Sejak puluhan tahun silam, sekitar dua hingga puluhan tahun,
perempuan itu terus saja bersahabat dengan pintu depan dan tirai jendela di
sebelahnya. Perempuan yang bersahabat dengan sebuah kepergian, sama hangatnya
dengan sebuah kedatangan.
Bukaan pintu pertama di pagi hari tak pernah sama tanpa
iringan sosoknya. Jemarinya yang lentik membuka kunci, sementara tangan yang
satunya menekan saklar agar padam lampu di teras. Bukaan yang menyambut angin pagi,
bukaan yang menyapa pagi lebih dulu daripada matahari bisa menyapanya. Sebentar
saja ia buka untuk mengambil surat kabar yang tergeletak di depan teras.
Menjelang agak terang, satu per satu teman hidupnya perlu
keluar rumah melihat kehidupan. Bukaan pintu kedua di pagi hari tak pernah sama
tanpa iringan sosoknya. Perempuan itu, tidak pernah menutup pintunya sebelum
yang terkasih hilang dari pandangan. Setelah kecup kecil di keningnya dari yang
terkasih dibalasnya dengan peluk sayang kepada yang terkasih, setelah kecup
hormat di tangannya dibalasnya dengan kecup di kening kecil yang terkasih,
setelah lambaian tangan dan teriakan pamit dilemparkan kepadanya dan dibalasnya
dengan senyum paling hangat untuk yang terkasih, perempuan itu akan tetap
berdiri di depan pintu di sebelah tirai jendela. Perempuan itu memastikan yang
terkasih bisa melihatnya berdiri di sana. Dan tetap di sana. Sampai kapanpun.
Sampai mobil kantor yang diparkirkan berhasil dimundurkan dan dipacu untuk
menambah kebahagiaan hari ini hingga sore nanti. Sampai mobil jemputan yang
berhenti sejenak di depan rumah kembali dijalankan oleh sang pengemudi dengan
perlahan, memastikan bocah yang ada di dalamnya puas melambaikan tangan pada
perempuan di sebelah pintu. Setia seperti itu berhari-hari, sebab yang namanya
setia itu berhari-hari. Sampai pintu pagar abu-abu yang terbuka ditutup kembali,
hingga tak tampak lagi menjulangnya badan para bocah kini ketika melangkahkan
kakinya dengan berani tanpa mobil jemputan. Sampai pintu pagar abu-abu yang
memudar itu dikunci kembali oleh satu orang yang kini bukan lagi bocah, setelah
mengunci mobil bersama istrinya dan melesat ke kehidupan barunya. Ya, sampai
semua di pagi hari itu berlalu dari pandangannya, baru perempuan itu menutup
pintunya. Mengunci setiap lambaian, teriakan, senyum mesra, tawa, juga punggung-punggung
kesayangannya, yang bisa ia peroleh pagi itu, dalam hatinya. Mengunci harta
karun yang menghangatkannya sisa harinya.
Matahari mulai bersiap turun. Perempuan itu bersiap di
bangku rotan kesayangannya, siap menyambut teriakan “assalamu’alaikum” dari
bocah-bocah kebanggannya. Tidak selalu mesti duduk di bangku rotan itu, tapi ia
selalu membukakan pintu yang tertutup dan terkunci aman itu, untuk para
kekasihnya. Bukaan pintu pertama di siang hari. Hangat yang menjalar pancaran kerinduan yang
mendalam. Rindu delapan jam terpisah. Rindu dalam doa, yang tak dapat
dipungkiri mengharapkan kehadiran nyata. Sebab perempuan itu akan cemas ketika
pukul dua siang belum tampak batang hidung para bocah di rumah mereka. Sebab perempuan
itu akan marah ketika tidak ada kabar sama sekali tentang janji yang dilanggar.
Lalu matahari turun dengan damai. Masih ada kekasihnya yang
belum kembali dari perginya. Perempuan itu sesekali melangkahkan kakinya ke
bagian depan rumahnya, mempersiapkan diri dengan bukaan pertama di petang hari.
Sampai nanti sebuah ketukan yang dinantikan menantikan senyum leganya.
*
Sejak puluhan tahun silam, perempuan itu yang pertama kali
membukakan pintu. Pintu dari ruang kegelapan menuju pencerahan. Dan perempuan
itu akan selalu seperti itu. Untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar