Uap kopi yang memantulkan nafasku
dan memberi udara hangat yang menerpa wajahku adalah kamu. Wangi kopi yang
kuhirup dari cangkirku yang pinggirannya bulat sempura –mengingatkanku pada
cangkir favoritmu yang pinggirannya sedikit somplak, dan tetap sempurna- adalah
kamu. Panasnya cangkir yang menjalarkan panas kopi hingga menjalar pada indera
peraba di ujung jari dan tangkupan telapak tangaku adalah kamu.
Ada gambaran tentangmu yang
menyemarakkan pagiku. Menghangatkan secangkir kopi yang sudah hangat. Cangkir
yang bisa bertahan hangat hingga 20 menit setiap pagi. Ah, sebelum bertemu
denganmu cangkirku hanya kuat 10 menit kurang, apalagi dingin pagi kota ini
terlalu ganas.
Ada kopi yang biasa kuseruput
sedikit-sedikit biar nikmat, apalagi ketika masih panas. Setiap teguk beberapa milliliter
kopi yang memasukiku, membawaku pada beberapa kali teguk air liurku sebagai penebus
banyak kata yang tidak bisa keluar dengan ringannya dari mulutku, saat
bersamamu.
Tangan-tanganku ini lebih cepat berpikir daripada mulutku, kusadari. Mereka lebih cepat mengetikkan “Kamu manis hari ini” sehingga mulut kehilangan kesempatannya. Mereka juga lebih cepat menarik tanganmu yang sedang duduk dibandingkan mulut yang berkata, ”Ayo, ikut turun bersamaku.”
Ah, aku jadi iri dengan wajahmu, tanganmu, dan mulutmu, yang bisa dengan kompaknya menyerukan, “Kamu di sini saja dulu, bersamaku,” menahanku, sedikit berpura-pura dan sedikit serius. Kemudian kita berpisah.
Tangan-tanganku sepertinya bisa lebih tahu apa yang harus dilakukan ketika bersamamu. Mulutku hanya tertutup dan menelan ludahnya. Mungkin itulah aku, yang bisa jadi tidak mau sembarang berkata-kata; atau bisa jadi juga pengecut, peragu, dan terlalu takut, meski inginnya ingin.
Maka pagi ini, aku meneguk kopi
itu sambil berharap kopi mampu melarutkan banyak kata yang tertahan di
tenggorokan.
Biar saja terbawa sampai ke lambung. Biar kata bisa mengikhlaskan dirinya untuk melebur bersama lakuku yang lain, tanpa ia harus menonjolkan dirinya. Aku tidak terlalu suka kata-kata yang hanya berupa deretan huruf, kamu tahu itu. Aku lebih menyukai kata-kata dengan rentetan makna.
Juga, pagi ini aku meneguk kopi
itu dengan lebih perlahan, sambil memutar kembali seberapa banyak aku membawamu
bersamaku dalam keseharianku.
Rasa yang terteguk, kadang membuatku tersedak, saking mengejutkannya. Ciri khasmu, kamu dengan respon-respon yang tidak pernah bisa kuduga- bisa, tapi seringnya salah duga! Respon yang membuatku perlu dan mau memahamimu, juga memahamiku, yang serba sisi. Meneguk berarti menerima yang masuk. Banyak hal tentang diriku, dirimu, dan kita, yang bisa dan mau kuteguk.
Perlahan, kuteguk hingga habis
kopi yang tentunya sudah tidak lagi hangat apalagi panas, tepat pada menit
ke-dua puluh. Suhunya kini sama dengan temperatur ruangan. Tegukan terakhir kopi
itu cepat sekali berlalu.
Menyisakan aroma dan rasa kopi di langit-langit rongga mulutku. Hawa kopi yang sengaja tidak ingin kunodai dengan rasa lain. Aku bahkan sengaja tidak menenggak air putih. Belum ingin hawanya berganti. Masih ingin bersamanya, masih ingin terlalu posesif terhadapnya. Dan kubiarkan lidahku bermain-main dengan sisa rasa yang sengaja kupertahankan. Tampak senang ia lewat geliatnya.
Sisa rasa yang sama yang tertinggal pada bagian dalam cangkirku. Tidak ada lagi cairan yang tampak, memang kupastikan bahwa kopi itu adalah untukku hingga tetes terakhir. Namun, aromanya masih membekas, melekat. Sebelum sebentar lagi ia hilang tersapu air dan sabun cuci piring.
Menyisakan aroma dan rasa kopi di langit-langit rongga mulutku. Hawa kopi yang sengaja tidak ingin kunodai dengan rasa lain. Aku bahkan sengaja tidak menenggak air putih. Belum ingin hawanya berganti. Masih ingin bersamanya, masih ingin terlalu posesif terhadapnya. Dan kubiarkan lidahku bermain-main dengan sisa rasa yang sengaja kupertahankan. Tampak senang ia lewat geliatnya.
Sisa rasa yang sama yang tertinggal pada bagian dalam cangkirku. Tidak ada lagi cairan yang tampak, memang kupastikan bahwa kopi itu adalah untukku hingga tetes terakhir. Namun, aromanya masih membekas, melekat. Sebelum sebentar lagi ia hilang tersapu air dan sabun cuci piring.
Rasa dan aroma yang jelas berbeda denganmu; yang tidak mudah hilang oleh berjuta rasa lain. Dan aku, tidak mau bersusah payah membuang tenaga sia-sia untuk menghilangkan setiap jejakmu.
Ngomong-ngomong tentang kopi yang
kuminum, pagi ini bukan kopi dengan ampas. Pagi ini aku dengan acak memilih
kopi sachet yang tanpa ampas.
Seandainya pagi ini seperti kemarin atau beberapa hari acak yang lalu, maka
selain aroma juga ada ampas menumpuk di dasar cangkir.
Persis rindu yang tersisa ketika bayangan dan kenangan dan harapan tentangmu bergantian kuteguk, sampai habis. Ampasnya yang pekat, rinduku yang pekat, menutup ritual pagiku.
Sampai besok, kopi di pagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar