Sabtu, 31 Oktober 2015

Tak Sampai Garis Akhir



Satrio, 14 tahun, pelajar Sekolah Menengah Pertama, pembalap dalam lamunan.

Lampu merah, kuning, dan hijau bertengger di atas jalan. Tergantung dengan gagahnya. Sementara di bawah, para mata yang tajam bersiaga tanpa kedip, agar bisa segera memerintahkan tangan yang menggenggam setang untuk segera menghentakkan motor meluncur ke depan. Nanti, ketika lampu hijau menyala. Deru motor bersahutan. Sama-sama ingin menunjukkan kejantanannya, yang sampai sekarang masih ditahan.
Pada saat yang bersamaan, deru mesin motor bebek Satrio juga sama lantangnya, meski memang tenggelam di antara raungan motor serba cepat yang lain. Satrio memanaskan mesinnya. Memanaskan nyalinya. Pembalap itu keren seperti ini. Pembalap itu super cepat!
Terdengar riuh suara penonton. Mendukung pembalap kesayangannya beraksi. Menyaksikan pembalapnya merendahkan motor di setiap tikungan dan memacu motornya di jalanan yang lurus. Para penonton sama tidak sabarnya dengan pembalap. Menunggu lampu-lampu itu menyala.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar juga Ibu berteriak,”Jangan lupa ya, Satrio! Telur setengah kilo dan beras lima kilo! Hati-hati! Tidak usah pakai motor, nanti Bapak marah!”
Entah Ibu didengar atau tidak. Ah, Satrio hanya mendengar penonton meneriakkan namanya. Maka ia melaju dengan motornya. Motor bapaknya.
Pembalap itu keren. Dia bisa merasakan angin yang panas menerpa wajahnya. Semakin memanaskan nyalinya. Itu yang Satrio suka. Ia mesti lebih sangar daripada orang lain. Ini masalah pembuktian. Satrio menggerungkan mesinnya. Motor meraung. Itu yang Satrio suka, dari curi-curi kesempatan.
Perlombaan dimulai. Satrio berada di urutan ke-tigabelas, masih jauh dari unggul. Tidak mengapa, masih putaran pertama. Masih banyak putaran berikutnya. Ia mesti fokus dulu sekarang. Bagaimana caranya mencapai garis akhir.
Satrio begitu ingin mencapai garis akhir. Sudah dibayangkannya berdiri di atas podium dan mendapatkan piala, diiringi teriakan penonton mengelukan namanya. Juga sudah terbayang olehnya nanti ketika menyemprotkan botol anggur putih yang meledak setelah dikocok beberapa kali. Sudah dibayangkan dirinya yang keren dan gagah.

*

 Masalahnya, kalau kita lihat dari kacamata yang riil, perlombaan ini bukan perlombaan yang mesti dimenangkan. Tepatnya, ini bukan perlombaan. Tidak ada perlombaan.
Satrio harus ke pasar untuk membelikan pesanan Ibu. Telur, beras, dan catatan lain yang sudah dikantungkannya. Agar bisa tiba di pasar, Satrio mesti menghadapi jalanan yang ganas. Pemotor yang ugal-ugalan, angkutan kota yang semaunya, pengguna mobil yang tidak sabaran. Uh oh, sungguh potret kota yang brutal, tempat Satrio tinggal. Maka, pada saat itu, pada saat ia mesti keluar dari gang rumahnya, Satrio mesti menjelma menjadi salah satu di antaranya.
Sepertinya tidak hanya Satrio yang bertransformasi. Begitu juga dengan hampir sebagian warga di kotanya. Memasang gigi yang paling tajam, mata yang paling awas, dan hati yang paling keras. Melunak berarti menyerah. Menyerah berarti kalah. Lalu kamu akan mati tertindas. Jangan, jangan sampai!
Kemudian Satrio mewujud pembalap dalam benaknya. Pembalap yang keren itu! Pembalap yang nomor satu! Pembalap juara! Pembalap yang sampai pertama kali di garis akhir.

*

Kembali ke jalanan versi kita, alias perlombaan versi Satrio. Baru saja ia disalip. Merasa kesal karena kecolongan, ia kebut motornya, memburu motor merah yang tadi.
Sial, cepat sekali melesat! Ke mana motor merah itu! Mungkin setelah lewat tikungan di depan itu, aku akan bisa menyusulnya. Lalu menghabisinya di jalanan sepanjang 70 meter itu. Akan kupacu si bebek ini di sana nanti
Mobil yang ada di hadapannya tidak membuatnya mengurangi kecepatan. Seperti yang ia lihat di televisi, pembalap tidak pernah melambat. Maka ia arahkan roda depan motornya ke sebelah kiri, melintasi jalanan dan menyalip dari sisi kiri mobil.
Lewat satu, dua, dan tiga mobil. Pembalap itu cepat. Pembalap itu berani. Sebentar lagi dia sampai di pertigaan dan ia harus belok ke kanan. Lampu lalu lintas tadinya masih hijau ketika ia menyalip ketiga mobil. Sekarang sudah berganti ke kuning. Kuning, artinya hati-hati. Hati-hati kalau sebentar lagi akan merah dan berhenti. Tapi seolah tidak ada artinya bagi Satrio. Ia pacu motornya. Sebelum merah maka ia tidak perlu berhenti. Lagipula, kalau berhenti, ia bisa kehilangan motor merah tadi. Tidak mungkin dia jatuh ke urutan bawah dan tertinggal.
Mobil-mobil dan beberapa motor sudah mulai berhenti. “Bagus,” pikir Satrio, “tidak ada lagi yang menghalangi jalanku.” Kemudian dari sisi kiri jalan, ia arahkan motor untuk membelok ke kanan, mengarah langsung ke jalan yang ia tuju. Pembalap itu hanya melihat ke depan, tidak kiri tidak kanan. Satrio hanya melihat ke depan, tidak kiri tidak kanan. Tidak melihat kalau dari sebelah kiri, beberapa motor yang memang punya hak untuk jalan, juga memacu motornya.
Klakson melengking. TIIIIINNNNN…. TIINNNNN….. Tidak hanya dari satu motor, mungkin tiga. Menyalak. Marah.
Menghindari tabrakan, Satrio membanting motornya ke sebelah kanan. Seperti pembalap yang merendah ketika membelok. Sayang, dia tidak seimbang untuk bisa mengembalikan motor ke posisi tegap.  Badannya lebih ringan daripada bobot motor bebeknya. Satrio terjatuh. Pertemuan antara kepala tanpa helm dengan aspal jalan tidak terelakkan.
Mobil-mobil berhenti. Ada dua motor yang ikut terjatuh. Yang satu karena roda depannya sempat menyundul roda belakang motor Satrio, oleng, dan menyenggol motor di sebelahnya.
Satrio sudah tidak sadarkan diri ketika beberapa pemuda memakinya.
“Bocah gak tau aturan!”
Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menyaksikan makian yang berubah menjadi kepanikan. Dari tiga motor yang terjatuh, hanya satu motor yang tergeletak diam bersama pengendaranya.

*


“Pak, pembalap itu keren banget ya, Pak! Pembalap super cepat! Wuuuzzz…! Melesat lebih cepat daripada angin!”
“Pembalap itu memang keren. Bukan keren-kerenan,” kata Bapak, beberapa minggu yang lalu ketika menonton balap motor yang disiarkan di suatu televisi swasta bersama Satrio.
Kan sama-sama keren, Pak!”
“Pembalap itu keren. Pembala itu dewasa. Kamu tahu, apa yang membedakan pembalap dengan pengendara motor yang ugal-ugalan? Kesabaran. Dia memang cepat. Tapi bukan asal cepat. Sekali lagi, pembalap bukan pengendara motor yang ugal-ugalan. Pembalap, penuh perhitungan, menghitung risiko, bukan hanya melihat celah. Pembalap, mensyukuri hidup, bukan sekadar menjalani hidup. Pembalap itu orang yang paling menyayangi dirinya sendiri. Dan orang yang paling menyayangi dirinya sendiri adalah orang yang juga menyayangi asal muasalnya. Maka ia tidak akan membawa kendaraannya sembarangan.”
Satrio terdiam sejenak. Entah mengerti, entah berusaha mengerti, entah tidak mengerti sama sekali. Bapak juga terdiam, memandangi putranya yang kecil badannya namun besar nyalinya. Sudah beberapa kali Satrio merajuknya agar boleh membawa si bebek keluar dari gang, menuju jalan besar. Khawatir benar Bapak dengan putranya yang belum siap menghadapi keganasan. Belum siap mental. Belum stabil secara emosi. Masih mementingkan adrenalinnya. Bapak tahu benar, sebab Bapak juga pernah menjadi anak laki-laki.  
“Kita tidak mesti menjadi pembalap. Kita cukup memiliki jiwa pembalap. Bapak harap kamu ingat pesan Bapak tadi. Itu buat nanti kalau kamu sudah berusia 17 tahun.”
“Boleh, Pak, kubawa si bebek itu ke sekolah?” Satrio mencoba peruntungannya lagi biar mendapat izin membawa motor bapaknya itu.
“Bebek mesti menunggumu tiga tahun lagi,” begitulah Bapak menjawab.
“Tiga tahun itu lama, Pak! Ayolah! Kemarin kulihat Raden membawa motor bapaknya juga ke tempat les. Raden keren, Pak!”
“Ah, Raden biasa saja, Nak. Tidak ada yang keren dengan membawa motor bapaknya.”
“Kalau begitu bapaknya Raden yang keren! Karena dia membolehkan Raden mengendarai motor sendiri! Bapakku tidak keren!” Satrio marah.
Bapak menghela nafas.
“Baiklah. Kamu mau mendapatkan izin mengendarai si bebek sendiri?” tanya Bapak.
Satrio mengangguk.
“Kalau kamu sudah bisa memahami pesan Bapak tadi, baru kamu boleh membawa si bebek ke mana saja kamu mau.”
Jelas sekali dalam hatinya Satrio marah pada Bapak. Sudah gagal mendapat izin, tidak mengerti pula apa pesan Bapak tadi. Uh!

*

Sudah selesaikah perlombaanmu, Satrio?
Sudah senang, sampai ke garis akhir?
Siapa yang menang? Maut?
Bukankah garis akhirmu hari ini adalah membawakan Ibu telur setengah kilo dan beras lima kilo?

***





Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

1 komentar:

  1. Kereen Diaan! Mengedukasi tanpa menggurui. Dan seperti biasa, dengan alur yang menarik

    BalasHapus