Jumat, 19 Desember 2014

merangkaimu



“Aku selalu menginginkan waktu lebih bersamamu. Entah untuk apa. Mendengar celotehanmu, menertawakan pemikiranmu, mengagumi responmu, menghayati ceritamu, meresapi kejujuranmu, atau meluapkan penatku, membagikan senyumku, melepas rasaku, menghangatkan hatiku. Untuk hal-hal itulah aku seringkali menuntut waktu agar segera tiba pertemuan berikutnya.” Kulipat kertas itu dengan lembut, siap untuk masuk ke dalam kotak kecil di samping tempat tidurku. 

Kotak yang mulai penuh, meski tidak sepenuh ruang hatiku yang hanya muat diisi oleh satu, dan itu dirimu. Pernah kubilang padamu beberapa waktu yang lalu, “Denganmu, apapun bisa menjadi cerita untukku.” Sebab kamulah ceritaku.

Untung saja, masih ada ruang untuk beberapa kertas lagi, sehingga cukuplah satu kertas tipis ini. Sebelum memasukkannya, tergelitik rasaku melihat tumpukan kertas di dalam kotak itu. Ada tulisan pada kertas-kertas yang usang, tulisan pada kertas daur ulang, tulisan pada bagian belakang ketikan tugas akhir, tulisan pada kertas origami, bahkan ada saja tulisan yang tertera di balik nota. Aku dan kata-kata tanpa kata sepakat ternyata bersatu-padu merangkaimu. Merangkaimu versiku.

Untukku, merangkaimu dalam kata menjadi hal yang tidak pernah habis, selama ini, meski inginnya selamanya. Kata jumawa. Tanpa bilang padaku, kata meninggikan dirinya. Katanya, ialah yang paling setia menemaniku merangkaimu. Nyatanya, kata seringkali kewalahan menerjemahkan pikir dan rasa yang bertubi-tubi seiya sekata menyerukan namamu. Kata menjadi kehilangan makna selain kumpulan huruf yang menyusun namamu. Saat kehilangan itu, kata menjadi kelebihan gaya. Dengan majas-majas, dengan istilah-istilah, dengan bunga-bunganya, dengan rayu dan puja-puji, yang menjadikannya gombal bernasib menyerupai namanya, tak berarti. Saat itu, aku mulai menyadari bahwa aku perlu membuat kesepakatan dengan kata. Membuat kesepakatan untuk tidak memaksakan diri. Membuat kesepakatan untuk membuatnya menudukkan tengadahnya kepalanya agar tidak terlampau tinggi. Membuat kesepakatan untuk membiarkan segala yang tak terkatakan menggila dan menggilas. Membuat kesepakatan untuk menyayangimu lebih dari sekadar kata. Kata sepakat. Katanya, “Rasa yang indah, tidak sepatutnya dinodai oleh rentetan huruf yang egois.” Maka begitulah, ada kertas putih yang kosong di antara tumpukan kertas dalam kotak itu. Melihatnya, berkecamuk lagi semua rasa yang pernah dan masih ada. Kata diam, memahamiku.  

Nanti akan tiba masanya kotak itu kubuang. Entah kubuang ke sungai di belakang rumah -ah tapi itu mencemari lingkungan!- atau kubakar sendiri bersama tagihan-tagihan yang sudah lunas -meski sama juga itu mencemari lingkungan-, atau kuberikan padamu –sepertinya ini yang paling bersahabat bagi lingkungan. Satu kotak itu. Ngomong-ngomong kotak, pas sekali judul lagu yang menjadi temanku sore ini, “Cinta dalam Kardus” dari Endah and Rhesa, meski beda cerita. Ya, ada kamu di dalam sana. Jadi ketika nanti kuberikan kotak ini padamu, aku mengembalikan apa yang menjadi hak untuk kamu miliki. Terima kasih sudah meminjamkan sejenak padaku.

Tuntas sudah kertas keberapa puluh yang kumasukkan kembali ke dalam kotak. Kubiarkan saja kertas-kertas itu berserakan di dalam kotak. Cerminan hatiku. Penuh kepingan cerita, serpihan rasa, potongan momen, yang tercecer tentangmu. Kututup rapi kotak.

Utas pita ungu yang tergeletak di sampingnya segera kuraih. Ah, pita pemanis, batinku sambil tersenyum. Bukan warna kesukaanmu, juga bukan kesukaanku. Kotak berpita ini bukan lagi bicara tentang aku atau kamu. Kotak berpita ini bicara kita. Perpaduan rasaku tentangmu, perpaduan pikirku tentangmu. Jadi aku tidak harus menghijaukan atau membirukan pitanya supaya salah satu senang. Seperti katamu, menyayangi seseorang itu tidak cukup hanya dengan membiarkan diri dicintai, atau mencintai saja. Tidak buruk juga seandainya ungu adalah perpaduan hijau dan biru.  

Kertas di atas kotak itu berwarna putih. Ada inisial di sana. Bukan inisial namamu. Inisial nama orang lain, sebab kucomot itu dari kertas hadiah undangan pernikahan anaknya ayahku. Lagipula bukan inisialnya yang ingin kuceritakan. Melainkan gambarnya. Gambarnya abstrak, gambar hitam putih. Sederhana, karena aku tidak bisa menggambar yang konkrit dan berwarna. Gambar yang sama abstraknya dengan isinya, sama acaknya dengan isinya, sama tidak jelasnya dengan pemiliknya. Keabstrakan, keacakan, dan ketidakjelasan yang hanya bisa dibagi denganmu.

Merangkaimu hari ini sudah hampir selesai. Besok lusa, kita serahkan saja pada kehendak semesta. Apakah ia mengizinkanku merangkaimu dari deras angin yang membawa pergi hujan, atau lewat bisik kepak burung gereja yang menghampiri remah roti, atau mungkin juga dari riak air di kolam yang dibelah ikan-ikan. Kuserahkan saja skenarionya pada esok. Sama halnya dengan menyerahkan harapan untuk menemuimu sekali lagi tanpa harus menuntut waktu mengabulkannya.

Untaian kata dan rasa yang tidak saling memaksa menjadi lebih indah ketika mengukirmu. Bagaimanapun aku membutuhkan keduanya untuk merangkaimu. Kamu sudah memenuhi hari dan hatiku paling tidak untuk tiga jam ini. Sejak pertemuan tadi, perpisahan tadi, hingga kurapatkan simpul pita ungu itu, yang kemudian kubuka lagi sebab tiba-tiba saja menyeruak “Love is all around, when you’re around.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar