Senin, 29 Desember 2014

who doesn't want to have a life like this (3)




Pernah mendapatkan barang dari undian berhadiah? Pernah mendapatkan barang di acara nikahan orang (soalnya, jarang-jarang pernikahan ayam dibuat undangannya)? Pernah mendapatkan barang yang ditemukan tanpa sengaja di tengah atau pinggir jalan? Pernah mendapatkan barang dari doorprize? Pernah mendapatkan barang dari orang lain tanpa perlu mengetahui alasan memberi dan menerimanya?

Sepertinya semua kita pernah mendapatkannya ya. Bagaimanapun, kalau kita bukan orang yang beruntung, berpikirlah kita adalah orang yang disayang, lalu kita akan merasa beruntung. Dan itulah poin yang mau saya angkat.

*

Saya pernah mendapatkan barang dari undian berhadiah. Bukan pengalaman yang langsung kualami, tapi orang tua saya. Dari undian berhadiah, kami mendapat motor. Undian-undian yang lain, dari bungkus kopi yang dikumpulkan orang tua, dari potongan-potongan kertas yang dimasukkan ke dalam amplop, dari coba-coba menjawab pertanyaan yang gampang sekali di Twitter, gagal semua! Hahahaa..  Satu-satunya keberuntungan yang kami dapat ya, motor itu. Motor yang kemudian kami terima dengan bingung, karena ini mau diapakan ya motornya sehingga kami jual ke tetangga kami yang lebih membutuhkan. Beruntung? Iya, sangat! Untung-untungan itu! Dari sekian banyak manusia yang ikut undian, kami lho yang terpilih. Gimana ceritanya tuh kalau bukan kebetulan yang mengambil alih? Atau, karena kami merupakan orang-orang yang  anti-kebetulan garis keras, kami meyakinkan satu sama lain bahwa sudah takdirnya demikian. Bahkan sudah takdirnya juga motor itu sampai saat ini berada di tangan tetangga kami. Anggaplah kami sebagai selang penyalur berkat. Berkat di mana-mana (di Margonda Depok juga ada restoran Berkat *krik krik*). Lalu kami mengucap bersama-sama serentak di dua rumah yang berbeda, “Alhamdulilah…” dan “Puji Tuhan…”

*

Yang kali ini, pengalaman saya sendiri. Mendapat hadiah di nikahan teman (orang ya, bukan ayam). Kadang kan, ada aja ya, nikahan yang main lempar-lemparan itu? Ya, di suatu acara pernikahan, dilemparkanlah beberapa beruang kecil dengan beragam pita yang berbeda-beda. Ada biru, pink, dan tanpa pita. Orang-orang yang mendapatkan beruang berpita biru dipersilakan naik ke pelaminan. Salah satunya adalah saya. NAIK KE PELAMINAN! MAMAH PAPAH BISA SHOKK kalau tau berita ini setengah-setengah. Masa naik ke pelaminan sendiri, kesian bener HAHAHA! Saya naik ke pelaminan bersama dua orang lainnya, satu laki satu perempuan. Saya disuruh memilih, mau menikah dengan yang mana, yang laki atau yang perempuan, enggak deng, boong. Di atas pelaminan, bersama pasangan suami istri yang sudah sahih secara agama dan negara, kami berdiri. Kami bertiga akan dapat hadiah. Kami beruntung. Saya dapat satu kotak yang paling besar. Saya beruntung.

Isinya adalah seperangkat alat sholat, enggak deng, boong lagi. Isinya adalah seperangkat Tupperware, yang sama disambut dengan puja-puji kepada Sang Pencipta ketika kutunjukkan isinya ke mamah di rumah. Apalagi kalau isinya beneran seperangkat alat sholat ya, yang diberikan sebelum naik ke pelaminan? EAAA! Lalu, Tupperware itu tergeletak begitu saja. Terlupakan. Bahkan kalau ide tulisan ii ga muncul, ya mungkin sampai sekarang Tupperware itu masih entah di mana. Bagaimanapun, barang itu kan barang hadiah ya, hoki-hokian, jadi ya gak gimana-gimana banget sih begitu dapat. Dapat, syukur, gak dapat, ya gak ngoyo. Perasaan senangnya sesaat, duniawi, fana banget deh! *asik* Setelah itu ya, sudah. Pembelaan lanjutannya, kami ini kan keluarga yang telaten ya, jadi kalau belum rusak-rusak amat, ya belum buka barang baru. Yah, masih didikan zaman yang katanya kolot itu, di mana para manusia lebih berkeinginan untuk merawat dan memperbaiki barang lama dibandingkan membeli barang baru, ketika barang lama tersebut sedikit rusak. Sampai hari ini, kotak yang isinya Tupperware aneka benda itu tersimpan rapi di gudang bawah tangga. Sampai hari ini, kotak itu terlupakan.
*

Berikutnya, menemukan benda di tengah jalan. Saya pernah kok menemukan ballpoint, atau uang receh, atau juga uang dengan nominal yang lumayan tergeletak di tengah perjalanan saya. Kadang saya pungut, kadang saya tendang secara asal. Tentunya yang uang nominal lumayan termasuk yang saya pungut. Waktu itu, saya bersama tiga sahabat saya, masih SMA. Masih butuh duit! *kayak sekarang enggak, aja, hahaha.. Nah, di tengah perjalanan kami di suatu taman, kami menemukan uang itu. GILA, INI KALAU DIBELANJAIN BISA DAPAT APA AJA?! Kami berunding terlebih dahulu. Apakah sebaiknya kami ambil untuk kami sendiri atau laporakan ke polisi. Setelah berdebat cukup alot, kami memutuskan untuk membelanjakan uang itu sendiri dan gak usah bawa-bawa polisi dalam masalah ini. Kata seorang sahabat, “Ya elah, dua puluh ribu doang, kali deh, laporin ke polisi! Udah, buat gue aja kalau lo pada gak mau!” Orang itu langsung kami kecam, “Lo gila ya, ini bukan masalah nominal rupiahnya! Tapi nominal dosa dan pahalanya! Gue gak mau ah, jajan dua puluh ribu rupiah, tapi dicatet sebagai dua puluh ribu dosa di akherat!” Kira-kira seperti itulah perdebatannya. Sampai kami kehausan. Sahabat satu lagi berkata, “Lo pada gila ya, ini tuh uang doang. Udah! Kagak ada sangkut pautnya sama kehidupan setelah kematian. Kalau ni kalian berdebat sampai kehausan terus mati, nyesel gak lo pada, gak memanfaatkan rezeki ini? Sahabat-sahabatku, Allah gak pernah pilih-pilih kalau kasih rezeki. Sekarang bagian kita. Mari, berdamai dan kita dinginkan hati, kepala, dan kerongkongan dengan es krim.”

Kami memutuskan untuk membelanjakan uang itu dengan es krim, kami bagi rata.

Menemukan barang di tengah jalan, sama, suatu keberuntungan juga. Tetapi terkadang, perlu berhati-hati lah dengan segala sesuatu yang instan, karena banyak jebakan di baliknya. Pada waktu itu jebakannya adalah, kami masing-masing menanggung dosa lima ribu di akherat, yang mesti dihapuskan dengan kerja keras melakukan amalan baik.

*

Pengalaman lain, dari kakak saya sendiri. Dia termasuk orang yang beruntung (enak bener lu, bro!). Beberapa kali, kalau ada acara-acara, yang ada acara doorprize-nya, doi seringkali dapat. Pernah dapat tivi, dapat tas, dapat botol minum, dapat apa lagi deh yang bukan barang sembarangan. Iri aja sih, sama orang yang beruntung gitu. Iri beneran iri. Saya kalau datang ke acara yang ada doorprizenya, udah nungguin sampai siang, sampai pengumuman doorprize yang ketiga yang artinya udah mau tutup, ga disebut juga nomer saya. Udah dikasih harapan tiga digit pertama sama dengan yang tertera di kertas saya, yang keempat ga ada, alias ya pesertanya memang cuma ratusan sih, gak sampai ribuan. Damn, saya salah acara! Atau, digit yang keempat tuh nyerempet-nyerempet. Gimanapun yang nyerempet-nyerempet itu lebih sakit kan yah. Lalu saya tertunduk kecewa, menyobek kertas undian saya. Ternyata saya gegabah. Masih ada pengumuman doorprize yang keempat. Saat nomer saya dibacakan, kertas saya tidak berlaku lagi. Ya Rabb, di mana keadilan…..

*

Satu bagian terakhir, adalah pengalaman saya sendiri. Cerita tentang menerima tanpa tahu alasan menerima. Cerita tentang mendapat barang dari seorang sahabat, katanya sih sebagai hadiah ulang tahun.

Di sebuah tanggal ulang tahun yang terlewat, seorang sahabat memberikan benda kecil dengan surat di dalamnya. Cukup membuat saya terdiam. Bukan karena “Ih kok kecil banget sih ngasihnya masa ini sih” ahahaha. Tapi karena surat di dalamnya. Ada kedalaman rasa di sana, ada kepedulian yang besar di sana. Saya langsung ketikkan pesan via whatsapp waktu itu, ”Aduuuhh aku bengong..... dan nangis…”

Dia membalas, ”Ha? Gara2 kado kecil itu? Udah dibuka? Udah dibaca? Kamu baca dimana di? Cepet bener... Aduh aduh..”

Saya masih terdiam, maka tak kujawab pesannya. Sampai masuk kembali pesan darinya, “umm padahal kemarin apa tadi pagi ya sempet mikir kasih gak yaa..karena kayak gitu aja barangnya..tapi yaa emang bukan sekadar barang sih ya yang diberi.. “

Bukan sekadar barang.
Bukan sekadar barang.
Bukan sekadar barang.

Saya hanya bisa mengulang ketiga kata itu. Dan mengiyakan. Dan mensyukuri. Dan berterima kasih.

Sebuah terima kasih, yang memang begitulah maknanya. Kuterima kasihmu.

*

Barang, terkadang it’s just a thing. Motor, Tupperware, uang, tas, dan lain-lain. Ada yang membuatnya cerita terakhir berbeda dengan empat cerita sebelumnya. Ketika ada unsur “manusia” di sana, bukan sekadar barang lagi yang diberi. It’s not just a thing. Ada rasa. Rasa yang tidak diperoleh ketika mengejar undian berhadiah, ketika mengejar nikahan orang, ketika sengaja jalan di pinggir jalan, ketika niat banget nungguin doorprize. Saya beruntung ketika saya sadar saya disayangi, dan saya menyayangi. Untuk setiap cerita, saya punya pesan khusus.

Saya belajar banyak dari hadiah motor yang orang tua saya berikan (jual sih, sebenernya) ke tetangga saya. Dengan memberi karena tahu mereka lebih membutuhkan, sungguh tak ternilai rasa dan “harga”nya.  

Saya belajar bahwa barang bukan sekadar barang. Dengan tradisi keluarga yang berusaha menjaga barang, saya menangkap bahwa barang saja perlu disayangi. Ya ampun, saya belajar memanusiakan barang. Lalu saya malah membendakan manusia? Jleb.

Saya juga belajar banyak dengan menyadari bahwa harta yang saya butuhkan sesederhana percekcokan dengan para sahabat yang selalu punya cara menghadirkan tawa.  Uang, dua puluh ribu, bahkan dua ribu sekalipun, ketika ditemukan bersama mereka, nilainya lebih daripada nominal rupiahnya (juga lebih daripada dosa yang kami perbuat). Kangen juga saya sama kegilaan kita.

Saya belajar ada banyak sekali pembelajaran dari rasa iri. Iya, saya iri. Sangat iri dengan mas saya yang beruntung itu. Iri yang sesaat, karena sempat mengabaikan bahwa keberuntungan yang lebih besar sebenarnya ada pada saya. Saya yang punya mas yang beruntung, yang bisa dapat barang macem-macem tanpa keluar uang, lalu barangnya boleh saya pakai (muahahha)... Lebih dari semua barang itu, saya sayang kamu! Dan saya juga tahu kamu sayang sekali sama saya!

Dan untuk sahabat saya di cerita terakhir, ah tulisan ini saya persembahkan buatmu deh! Benda bukan sekadar benda, ketika kita menghidupkannya dengan makna, bumbu, dan rasa, yang bisa diciptakan oleh setiap kita. (Termasuk rekam jejak percakapan kita di whatsapp itu -yang cuma benda-, yang lagi-lagi menginspirasi saya.)

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar