Selasa, 09 Juni 2015

langit merah jambu di atas stasiun


Dari sebuah jembatan penyeberangan, di atasnya terhampar langit yang cantik, di bawahnya terhampar kesibukan duniawi. Akhir-akhir ini lebih banyak orang yang tenggelam di bawah sana. Meski beberapa kali jembatan sudah meneriakkan tentang keindahan di atas, kaki-kaki yang menginjaknya tetap melangkah dengan cepat, dengan kepala-kepala yang ada di atasnya menunduk terus ke bawah. Belum ada jejak yang melambat, belum ada kepala yang menengadah.

Jembatan tidak pernah berhenti memberikan pertandanya, meski ribuan kaki sudah mengabaikannya. Dan lebih banyak lagi mulut yang memakinya. Pasalnya sudah dua minggu ini atap jembatan yang dibuat dari seng tidak terpasang dengan benar. Efek dari angin besar di musim yang mestinya sudah bukan musim hujan. Ia sering terangkat kemudian terbanting oleh angin. Orang memaki sebab selain berisik, jembatan dianggap tidak melindungi kepala para manusia yang berisi jutaan ide tentang kemajuan dunia entah apakah terlintas tentang kemaslahatan manusianya sendiri. Saat hujan turun, saat matahari terik, jembatan tidak melindungi dengan sempurna. Manusia terlalu takut idenya meluntur dan menguap. Manusia juga takut otaknya kosong. Maka mereka memaki, bukannya membetulkan. Katanya para mulut itu lagi, sudah ada orang yang bertugas dan orang yang bertugas itu tidak becus, katanya.

Bagi jembatan, apapun keadaannya, ia tetap tersenyum. Dengan langit cantik di atasnya, dengan kesibukan duniawi di bawahnya. Bagi jembatan, keadaannya yang bobrok kali ini justru menguatkan misinya untuk memperkenalkan temannya di pagi hari kepada hati manusia yang tenggelam. Beberapa kali dengan sengaja, ia membanting atapnya. Berharap manusia menengok ke arahnya. Sayang, belum ada kepala yang terangkat sejak tadi. Lagi-lagi keluhan yang ia dapatkan. Kaki tetap melangkah dengan cepatnya, kata-kata ketus meluncur dengan lebih cepatnya. Manusia lainnya lagi, jangankan peduli, mendengar saja tidak. Iringan musik yang menyumbat telinganya membuatnya tidak lagi mendengarkan sekitar. Jembatan tahu ini beberapa waktu yang lalu. Ia sempat merasa tersanjung ketika seorang anak muda menganggukkan kepala kepadanya. Setelahnya, jembatan tersandung. Ternyata yang jembatan dapatkan bukan anggukan kepala manusia sebagai salam, melainkan angguk-anggukkan kepala menikmati dirinya sendiri. Dan suara kenikmatan itu lebih kencang dan lebih membuai daripada sapaan jembatan. Jadi, percuma saja.

Jembatan sendiri tidak punya alasan lain mengapa ia sebegitu inginnya memperkenalkan teman paginya kepada manusia. Ia hanya ingin. Titik.

Sampai seorang wanita menapakkan kakinya pada anak tangga terakhir di atas jembatan. Kakinya terhenti bukan karena lelah. Kakinya terhenti karena otaknya menyuruhnya untuk berhenti. Kepala wanita itu menengadah, mencari-cari sumber suara yang terlalu berisik. Cukup terusik rupanya. Lalu ia berjalan perlahan sambil terus mendongak lalu memutarkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

Dan ia berhenti, beberapa detik. Sungguh, kita tidak pernah tahu keajaiban apa yang menanti dari sebuah detik. Pada beberapa detik itu, jembatan tersenyum lebar. Jelas, ia menangkap satu manusia. Satu-satunya di pagi hari yang terlalu sibuk untuk semua manusia. Jembatan mengedipkan sebelah matanya kepada teman di atasnya.

Mulut wanita itu sedikit ternganga. Nafasnya tertahan. Matanya menerawang jauh ke sekitar. Pikirannya kosong. Seluruh isi pikirannya tersedot entah ke mana. Tubuhnya terangkat melayang-layang. Sesuatu merasukinya. Tersihir.  Sekelilingnya menjadi berwarna-warni. Tiupan angin seolah membawa melodi paling indah. Ia bisa melihat pohon di bawah sana melambaikan rantingnya dan tanpa pikiran yang mengontrolnya, wanita itu bisa dengan bebasnya melambaikan tangannya. Ia bisa melihat jembatan penyeberangan tempatnya berdiri mengedipkan mata kepadanya, tanpa ada sesuatu yang mengekangnya ia balas mengangguk sambil tersenyum manis. Ia bisa melihat tiang-tiang listrik memainkan kabelnya, bermain lompat tali dengan tupai. Dari kejauhan ia bisa melihat stasiun merentangkan tangannya untuk menyambutnya dengan pelukan. Sayup-sayup ia bisa mendengar panggilan, “Kemarilah, wahai wanita. Dari sinilah awal keberangkatanmu hari ini. Awal tujuan hidupmu hari ini. Biar kurangkul dan kutemani harimu.” Dari jarak yang sama juga bisa ia dengar dengan jelas gelak tawa dari anak-anak jalanan yang berlarian di sepanjang jalur kereta yang lama tidak digunakan. Jelas, pada saat itu, ia sedang tidak melihat tanggalan dengan coretan deadline tugasnya. Ia juga sedang tidak merasakan tekanan dari waktu yang biasanya memburunya. Ia juga jauh dari ketakutannya pada reaksi orang apabila tugasnya tidak sempurna. Jelas, pada saat itu ia sedang menyaksikan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri.

Dari atas jembatan penyeberangan, pukul 05.20 pagi hari, keajaiban terjadi.







Paginya wanita itu merona. Bukan oleh kata-kata puitis, juga bukan oleh sapuan pemerah pipi, melainkan oleh langit yang sempat ia tengok. Merahnya merasuk dengan penuh, sebelum sempat memantul sebentar di wajahnya. Hatinya merah jambu muncul ke permukaan, dengan semangat yang sempat terbuai oleh kantuk. Persis semu yang dipamerkan langit pagi malu-malu.



Hati dan matahari tidak lagi tenggelam.

Salam kenal, langit merah jambu, bisik wanita itu. Tidakkah indahmu perlu dirasakan oleh semua manusia? Tidakkah sesekali manusia perlu membuang jauh-jauh pikirannya terlebih dulu, meletakkan sejenak otak di kakinya, sebab selama ini tanpa disadari manusia menginjak-injak dirinya sendiri dengan pikirannya?


Salam kenal, wanita manis, ujar matahari lewat sengat yang menghangat. Jadilah manusia yang berbeda hari ini. Manusia yang berhati.




Jembatan penyeberangan menari sekencang-kencangnya sepanjang hari itu. Harapannya kepada manusia tidak pernah luntur. Dan satu manusia penuhi harapannya hari itu. 


3 komentar:

  1. Hai,,
    Sampaikan salamku pada jembatan dengan suara berisik capernya*aku yakin dia sengaja lebih berisik saat wanita itu lewat :)
    Sampaikan juga sapaan hangat kepada langit pagi yang selalu punya caranya untuk tampil elegan sekaligus sederhana.
    Dan kalau tidak keberatan, mintakan cerita langit pagi yang lain dari wanita dengan rona merah muda di wajahnya.
    Karena satu buah cerita tidak akan pernah cukup.

    Tolong beritahu kalau jembatan atau langit pagi membalas sapaan salam ku. *atau kalau ada cerita lain tentang langit pagi :)

    BalasHapus
  2. Biko.... Haiii..!! Waaah, dirimu mampir ke sini? Maaf yaa tidak dijamu apa-apa, hihihi :)

    Aku juga yakin, jembatan yang sama itu pasti mengenalmu. Sudah pernah kau sapa? Tentu salam dan sapamu akan kuteruskan untuknya. Tapi tentu dia juga akan lebih senang, ketika juga ada seorang pemuda yang tentunya juga punya banyak cerita tentang jembatan itu?

    Dan tentang langit dan wanita berona merah muda, akan kumintakan. Tentu dia tidak akan segan.

    Nanti kukabari kembali :)

    BalasHapus
  3. Dian,,
    Ga usah repot-repot, ini juga kunjungan tanpa diundang, asal ga diusir udah cukup, hehe

    Mungkin dia ingat aku. Atau juga tidak (karena mungkin saat itu dia sedang tertidur).
    Saat lampu-lampu berkejaran cepat di bawahnya, atau merangkak perlahan, saat itulah pemuda itu lebih sering di sana.

    Tentang cerita dari wanita berona merah muda, tentunya aku tidak akan segan menunggu. :)

    ps: bagaimana pendapatmu hujan?


    BalasHapus