Untuk: Satu sosok yang tertuju.
Di antara puluhan langkah tergesa yang kusaksikan, mataku
tertuju padanya. Sepertinya aku sudah terbiasa memperhatikannya dari jauh.
Maka, kalau diajukan pertanyaan, “Kemarin itu, kamu sering memperhatikanku ya?”,
jawabanku adalah tidak… Tidak hanya kemarin, melainkan kemarin-kemarin hingga
beberapa jam yang lalu saat mataku masih mampu menangkapnya.
Di antara kerumunan itu, mataku terus menerus mengejarnya.
Kurasa otakku bersepakat bahwa tidak harus dengan langkah lari aku mengejarnya.
Perlukah aku mengejarnya dan mendapatkannya? Kurasa sore tadi, aku lebih ingin
menjaganya; sama seperti hari-hari yang berlalu. Bersama artinya menjaga.
Terlebih, meski aku belum lulus benar tentang jarak dan
rasa, aku pernah paham bahwa raga bisa dinikmati oleh indera apapun. 'Aku
tidak perlu menuntut untuk harus selalu merangkulmu, atau bersebelahan
denganmu. Suaramu mampu menghanyutkanku, wangimu menenangkanku. Kali ini, di
antara kerumunan sore, biarlah mata yang merasa.'
Di antara jejak kaki yang tipis tak terlihat, ternyata ada
yang demikian menjejak di ingatanku. Aku ingat langkah cepatnya, aku ingat pergerakannya,
aku ingat tampak belakangnya, aku ingat wajah yang dua kali menengok ke belakang
sebelum berpaling menatap ke depan, aku ingat dia di sebelah kiriku, ... Semua
sisinya membuatku merindukannya. Andai aku adalah elang dan dia kelinci,
berlarian di antara semak belukar pun, dia tidak akan terlepas.
Satu sosok yang tertuju, di keramaian. Bukan pribadi yang
mencolok sebab ia abu. Bukan pribadi yang ramai sebab lebih seringnya ia tenang
dalam rusuhnya pikiran. Entah bagaimana, dia tertuju. Olehku. Dengan atau tanpa
sengaja.
*
Terima kasih menyapu rinduku dengan lembut. Sekarang ia
menumpuk di satu sudut hati. Bukan untuk dibuang, tetapi untuk didaur ulang.
Dari: Dua mata yang tidak berhenti memandang, bahkan dalam
pejam.
"Ada yang tidak perlu dikejar"
BalasHapus"Apa yang tidak perlu dikejar?"
Retoris sebenarnya, karena waktu itu sudah kusiapkan juga jawabannya