotak berpita ini bicara kita. Perpaduan rasaku
tentangmu, perpaduan pikirku tentangmu. Jadi aku tidak harus menghijaukan atau
membirukan pitanya supaya salah satu senang. Seperti katamu, menyayangi
seseorang itu tidak cukup hanya dengan membiarkan diri dicintai, atau mencintai
saja. Tidak buruk juga seandainya ungu adalah perpaduan hijau dan biru.
Kertas di atas kotak itu berwarna
putih. Ada inisial di sana. Bukan inisial namamu. Inisial nama orang lain,
sebab kucomot itu dari kertas hadiah undangan pernikahan anaknya ayahku.
Lagipula bukan inisialnya yang ingin kuceritakan. Melainkan gambarnya.
Gambarnya abstrak, gambar hitam putih. Sederhana, karena aku tidak bisa
menggambar yang konkrit dan berwarna. Gambar yang sama abstraknya dengan
isinya, sama acaknya dengan isinya, sama tidak jelasnya dengan pemiliknya.
Keabstrakan, keacakan, dan ketidakjelasan yang hanya bisa dibagi denganmu.
Merangkaimu hari ini sudah hampir
selesai. Besok lusa, kita serahkan saja pada kehendak semesta. Apakah ia mengizinkanku
merangkaimu dari deras angin yang membawa pergi hujan, atau lewat bisik kepak
burung gereja yang menghampiri remah roti, atau mungkin juga dari riak air di kolam
yang dibelah ikan-ikan. Kuserahkan saja skenarionya pada esok. Sama halnya dengan
menyerahkan harapan untuk menemuimu sekali lagi tanpa harus menuntut waktu mengabulkannya.
Untaian kata dan rasa yang tidak
saling memaksa menjadi lebih indah ketika mengukirmu. Bagaimanapun aku
membutuhkan keduanya untuk merangkaimu. Kamu sudah memenuhi hari dan hatiku
paling tidak untuk tiga jam ini. Sejak pertemuan tadi, perpisahan tadi, hingga
kurapatkan simpul pita ungu itu, yang kemudian kubuka lagi sebab tiba-tiba saja
menyeruak “Love is all around, when you’re
around.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar