Senin, 22 Desember 2014

Perempuan yang tidak pernah menutup pintunya sebelum yang terkasih hilang dari pandangan.



Sejak puluhan tahun silam, sekitar dua hingga puluhan tahun, perempuan itu terus saja bersahabat dengan pintu depan dan tirai jendela di sebelahnya. Perempuan yang bersahabat dengan sebuah kepergian, sama hangatnya dengan sebuah kedatangan.

Bukaan pintu pertama di pagi hari tak pernah sama tanpa iringan sosoknya. Jemarinya yang lentik membuka kunci, sementara tangan yang satunya menekan saklar agar padam lampu di teras. Bukaan yang menyambut angin pagi, bukaan yang menyapa pagi lebih dulu daripada matahari bisa menyapanya. Sebentar saja ia buka untuk mengambil surat kabar yang tergeletak di depan teras.

Menjelang agak terang, satu per satu teman hidupnya perlu keluar rumah melihat kehidupan. Bukaan pintu kedua di pagi hari tak pernah sama tanpa iringan sosoknya. Perempuan itu, tidak pernah menutup pintunya sebelum yang terkasih hilang dari pandangan. Setelah kecup kecil di keningnya dari yang terkasih dibalasnya dengan peluk sayang kepada yang terkasih, setelah kecup hormat di tangannya dibalasnya dengan kecup di kening kecil yang terkasih, setelah lambaian tangan dan teriakan pamit dilemparkan kepadanya dan dibalasnya dengan senyum paling hangat untuk yang terkasih, perempuan itu akan tetap berdiri di depan pintu di sebelah tirai jendela. Perempuan itu memastikan yang terkasih bisa melihatnya berdiri di sana. Dan tetap di sana. Sampai kapanpun. Sampai mobil kantor yang diparkirkan berhasil dimundurkan dan dipacu untuk menambah kebahagiaan hari ini hingga sore nanti. Sampai mobil jemputan yang berhenti sejenak di depan rumah kembali dijalankan oleh sang pengemudi dengan perlahan, memastikan bocah yang ada di dalamnya puas melambaikan tangan pada perempuan di sebelah pintu. Setia seperti itu berhari-hari, sebab yang namanya setia itu berhari-hari. Sampai pintu pagar abu-abu yang terbuka ditutup kembali, hingga tak tampak lagi menjulangnya badan para bocah kini ketika melangkahkan kakinya dengan berani tanpa mobil jemputan. Sampai pintu pagar abu-abu yang memudar itu dikunci kembali oleh satu orang yang kini bukan lagi bocah, setelah mengunci mobil bersama istrinya dan melesat ke kehidupan barunya. Ya, sampai semua di pagi hari itu berlalu dari pandangannya, baru perempuan itu menutup pintunya. Mengunci setiap lambaian, teriakan, senyum mesra, tawa, juga punggung-punggung kesayangannya, yang bisa ia peroleh pagi itu, dalam hatinya. Mengunci harta karun yang menghangatkannya sisa harinya.

Matahari mulai bersiap turun. Perempuan itu bersiap di bangku rotan kesayangannya, siap menyambut teriakan “assalamu’alaikum” dari bocah-bocah kebanggannya. Tidak selalu mesti duduk di bangku rotan itu, tapi ia selalu membukakan pintu yang tertutup dan terkunci aman itu, untuk para kekasihnya. Bukaan pintu pertama di siang hari. Hangat  yang menjalar pancaran kerinduan yang mendalam. Rindu delapan jam terpisah. Rindu dalam doa, yang tak dapat dipungkiri mengharapkan kehadiran nyata. Sebab perempuan itu akan cemas ketika pukul dua siang belum tampak batang hidung para bocah di rumah mereka. Sebab perempuan itu akan marah ketika tidak ada kabar sama sekali tentang janji yang dilanggar.

Lalu matahari turun dengan damai. Masih ada kekasihnya yang belum kembali dari perginya. Perempuan itu sesekali melangkahkan kakinya ke bagian depan rumahnya, mempersiapkan diri dengan bukaan pertama di petang hari. Sampai nanti sebuah ketukan yang dinantikan menantikan senyum leganya.

*

Sejak puluhan tahun silam, perempuan itu yang pertama kali membukakan pintu. Pintu dari ruang kegelapan menuju pencerahan. Dan perempuan itu akan selalu seperti itu. Untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar