Selasa, 23 Desember 2014

Who Doesn’t Want to Have a Life Like This? (2)



Dunia memang katanya penuh dengan perubahan demikian hukum yang berlaku. Jika bukan dunia yang berubah, manusia sebagai isinya yang berubah. Untungnya aku yakin dengan hukum itu. Sebab hukum itu menjadi penguat dan penyelamat kehidupanku selama ini.

Keadaan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu. Sejak aku dan kedua saudaraku dilahirkan berurutan di hari yang sama. Lahir, melihat dunia sebagai hal yang amat menyilaukan pandangan sampai-sampai kami menangis. Kata ibuku, itu pertanda bahwa sepanjang kehidupannya manusia selalu akan beriringan dengan rasa sakit, rasa sedih, dan rasa yang tidak mengenakkan lainnya. Beriringan. Bukan berlawanan.

Di hari ketiga setelah hari perdana kami menangis bersama, sayangnya adik terakhirku tidak mendapatkan kesempatan untuk merasakan pertemanan dengan lika-liku kehidupan. Dia dipanggil kembali oleh Yang Maha Kuasa.

Sementara ibu kami mengistirahatkan sakitnya bersama ayah kami, aku dan adikku diam di dalam inkubator. Ruang itu termasuk cukup besar untukku, setelah berdesak-desakkan dengan adik-adikku di dalam perut ibu. Hangatnya sama dengan perut ibu, hingga membuatku terus tertidur. Setelah beberapa lama, kami diangkat dari tempat itu dan diletakkan pada sebuah tempat yang selanjutnya kukenal dengan tempat tidur (yang juga merupakan tempat favoritku sampai saat ini).
Beberapa minggu kemudian, belum cukup pulih ibu dari perginya salah satu buah hati, datang lagi sebuah pesan dari surga. Adikku buta total.

Sejak itu, dunia berubah. Suram dan gelap, bahkan sama sekali tidak ada cahaya yang menerangi dunia kami. Sempat beberapa lamanya kami tinggal dalam kedukaan. Diam, meratapi nasib, menyesali pemberian surga, mengutuki kehidupan, menyesali keadaan. Hingga suatu saat ibuku menjadi pahlawan yang membawa kembali secercah cahaya. Manusia yang berubah, setelah menyadari pesan dari kedukaan. Berjuang.

Begitulah, setiap hari adalah hari yang baru untuk keluarga kami, berkat ibuku. Banyak suara yang keluar dari mulut ibuku, menceritakan apa yang dilihat dengan matanya, memperhatikan segala kebutuhan adikku, dan mengajarinya mandiri. Ayahku juga sama, rela repot untuk mendukung ibu membesarkan adikku yang berbeda. Aku banyak melihat mereka membantu adikku. Aku ingin sekali bisa membantu adikku.

Setiap hari aku terbangun, aku melihat dia, yang terlihat tidak bangun padahal sebenarnya bangun. Aku melihatnya tersenyum, dia mengetahui aku tersenyum. Aku melihat tawanya, dia mendengar tawaku. Aku melihatnya menjerit, dia tidak kubiarkan merasakan aku bersedih.
Aku yang menjalani hari bersamanya, melihatnya dipandang kagum oleh banyak orang, keluarga dan masyarakat. Hebatnya, dia tahu bahwa ia memang dikagumi, dengan kemandiriannya, dengan keceriaannya, dengan kepolosannya, dengan kejujurannya. Sementara aku tenggelam, begitu saja.

Ya, siapa yang mau peduli lagi denganku, ketika hadir seseorang yang dari keterbatasannya mampu menembus batas? Untuk apa juga memberikanku kepedulian jika ada yang lebih layak menerimanya? Kepedulian, mungkin saja sudah sama tenggelamnya dengan diriku. Apa yang kata orang tentang terpendam membuat jiwa tidak sehat, mungkin saja itu kualami. Aku menggila. Kalau boleh mengutarakannya, aku cemburu. Biar di sini saja aku teriakkan. Ayah dan Ibu tidak perlu tahu, apalagi adikku. Pernah sekali waktu juga ketika berada di depan banyak orang yang menyanjung ibu dan adikku, aku ingin teriak, “Aku juga luar biasa!” tapi lalu urung, sebab aku tidak pernah menembus apa-apa, sebab aku bukan siapa-siapa.

*

Aku terlampau lama tenggelam dalam kecemburuan. Kemudian selama beberapa lamanya aku sibuk mencari-cari batas. Biar aku juga bisa menembusnya. Biar aku bisa menebusnya. Ternyata perihal mencari-cari seringkali mengarahkan pada jawaban yang salah. Aku selalu ingin lebih hebat dibandingkan adikku, aku selalu ingin lebih tegar dibandingkan ibuku, aku selalu ingin lebih keras dibandingkan ayahku, aku selalu ingin lebih hidup dibandingkan orang-orang yang mengaku terinspirasi oleh kisah adik dan ibuku. Aku ingin hidup yang jauh lebih baik dibandingkan kehidupanku saat ini. Nyatanya, semakin besar perbandingan yang ingin kucapai, semakin kosong kehidupanku. Aku hanya seolah bernyawa. Persis orang gila yang kegilaan pada pekerjaannya, yang kegilaan pada pujaannya, yang kegilaan pada kegilaannya.

.

Aku sendiri yang menghampakan aku.

.

Batas itu adalah aku sendiri.

.

.

.

Aku mesti berubah. Aku mesti mengingini kehidupan yang kumiliki saat ini.

***

*Dari sebuah kisah nyata yang kemudian diimajinasikan beberapa tahun mendatang dari usianya yang saat itu menginjak 5 tahun. Seorang kakak yang jauh dari sorotan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar