Senin, 15 Oktober 2018

Berjiwa




“Ke mana kita hari ini?” adalah sebuah tanya yang akan membawa kita pergi, entah melangkahkan kaki berkelana atau sekadar membuat pikiran melanglang bertualang. Empat hari yang lalu, pertanyaan itu mendorong saya untuk pergi sangat jauh, melampaui batas langit.

Pagi itu saya keluar rumah dengan membawa dua tas, satu tas ransel diisi dengan air minum satu liter, roti, dompet, telepon genggam, dan alat-alat kecantikan (baca: bedak biar ga tampak kucel, deodoran dan semprotan pewangi tubuh biar ga menyiksa orang), dan satu lagi tas jinjing imajiner diisi dengan kekosongan. Setiap kali saya bepergian, saya seringkali merasa perlu membawa dua sisi yang pada diri saya itu. Satu sisi cukup persiapan sesuai rencana, berjaga-jaga kalau-kalau di perjalanan saya butuh mengandalkan diri saya dengan apa yang saya punya. Sementara satu lagi, sisi yang cukup legowo, kalau-kalau di jalan, yang saya butuhkan ternyata bukan apa yang saya punya melainkan apa yang saya tidak punya.

Tukang ojek yang ramah, senyum sahabat yang cerah, dan kereta pagi yang parah, adalah tiga hal pertama yang menyambut saya dengan sukacitanya. Tentang tukang ojek dan sahabat, tidak perlu kita bahas panjang lebar di sini ya, lagipula, adalah hal yang mudah untuk merasakan kebaikan dari hal yang memang sudah tampak baik, bukan begitu?

Nah, tentang kereta pagi yang parah dan sukacitanya. Bagaimana agar bisa melihat kebaikan dari setiap keganasan dan kebrutalan yang terjadi di depan mata? (saya berlebihan kok ini, maklum, bawaan nyeri pinggang pasca berdesakan di dalam gerbong!) Hari itu, sebelum saya tiba pada batas langit, terlebih dahulu saya mesti berhasil melewati ujian hidup di kereta pagi. Mirip-mirip perjalanan Buddha, ada hal-hal keduniawian yang perlu saya tapiskan dan teguhkan untuk kedamaian yang lebih tinggi. Maka kemudian di dalam pikiran, gerbong kereta wanita di kereta pagi berubah menjadi arena pertarungan kungfu. Sejujurnya, saya tidak punya dasar teknik kungfu, kalaupun ada teknik dasar, ada ajaran karate waktu SD yang terpendam di memori-memori bawah sadar. Saya hanya suka membaca cerita-cerita kungfu, membuat saya punya gambaran tentang bagaimana kungfu dan kebijaksanaan-kebijaksanaannya, paling tidak itu yang masih menggantung di alam sadar saya. Jadi saya coba untuk menjadi air, belajar mempraktikkan kebijaksanaan air tentang kontrol dan batas diri: untuk tidak memaksakan diri bertahan (khawatir nanti malah menyakiti diri) dan tidak juga menyusahkan orang lain (tidak sepenuhnya bertahan pada diri bukan berarti bersandar seenaknya pada orang lain). Saya bisa menyatakan diri lulus dengan predikat “cukup memuaskan” dari sebuah babak kereta-pagi-dari-Bogor-menuju-Jakarta-di-gerbong-wanita. Saya keluar di Stasiun Sudirman tanpa ada luka luar, sedikit nyeri di titik pinggang dan lutut (oh tidak!), dan tanpa sakit hati yang banyak (meski masih ada beberapa pertanyaan tentang perilaku berkereta manusia).

Stasiun Sudirman yang selalu sibuk, menyapa manusia-manusia yang menggantungkan kakinya di sana. Barisan para pekerja itu saya lewati, bukan hanya karena berbeda jalur antrian, melainkan karena saya tidak sedang menjadi pekerja hari itu. Hari itu saya adalah penonton.

Keluar dari lorong stasiun, kami memilih untuk menggunakan bus Kopaja saja, daripada bus TransJakarta. Langsung duduk di jok Kopaja yang berhenti sembarang di tepi jalan dan tidak mesti berjalan kaki lagi menuju halte adalah pilihan terbaik setelah berjuang di dalam kereta. Pembenaran.

Dalam perjalanan, masuk seorang pria tua berusia sekitar 50-an dengan penampilan tunawisma, berkemeja hitam lusuh, berambut ikal putih. Tidak ada kata sambutan seperti penampil lain, yang meminta izin dan meminta rezeki. Beliau memulai pertunjukan dengan menepuk-nepukkan tangannya, membuat tempo sekaligus intro. Lalu meluncurlah nada demi nada Sweet Child O' Mine ciptaan Guns N Roses. Suara tinggi, pejaman mata, dan tepukan dari tangannya. Indah. “Siapa orang ini?” Begitu magisnya, caranya menjaga eksistensinya. Saya masukkan pria tua itu ke dalam tas kosong. Pria tua itu adalah hal pertama yang saya bawa pulang. Untuk nanti saya ingat-ingat bahwa menjadi adil mulai dari pikiran sungguh memanusiakan yang lain. Tidak mudah memang, namun bisa dimulai dengan paling tidak meyakini bahwa setiap orang punya cerita, kemudian membiarkan waktu beberapa saat, memberikan kesempatan, dan menjawab pertanyaan.

Tibalah kami di Gelora Bung Karno, tempat Soekarno dulu mengajak kita semua membentuk MANUSIA BARU INDONESIA. Kini, Asian Para Games 2018 diselenggarakan di tempat ini, menghadirkan surga di atas bumi, di mana segalanya boleh terjadi bagi siapapun; menunjukkan sebuah miniatur kota baru yang menandakan masyarakat kita siap inklusif, setiap orang siap mempersilakan orang lain melihat dunia yang sama dari mata yang berbeda.

Apa saja yang bisa didapat dengan 100 ribu rupiah harga tiket terusan? Keriuhan di setiap lokasi pertandingannya dan di dalam kepala saya. Riuh yang tadinya jauh perlahan-lahan mendekat, sampai-sampai saya tenggelam bersamanya.

Stadion GBK adalah lokasi pertama yang kami injak. Cabang olahraga atletik, lari 400m. Atletnya buta. Dari jauh sudah saya lihat tiga pasang peserta, atlet dan pendampingnya, bersiap-siap di setiap lajur. Ada yang berlatih dua tiga langkah lari, ada yang meregangkan tangan dan kakinya. Sebentar lagi pertandingan dimulai, keenam peserta bersiap di lajur. Pertandingan dimulai. Berlari, berpasangan, dengan tangan terikat, mengitari lapangan hijau. Barangkali dari ikatan pada tangan ke tangan itu, mereka melakukan sinkronisasi, bersama-sama dan saling berbagi data tentang langkah, ritme, dan laju yang mesti dipacu, dengan sangat cepat. Kalau pernah menyaksikan masquerade di televisi, secanggih itulah yang ditunjukkan oleh setiap peserta. Diri dan bayangan, sama persis, tidak ada cela sedikitpun. Lari dengan kecepatan yang dipercepat, gerak tangan dan langkah kaki yang serima, belok ke kiri dengan tepat di setiap tikungannya. Hingga 400m terlibas dan tiba di garis akhir, dengan catatan waktu di bawah satu menit. Diri dan bayangan saling berpelukan, ada juga yang menepuk-nepukkan tangan di pundak. “Kita menuntaskan ini dengan baik, kawan.” Hangat mengaliri sekujur tubuh menyaksikan mereka berlari. Jelas mereka mampu berlari sendiri, lebih jelas lagi, akan ada saja orang-orang yang tidak akan membiarkan mereka berlari sendiri dan menemani.

Setelah ikut merasakan satu kemenangan dari stadion, kami sedikit berlari membawa semangat itu berpindah ke lapangan voli duduk, di mana tim Indonesia akan bertanding melawan Jepang memperebutkan medali perunggu. Kami menuju bangku penonton bersamaan dengan persiapan atlet memasuki lapangan. Setelahnya kami masih sempat berdiri bersama menyanyikan Indonesia Raya dan menghormati Kimigayo. Masih lekat di ingatan bagaimana rasa haru dan bangga yang saya rasakan menyatu bahkan sejak awal melihat para atlet di depan mata. Para atlet berdiri gagah baik dengan satu kaki atau berdiri ditopang penyangga kaki dan kaki palsu. Selesai lagu nasional masing-masing diperdengarkan, pertanda pertandingan akan dimulai. Atlet memasuki lapangan dengan lincah. Beberapa dengan langkah pincang, yang lain meloncat dengan satu kakinya, dan ada juga yang berjalan menggunakan pantat dan tangannya. Pertandingan berjalan dengan sangat menarik, banyak warna yang saya lihat. Pukulan-pukulan yang dahsyat, penempatan bola-bola yang cerdik, pertahanan yang ketat, dan yang paling menarik menurut saya adalah kelincahan para atlet bermobilisasi di dalam lapangan. Dalam posisi duduk mereka mendorong dan mengupayakan diri agar bisa berada pada posisi yang tepat untuk menangkap bola.

Adegan lain yang juga saya simpan adalah ketika pergantian lapangan, setelah selesai satu babak. Perpindahan dari dalam lapangan keluar dilakukan juga dengan cekatan. Beberapa langsung mengangkat tubuhnya berdiri dan melesat menuju pinggir lapangan, beberapa memilih menyeret dan mengayunkan tangan sebagai kaki, dan dua di antaranya memilih kawan setimnya sebagai kawan jalannya. Sambil saling merangkul pundak, mereka berdua bergantian melangkah, menjadi kaki bagi satu sama lain. Di antara ringan langkahnya, ada juga senyum yang saling dilemparkan di tengah raut wajah serius yang mengevaluasi performa pada babak sebelumnya. Pada akhirnya, Indonesia kalah atas Jepang, namun saya tidak kecewa. Hal ini lebih dipengaruhi oleh kekosongan yang saya tenteng, daripada rasa nasionalisme yang kurang atau kurangnya empati terhadap perjuangan atlet kita. Mereka telah menunjukkan kepada kepala saya yang keras ini. Entah berapa kali mereka mengalami kekalahan dalam hidupnya, dan berkali-kali itu juga mereka menangis untuk kembali menciptakan makna.

Sambil mengantongi kekalahan, sepaket dengan penghargaan terhadap upaya dan perjuangan para atlet, kami keluar dari arena pertandingan voli dengan rasa bangga. Senyum, kekaguman, dan cerita mengalir di antara kami. Entah ada cerita apalagi di lokasi berikutnya. Istora Senayan.

Setelah mengisi perut di bawah pepohonan rindang di atas tanah tandus kekeringan, kami menuju lokasi pertandingan bulutangkis. Olahraga kebanggaan masyarakat Indonesia. Olahraga yang dulu sempat singgah menjadi mimpi saya. Masuk ke dalam Istora, sebagian besar bangku penonton sudah penuh, kami harus mencari-cari sisa bangku. Siang itu, Indonesia mengirimkan banyak perwakilannya di beberapa nomor. Hal ini yang menambah riuh suasana di bangku penonton. Seorang pendukung meneriakkan nama Indonesia dan segera disambut oleh tepukan balon-balon. Dari tempat kami duduk, saya bisa menyaksikan lima pertandingan sekaligus di setiap lapangan bulutangkis. Dua lapangan dikhususkan bagi atlet berkursi roda, tiga lapangan lain diisi dengan atlet yang mengalami cacat di tangan atau di kaki. Pemandangan itu segera menawan saya. Bola mata berlarian acak melihat pertandingan di mana-mana, berloncatan dari satu lapangan ke lapangan lain. Setiap ada kok yang mati, otomatis mata mencari lapangan yang bolanya masih hidup dan bergulir. Tidak fokus memang dan beberapa kali saya merasakan lelah menontonnya.

Di saat lelah itulah, saya menemukan oase. Sebuah pemandangan yang hangat dan bersahabat dari area khusus penyandang disabilitas yang membutuhkan pendampingan. Di sana ada mereka, siswa SDLB dengan beragam cacat yang menghidupinya. Saya ikut terlarut melepas lelah ketika mata terarah pada seorang anak yang mengantuk di kursi rodanya, menempelkan kepalanya pada sandaran dan memejamkan mata. Di deretan belakangnya, dua orang anak buta asyik bercengkrama. Untuk bisa mendengar apa yang disampaikan, seorang anak perlu memiringkan kepalanya, lalu dia tertawa. Beberapa saat kemudian, terdengar sorakan nama Indonesia, membuat percakapan mereka terhenti. Anak perempuan itu diam sejenak, mendengarkan. Tidak lama kemudian, ia menepukkan tangannya mengikuti irama tepukan balon-balon di sekitarnya, dan mulutnya meneriakkan INDONESIA, sambil tertawa kecil. Ah, lihatlah anak-anakmu, Ibu Pertiwi. Di belakangnya lagi, ada siswa dengan hydrocephalus. Seorang anak laki-laki yang lebih sering diam dan mengamati dengan tatap muka datar. Raut muka yang tiba-tiba menjadi berseri ketika seorang atlet tunggal putra Indonesia yang berhasil memenangi pertandingan melemparkan bungkusan baju ke arah bangku penonton siswa-siswa itu. Dia ikut berdiri menyambut kemungkinan, dan tetap tersenyum selebar tiga jari sekalipun baju tersebut tidak ia dapatkan. Ya, mereka pantas mendapatkan apresiasi juga dari para atlet, yang saling mendapatkan dukungan dari kehadiran dan energi mereka. Saya beruntung, bisa merasakan jalinan energi dan kebaikan dari dalam Istora.

Meninggalkan gegap gempita dan sorak-sorainya, kami beralih ke lapangan yang jauh dari keramaian, mengumpulkan cap lain di tangan dari olahraga lawn balls. Olahraga yang baru buat saya ini mengajarkan lagi bagaimana menjadi penonton yang beretika, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Olahraga yang membutuhkan konsentrasi dan kecermatan tidak boleh diusik oleh suara yang terlalu berisik. Ketenangan itu membuai saya, apalagi hari mulai sore dan semilir angin mulai kencang. Saya mengantuk! Sampai tiba satu teman baik saya, psikolog timnas lawn ball Indonesia. Darinya, saya tahu tentang lawn balls, tentang peran psikolog dalam mendampingi kesiapan dan ketidaksiapan atlet, dibagikan cerita perjuangan beberapa atletnya, dan menangkap keseruan yang ia rasakan selama tinggal di wisma atlet. Merinding mendengarnya. Dia bilang, “Ini tempatnya psikolog pendidikan.” Bersamaan dengan itu, di bangku penonton deretan depan tampak sepasang muda-mudi saling berbagi cerita dengan bahasa isyarat, di bangku penonton sederet dengan saya seorang pria buta didampingi tiga orang muda bercakap-cakap, di sisi tribun yang lebih jauh tampak seorang artis ibu kota bertepuk tangan. Sementara di lapangan lawn balls, empat orang atlet berembuk menentukan skor pada putaran tersebut, yang dua berbadan kerdil, yang satu sedikit pincang, satu lagi bertangan satu. Saya mengangguk membenarkan, sambil dalam hati menyambungnya, “Ini tempat buat kita semua.”

Layar lebar di hadapan saya menunjukkan keadaan langit di atas kawasan GBK, sudah mulai berwarna gelap dengan matahari merah jingganya semakin matang. Setelah berpamitan, kami melanjutkan petualangan yang penuh kejutan. Pemberhentian berikutnya adalah arena akuatik.  Menjelang senja di arena renang adalah waktu final untuk beberapa nomor. Kami datang lebih lambat, kursi penonton sudah penuh semua. Sisanya adalah di sisi jauh, di situlah kami berdiri. Awalnya perlu berjinjit agar bisa lebih puas menyaksikan para atlet memulai dorongan pertama. Sudah berjinjitpun, tetap saya tidak bisa melihat secara langsung siapa yang lebih dulu tiba di garis akhir karena terhalang tembok. Saya terpaksa menonton dari layar lebar. Seperti di rumah. Tidak. Tidak seperti di rumah. Saya bersama puluhan pendukung lain yang datang menyaksikan perjuangan para atlet secara langsung. Atlet yang berenang tanpa kaki, sangat mengandalkan kekuatan tangan dan otot tubuh bagian atas, membuat siapapun yang melihatnya otomatis menggerakkan otot bagian pergelangan dan telapak tangannya untuk membuat gerak tepukan. Berkali-kali. Mulai dari awal dorongan awal, hingga sentuhan tangan di garis akhir. Berlaku bagi seluruh atlet yang menyelesaikan pertandingan, yang tercepat maupun yang terakhir. Tenggorokan saya seperti kering, ada rasa yang tertahan, sekalipun air mata di hati saya menderas. Seperti tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Momen mengharukan. Ada kalanya, ketika tidak ada menang dan kalah pada setiap perjalanan, yang ada hanya setiap jiwa akan tiba pada waktunya. Para atlet telah menunjukkan bahwa kita menyelesaikan apa sudah kita mulai, menggenapi kesempatan yang dijanjikan. Para pendukung telah menunjukkan bahwa kita merayakan apa yang kita hidupi.

Setelah beberapa atlet dipanggil ke podium untuk penyerahan medali, kami beranjak dari area akuatik, meninggalkan perayaan yang membahagiakan. Malam sudah sempurna, begitu juga dengan anginnya. Masih ada apa lagi di sini? Satu lagi harta karun datang dari olahraga kursi roda bola basket.

Di hall basket, kami bisa duduk di deretan yang dekat dengan para atlet, berjarak sekitar 6 meter, tinggal berjalan sedikit untuk menepuk pundak si atlet lalu berkata “you go, girl!” Sambil duduk manis, saya menyaksikan pertandingan berlanjut pada quarter ketiga. Alot sekali, beberapa kali kursi roda beradu. Dua dari sekian kali itu membuahkan hasil salah satu atlet terjerembap, dengan posisi masih duduk di kursi roda. Pemandangan yang menyakitkan buat saya, mungkin juga buat pada atlet itu. Tanpa memandang lawan atau kawan, atlet yang ada di dekatnya segera mendekati dan membantunya. Dengan bantuan tersebut, si atlet juga perlu memelantingkan tubuhnya ke belakang agar mendapat daya dorong yang cukup untuk bisa tegak kembali. Setelah itu, seperti melupakan peristiwa jatuh, mereka berlarian lagi, memutar roda-rodanya, meluncur dengan cepatnya dari satu sisi ke sisi lapangan lain, membangun serangan. Mereka ini tidak ada matinya, mengalirkan bola, merebut bola, melakukan pelanggaran, membuang bola sia-sia, dinamika yang disaksikan pada setiap olahraga. Saya selalu mengagumi dan menaruh hormat pada atlet sebab mereka memiliki jiwa yang tidak biasa. Hingga sirine panjang menjadi tanda selesainya pertandingan di quarter keempat.

Malam semakin panjang, seperti menolak sejenak untuk besok, namun rumah menunggu pulangnya kita. Dengan kondisi tubuh yang lelah, kami memutuskan pamit dari kawasan GBK. Persediaan air dan roti habis sudah, tas ransel saya ringan sekarang. Sementara tas kosong imajiner saya, penuh. Banyak yang terekam dan masuk ke dalamnya diam-diam. Keseluruhan hari ini seperti satu hal yang perlu masuk ke dalam daftar “101 hal yang dilakukan sebelum mati: menonton pertandingan atlet yang cacat fisik”, dengan catatan tambahan dari saya, “nikmati segala aspeknya, biarkan mereka menarikmu, membawamu larut, menerbangkanmu ke langit, dan memulangkanmu pada yang sejati.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar