Sabtu, 09 Juni 2012

ujung pelangi



Aku rasa kamu kenal lekat dengan pelangi. Ya, pelangi kita sama, paling tidak itu yang kurasa. Sama. Pelangi yang itu kan, yang merah jingga kuning hijau biru nila ungu, yang indah itu? Pelangi yang itu kan, yang sama-sama menghipnotis kita di sore itu? Pelangi yang itu kan, yang selalu menjadi harapan kita di saat hujan mulai mereda? Pelangi yang itu kan, yang selalu kita pertanyakan dan perdebatkan dua ujungnya?

Ah, aku jadi ingat kekonyolan kita perihal perdebatan ujung pelangi itu. Konyol sekali, sampai menggantung. Ingat ga, waktu kamu bilang bahwa setiap orang bertanya-tanya di mana ujung pelangi, karena di sanalah kan kau temukan keindahan ? lalu aku dengan mentahnya menolak pernyataanmu dan pernyataan sebagian besar orang itu? Ingat ga, apa yang kubilang? Bahwa kamu dan orang-orang itu membuang waktumu demi mencari keindahan yang semu dan mengabaikan keindahan sesungguhnya?  Lalu kamu marah dan kecewa karena aku seolah memupuskan harapanmu akan mengejar keindahan. Kamu bilang kalau aku jahat karena seolah mematikan impianmu. Ya, impianmu akan bidadari cantik berseliweran di bawah air terjun surgawi persis di bawah ujung pelangi itu. Belum lagi cerita-cerita magis yang memukau dirimu tentang kedamaian dan ketenangan yang dibawa oleh setiap malaikat sekalipun malaikat penjemput maut, tentang kebahagiaan bercengkrama bersama bayi-bayi unicorn yang melembutkan telinga dengan embikannya yang syahdu, tentang kelegaan yang luar biasa setelah pencarian ujung keindahan itu, tentang sebuah kebenaran akan ceritera kurcaci-kurcaci yang menanamkan bebungaan warna-warni dan bunga itu tumbuh subur setelah hujan dan timbullah pelangi… Aku menghancurkannya, aku menghancurkanmu, seolah-olah.

Dan kamu meninggalkanku dengan sebuah pesan sederhana namun memilukan, pergi mengejar ujung pelangi. Ya, dan kamu tak pernah kembali, atau mungkin belum sampai saat ini, atau aku saja yang terus berharap agar sebaiknya kamu kembali, atau entahlah, kamu belum sempat mendengarku mengutarakan argumentasiku tentang pelangi.

Bagiku, keindahan pelangi hadir lewat pelangi itu sendiri. Aku memaknainya secara berbeda, sangat berbeda denganmu. Pelangi yang kulihat, itu lah yang indah saat itu. Kamu tau, bagaimana pelangi tercipta? Bukan lewat dongeng tentang kurcacimu, yang pasti. Kalau boleh ku bermetafora, matahari dan airlah yang menjadi pemeran utamanya. Partikel-partikel dari uap air yang terbias, jadilah pelangi.  Itu yang nyata. Ck, bagaimanalah harus kujelaskan padamu. Aku tak pandai merangkai kata, juga tak pandai beranalogi. Tapi aku ingin kamu mengerti bahwa keindahan yang nyatalah yang paling indah. Tidakkah kau cukup bahagia dengan mengenali kehadiran pelangi di sore hari kita? Belum terpuaskan juga kah kamu dengan proses natural yang luar biasa yang dapat menciptakan pelangi untuk kita? Kenapa masih kau kejar ujung pelangi dengan khayalanmu atas kebahagiaan itu?

Aku pun sakit, kau tinggalkan aku demi kebahagianmu. Aku tak mengapa jika itu bukanlah kebahagiaan yang semu. Harusnya waktu itu kutampar saja pipimu, biar sadar. Sekalipun kau hidup dengan mimpi, janganlah hidup dalam mimpi. Apa yang kubilang soal indahnya pelangi adalah pada waktu proses terbentuknya? Rasanya perlu kutampar lagi pipimu agar kamu mengerti bahwa kamu lah yang menciptakan indah dan bahagiamu. Apa yang kubilang soal memudarnya pelangi juga tak luput dari peran alam? Tak paham lagi aku pipi sebelah mana lagi yang harus kutampar. Kebahagiaan juga akan sirna, mungkin bahkan tak berbekas, namun untuk itulah sebuah kepergian hadir, untuk mengadakan kembali sebuah kehadiran baru. Timbul tenggelamnya pelangi, sama seperti pasang surutnya air laut, sama dengan berputarnya pagi dan malam. Sederhana, demi sebuah keseimbangan.

Wahai kawanku, belum belajar banyakkah kamu dari alam? Apa yang kau kejar sebenarnya? Kebahagiaan?  Tidak cukup bahagiakah dirimu? Atau mungkin aku terlalu menggenalisir semua orang sepertiku, yang menyenangi kehadiranmu seperti hadirnya pelangi. kamu, pelangiku. Dengan keseharian yang kau bawa lewat gelak tawa, candaan, kisahmu tentang berapa ratus dongeng yang kau hafal, keceriaan itu… tapi mungkin aku terlalu terbuai dengan ceriamu, karena tak pernah kudapati air mata sedihmu. Sampai kamu pergi pun, tak kulihat titik itu. Mungkin kau kecewa pada keindahan pelangi versiku, mungkin kau marah karena ku hina dongeng-dongeng indahmu itu.

Apa guna aku menulis ini tak lain untuk mengungkapkan rasaku saja. aku menikmati kebersamaan bersamamu dalam keceriaan itu. Pun ketika kamu tidak ada bersamaku, sama seperti ketika pelangi itu harus pudar, tidak sengotot itu aku memaksamu untuk menemaniku. Mungkin kamu tidak sama denganku. Terus menerus mengejar kebahagiaan hingga akhirnya kau luput dengan bahagiamu saat ini. Apa aku bukanlah bahagiamu?

Ah, aku teringat guru mengaji kita yang pernah bilang, senang, tenang, maka bahagialah.  Kalau kamu memang senang mengejar ujungnya, silakan berbahagialah. Paling tidak itu harapanku. Lantas apalagi yang harus kuucap? Hiduplah dalam dongengmu, dan aku hidup dalam nyataku.

5 tahun lamanya, saking sakitnya, setiapku melongok dan hadir pelangi di sana aku terhenyak. Kekosongan akanmu mengisiku. Lalu, sudah kau temukan ujungnya? Dan bayi unicorn itu, sudah kau dengar senandungnya? Dan bertemu juga kau dengan bidadari? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar