Dunia
memang katanya penuh dengan perubahan demikian hukum yang berlaku. Jika bukan
dunia yang berubah, manusia sebagai isinya yang berubah. Untungnya aku yakin
dengan hukum itu. Sebab hukum itu menjadi penguat dan penyelamat kehidupanku
selama ini.
Keadaan
ini sebenarnya sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Sejak aku dan
kedua saudaraku dilahirkan berurutan di hari yang sama. Lahir, melihat dunia
sebagai hal yang amat menyilaukan pandangan sampai-sampai kami menangis. Kata
ibuku, itu pertanda bahwa sepanjang kehidupannya manusia selalu akan beriringan
dengan rasa sakit, rasa sedih, dan rasa yang tidak mengenakkan lainnya. Beriringan.
Bukan berlawanan.
Di
hari ketiga setelah hari perdana kami menangis bersama, sayangnya adik
terakhirku tidak mendapatkan kesempatan untuk merasakan pertemanan dengan
lika-liku kehidupan. Dia dipanggil kembali oleh Yang Maha Kuasa.
Sementara
ibu kami mengistirahatkan sakitnya bersama ayah kami, aku dan adikku diam di
dalam inkubator. Ruang itu termasuk cukup besar untukku, setelah
berdesak-desakkan dengan adik-adikku di dalam perut ibu. Hangatnya sama dengan
perut ibu, hingga membuatku terus tertidur. Setelah beberapa lama, kami
diangkat dari tempat itu dan diletakkan pada sebuah tempat yang selanjutnya
kukenal dengan tempat tidur (yang juga merupakan tempat favoritku sampai saat
ini).
Beberapa
minggu kemudian, belum cukup pulih ibu dari perginya salah satu buah hati,
datang lagi sebuah pesan dari surga. Adikku buta total.
Sejak
itu, dunia berubah. Suram dan gelap, bahkan sama sekali tidak ada cahaya yang
menerangi dunia kami. Sempat beberapa lamanya kami tinggal dalam kedukaan.
Diam, meratapi nasib, menyesali pemberian surga, mengutuki kehidupan, menyesali
keadaan. Hingga suatu saat ibuku menjadi pahlawan yang membawa kembali secercah
cahaya. Manusia yang berubah, setelah menyadari pesan dari kedukaan. Berjuang.
Begitulah,
setiap hari adalah hari yang baru untuk keluarga kami, berkat ibuku. Banyak
suara yang keluar dari mulut ibuku, menceritakan apa yang dilihat dengan
matanya, memperhatikan segala kebutuhan adikku, dan mengajarinya mandiri.
Ayahku juga sama, rela repot untuk mendukung ibu membesarkan adikku yang
berbeda. Aku banyak melihat mereka membantu adikku. Aku ingin sekali bisa
membantu adikku.
Setiap
hari aku terbangun, aku melihat dia, yang terlihat tidak bangun padahal
sebenarnya bangun. Aku melihatnya tersenyum, dia mengetahui aku tersenyum. Aku
melihat tawanya, dia mendengar tawaku. Aku melihatnya menjerit, dia tidak
kubiarkan merasakan aku bersedih.
Aku
yang menjalani hari bersamanya, melihatnya dipandang kagum oleh banyak orang,
keluarga dan masyarakat. Hebatnya, dia tahu bahwa ia memang dikagumi, dengan
kemandiriannya, dengan keceriaannya, dengan kepolosannya, dengan kejujurannya.
Sementara aku tenggelam, begitu saja.
Ya,
siapa yang mau peduli lagi denganku, ketika hadir seseorang yang dari
keterbatasannya mampu menembus batas? Untuk apa juga memberikanku kepedulian
jika ada yang lebih layak menerimanya? Kepedulian, mungkin saja sudah sama
tenggelamnya dengan diriku. Apa yang kata orang tentang terpendam membuat jiwa
tidak sehat, mungkin saja itu kualami. Aku menggila. Kalau boleh
mengutarakannya, aku cemburu. Biar di sini saja aku teriakkan. Ayah dan Ibu tidak
perlu tahu, apalagi adikku. Pernah sekali waktu juga ketika berada di depan
banyak orang yang menyanjung ibu dan adikku, aku ingin teriak, “Aku juga luar
biasa!” tapi lalu urung, sebab aku tidak pernah menembus apa-apa, sebab aku
bukan siapa-siapa.
*
Aku
terlampau lama tenggelam dalam kecemburuan. Kemudian selama beberapa lamanya
aku sibuk mencari-cari batas. Biar aku juga bisa menembusnya. Biar aku bisa
menebusnya. Ternyata perihal mencari-cari seringkali mengarahkan pada jawaban
yang salah. Aku selalu ingin lebih hebat dibandingkan adikku, aku selalu ingin
lebih tegar dibandingkan ibuku, aku selalu ingin lebih keras dibandingkan
ayahku, aku selalu ingin lebih hidup dibandingkan orang-orang yang mengaku
terinspirasi oleh kisah adik dan ibuku. Aku ingin hidup yang jauh lebih baik
dibandingkan kehidupanku saat ini. Nyatanya, semakin besar perbandingan yang
ingin kucapai, semakin kosong kehidupanku. Aku hanya seolah bernyawa. Persis
orang gila yang kegilaan pada pekerjaannya, yang kegilaan pada pujaannya, yang kegilaan
pada kegilaannya.
.
Aku
sendiri yang menghampakan aku.
.
Batas itu adalah aku
sendiri.
.
.
.
Aku
mesti berubah. Aku mesti mengingini kehidupan yang kumiliki saat ini.
***
*Dari
sebuah kisah nyata yang kemudian diimajinasikan beberapa tahun mendatang dari
usianya yang saat itu menginjak 5 tahun. Seorang kakak yang jauh dari sorotan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar