Satrio, 14 tahun, pelajar Sekolah
Menengah Pertama, pembalap dalam lamunan.
Lampu merah, kuning, dan hijau
bertengger di atas jalan. Tergantung dengan gagahnya. Sementara di bawah, para
mata yang tajam bersiaga tanpa kedip, agar bisa segera memerintahkan tangan
yang menggenggam setang untuk segera menghentakkan motor meluncur ke depan.
Nanti, ketika lampu hijau menyala. Deru motor bersahutan. Sama-sama ingin menunjukkan
kejantanannya, yang sampai sekarang masih ditahan.
Pada saat yang bersamaan, deru
mesin motor bebek Satrio juga sama lantangnya, meski memang tenggelam di antara
raungan motor serba cepat yang lain. Satrio memanaskan mesinnya. Memanaskan
nyalinya. Pembalap itu keren seperti ini.
Pembalap itu super cepat!
Terdengar riuh suara penonton.
Mendukung pembalap kesayangannya beraksi. Menyaksikan pembalapnya merendahkan
motor di setiap tikungan dan memacu motornya di jalanan yang lurus. Para
penonton sama tidak sabarnya dengan pembalap. Menunggu lampu-lampu itu menyala.
Dari kejauhan sayup-sayup
terdengar juga Ibu berteriak,”Jangan lupa ya, Satrio! Telur setengah kilo dan
beras lima kilo! Hati-hati! Tidak usah pakai motor, nanti Bapak marah!”
Entah Ibu didengar atau tidak.
Ah, Satrio hanya mendengar penonton meneriakkan namanya. Maka ia melaju dengan
motornya. Motor bapaknya.
Pembalap
itu keren. Dia
bisa merasakan angin yang panas menerpa wajahnya. Semakin memanaskan nyalinya.
Itu yang Satrio suka. Ia mesti lebih sangar daripada orang lain. Ini masalah
pembuktian. Satrio menggerungkan mesinnya. Motor meraung. Itu yang Satrio suka,
dari curi-curi kesempatan.
Perlombaan dimulai. Satrio berada
di urutan ke-tigabelas, masih jauh dari unggul. Tidak mengapa, masih putaran
pertama. Masih banyak putaran berikutnya. Ia mesti fokus dulu sekarang.
Bagaimana caranya mencapai garis akhir.
Satrio begitu ingin mencapai
garis akhir. Sudah dibayangkannya berdiri di atas podium dan mendapatkan piala,
diiringi teriakan penonton mengelukan namanya. Juga sudah terbayang olehnya
nanti ketika menyemprotkan botol anggur putih yang meledak setelah dikocok
beberapa kali. Sudah dibayangkan dirinya yang keren dan gagah.
*
Masalahnya, kalau kita lihat dari kacamata
yang riil, perlombaan ini bukan perlombaan yang mesti dimenangkan. Tepatnya,
ini bukan perlombaan. Tidak ada perlombaan.
Satrio harus ke pasar untuk
membelikan pesanan Ibu. Telur, beras, dan catatan lain yang sudah
dikantungkannya. Agar bisa tiba di pasar, Satrio mesti menghadapi jalanan yang
ganas. Pemotor yang ugal-ugalan, angkutan kota yang semaunya, pengguna mobil
yang tidak sabaran. Uh oh, sungguh potret kota yang brutal, tempat Satrio
tinggal. Maka, pada saat itu, pada saat ia mesti keluar dari gang rumahnya, Satrio
mesti menjelma menjadi salah satu di antaranya.
Sepertinya tidak hanya Satrio
yang bertransformasi. Begitu juga dengan hampir sebagian warga di kotanya.
Memasang gigi yang paling tajam, mata yang paling awas, dan hati yang paling
keras. Melunak berarti menyerah. Menyerah berarti kalah. Lalu kamu akan mati
tertindas. Jangan, jangan sampai!
Kemudian Satrio mewujud pembalap
dalam benaknya. Pembalap yang keren itu! Pembalap yang nomor satu! Pembalap
juara! Pembalap yang sampai pertama kali di garis akhir.
*
Kembali ke jalanan versi kita,
alias perlombaan versi Satrio. Baru saja ia disalip. Merasa kesal karena
kecolongan, ia kebut motornya, memburu motor merah yang tadi.
Sial,
cepat sekali melesat! Ke mana motor merah itu! Mungkin setelah lewat tikungan
di depan itu, aku akan bisa menyusulnya. Lalu menghabisinya di jalanan
sepanjang 70 meter itu. Akan kupacu si bebek ini di sana nanti
Mobil yang ada di hadapannya
tidak membuatnya mengurangi kecepatan. Seperti yang ia lihat di televisi,
pembalap tidak pernah melambat. Maka ia arahkan roda depan motornya ke sebelah
kiri, melintasi jalanan dan menyalip dari sisi kiri mobil.
Lewat satu, dua, dan tiga mobil. Pembalap itu cepat. Pembalap itu berani.
Sebentar lagi dia sampai di pertigaan dan ia harus belok ke kanan. Lampu lalu
lintas tadinya masih hijau ketika ia menyalip ketiga mobil. Sekarang sudah
berganti ke kuning. Kuning, artinya hati-hati. Hati-hati kalau sebentar lagi
akan merah dan berhenti. Tapi seolah tidak ada artinya bagi Satrio. Ia pacu
motornya. Sebelum merah maka ia tidak perlu berhenti. Lagipula, kalau berhenti,
ia bisa kehilangan motor merah tadi. Tidak mungkin dia jatuh ke urutan bawah
dan tertinggal.
Mobil-mobil dan beberapa motor
sudah mulai berhenti. “Bagus,” pikir Satrio, “tidak ada lagi yang menghalangi
jalanku.” Kemudian dari sisi kiri jalan, ia arahkan motor untuk membelok ke
kanan, mengarah langsung ke jalan yang ia tuju. Pembalap itu hanya melihat ke depan, tidak kiri tidak kanan. Satrio
hanya melihat ke depan, tidak kiri tidak kanan. Tidak melihat kalau dari
sebelah kiri, beberapa motor yang memang punya hak untuk jalan, juga memacu
motornya.
Klakson melengking. TIIIIINNNNN….
TIINNNNN….. Tidak hanya dari satu motor, mungkin tiga. Menyalak. Marah.
Menghindari tabrakan, Satrio
membanting motornya ke sebelah kanan. Seperti pembalap yang merendah ketika
membelok. Sayang, dia tidak seimbang untuk bisa mengembalikan motor ke posisi
tegap. Badannya lebih ringan daripada
bobot motor bebeknya. Satrio terjatuh. Pertemuan antara kepala tanpa helm
dengan aspal jalan tidak terelakkan.
Mobil-mobil berhenti. Ada dua
motor yang ikut terjatuh. Yang satu karena roda depannya sempat menyundul roda
belakang motor Satrio, oleng, dan menyenggol motor di sebelahnya.
Satrio sudah tidak sadarkan diri
ketika beberapa pemuda memakinya.
“Bocah gak tau aturan!”
Tidak perlu menunggu waktu lama
untuk menyaksikan makian yang berubah menjadi kepanikan. Dari tiga motor yang
terjatuh, hanya satu motor yang tergeletak diam bersama pengendaranya.
“Pak, pembalap itu keren banget ya, Pak! Pembalap super cepat!
Wuuuzzz…! Melesat lebih cepat daripada angin!”
“Pembalap itu memang keren. Bukan
keren-kerenan,” kata Bapak, beberapa
minggu yang lalu ketika menonton balap motor yang disiarkan di suatu televisi
swasta bersama Satrio.
“Kan sama-sama keren, Pak!”
“Pembalap itu keren. Pembala itu dewasa.
Kamu tahu, apa yang membedakan pembalap dengan pengendara motor yang
ugal-ugalan? Kesabaran. Dia memang cepat. Tapi bukan asal cepat. Sekali lagi,
pembalap bukan pengendara motor yang ugal-ugalan. Pembalap, penuh perhitungan,
menghitung risiko, bukan hanya melihat celah. Pembalap, mensyukuri hidup, bukan
sekadar menjalani hidup. Pembalap itu orang yang paling menyayangi dirinya
sendiri. Dan orang yang paling menyayangi dirinya sendiri adalah orang yang
juga menyayangi asal muasalnya. Maka ia tidak akan membawa kendaraannya
sembarangan.”
Satrio terdiam sejenak. Entah
mengerti, entah berusaha mengerti, entah tidak mengerti sama sekali. Bapak juga
terdiam, memandangi putranya yang kecil badannya namun besar nyalinya. Sudah beberapa
kali Satrio merajuknya agar boleh membawa si bebek keluar dari gang, menuju
jalan besar. Khawatir benar Bapak dengan putranya yang belum siap menghadapi
keganasan. Belum siap mental. Belum stabil secara emosi. Masih mementingkan
adrenalinnya. Bapak tahu benar, sebab Bapak juga pernah menjadi anak laki-laki.
“Kita tidak mesti menjadi
pembalap. Kita cukup memiliki jiwa pembalap. Bapak harap kamu ingat pesan Bapak
tadi. Itu buat nanti kalau kamu sudah berusia 17 tahun.”
“Boleh, Pak, kubawa si bebek itu
ke sekolah?” Satrio mencoba peruntungannya lagi biar mendapat izin membawa
motor bapaknya itu.
“Bebek mesti menunggumu tiga
tahun lagi,” begitulah Bapak menjawab.
“Tiga tahun itu lama, Pak!
Ayolah! Kemarin kulihat Raden membawa motor bapaknya juga ke tempat les. Raden
keren, Pak!”
“Ah, Raden biasa saja, Nak. Tidak
ada yang keren dengan membawa motor bapaknya.”
“Kalau begitu bapaknya Raden yang keren! Karena dia
membolehkan Raden mengendarai motor sendiri! Bapakku tidak keren!” Satrio
marah.
Bapak menghela nafas.
“Baiklah. Kamu mau mendapatkan
izin mengendarai si bebek sendiri?” tanya Bapak.
Satrio mengangguk.
“Kalau kamu sudah bisa memahami
pesan Bapak tadi, baru kamu boleh membawa si bebek ke mana saja kamu mau.”
Jelas sekali dalam hatinya Satrio
marah pada Bapak. Sudah gagal mendapat izin, tidak mengerti pula apa pesan
Bapak tadi. Uh!
*
Sudah selesaikah perlombaanmu, Satrio?
Sudah senang, sampai ke garis
akhir?
Siapa yang menang? Maut?
Bukankah garis akhirmu hari ini
adalah membawakan Ibu telur setengah kilo dan beras lima kilo?
***
Blog post ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat
Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan
Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Kereen Diaan! Mengedukasi tanpa menggurui. Dan seperti biasa, dengan alur yang menarik
BalasHapus