Aku rasa kamu kenal lekat dengan pelangi.
Ya, pelangi kita sama, paling tidak itu yang kurasa. Sama. Pelangi yang itu
kan, yang merah jingga kuning hijau biru nila ungu, yang indah itu? Pelangi yang
itu kan, yang sama-sama menghipnotis kita di sore itu? Pelangi yang itu kan,
yang selalu menjadi harapan kita di saat hujan mulai mereda? Pelangi yang itu
kan, yang selalu kita pertanyakan dan perdebatkan dua ujungnya?
Ah, aku jadi ingat kekonyolan
kita perihal perdebatan ujung pelangi itu. Konyol sekali, sampai menggantung. Ingat
ga, waktu kamu bilang bahwa setiap orang
bertanya-tanya di mana ujung pelangi, karena di sanalah kan kau temukan
keindahan ? lalu aku dengan mentahnya menolak pernyataanmu dan pernyataan
sebagian besar orang itu? Ingat ga, apa yang kubilang? Bahwa kamu dan orang-orang itu membuang waktumu
demi mencari keindahan yang semu dan mengabaikan keindahan sesungguhnya? Lalu kamu marah dan kecewa karena aku seolah
memupuskan harapanmu akan mengejar keindahan. Kamu bilang kalau aku jahat
karena seolah mematikan impianmu. Ya, impianmu akan bidadari cantik
berseliweran di bawah air terjun surgawi persis di bawah ujung pelangi itu. Belum
lagi cerita-cerita magis yang memukau dirimu tentang kedamaian dan ketenangan
yang dibawa oleh setiap malaikat sekalipun malaikat penjemput maut, tentang
kebahagiaan bercengkrama bersama bayi-bayi unicorn yang melembutkan telinga
dengan embikannya yang syahdu, tentang kelegaan yang luar biasa setelah
pencarian ujung keindahan itu, tentang sebuah kebenaran akan ceritera kurcaci-kurcaci
yang menanamkan bebungaan warna-warni dan bunga itu tumbuh subur setelah hujan
dan timbullah pelangi… Aku menghancurkannya, aku menghancurkanmu, seolah-olah.
Dan kamu meninggalkanku dengan
sebuah pesan sederhana namun memilukan, pergi
mengejar ujung pelangi. Ya, dan kamu tak pernah kembali, atau mungkin belum
sampai saat ini, atau aku saja yang terus berharap agar sebaiknya kamu kembali,
atau entahlah, kamu belum sempat mendengarku mengutarakan argumentasiku tentang
pelangi.
Bagiku, keindahan pelangi hadir
lewat pelangi itu sendiri. Aku memaknainya secara berbeda, sangat berbeda
denganmu. Pelangi yang kulihat, itu lah yang indah saat itu. Kamu tau,
bagaimana pelangi tercipta? Bukan lewat dongeng tentang kurcacimu, yang pasti. Kalau
boleh ku bermetafora, matahari dan airlah yang menjadi pemeran utamanya. Partikel-partikel
dari uap air yang terbias, jadilah pelangi. Itu yang nyata. Ck, bagaimanalah harus
kujelaskan padamu. Aku tak pandai merangkai kata, juga tak pandai beranalogi. Tapi
aku ingin kamu mengerti bahwa keindahan yang nyatalah yang paling indah. Tidakkah
kau cukup bahagia dengan mengenali kehadiran pelangi di sore hari kita? Belum
terpuaskan juga kah kamu dengan proses natural yang luar biasa yang dapat
menciptakan pelangi untuk kita? Kenapa masih kau kejar ujung pelangi dengan
khayalanmu atas kebahagiaan itu?
Aku pun sakit, kau tinggalkan aku
demi kebahagianmu. Aku tak mengapa jika itu bukanlah kebahagiaan yang semu. Harusnya
waktu itu kutampar saja pipimu, biar sadar. Sekalipun kau hidup dengan mimpi,
janganlah hidup dalam mimpi. Apa yang kubilang soal indahnya pelangi adalah
pada waktu proses terbentuknya? Rasanya perlu kutampar lagi pipimu agar kamu mengerti
bahwa kamu lah yang menciptakan indah dan bahagiamu. Apa yang kubilang soal
memudarnya pelangi juga tak luput dari peran alam? Tak paham lagi aku pipi
sebelah mana lagi yang harus kutampar. Kebahagiaan juga akan sirna, mungkin
bahkan tak berbekas, namun untuk itulah sebuah kepergian hadir, untuk mengadakan
kembali sebuah kehadiran baru. Timbul tenggelamnya pelangi, sama seperti pasang
surutnya air laut, sama dengan berputarnya pagi dan malam. Sederhana, demi
sebuah keseimbangan.
Wahai kawanku, belum belajar
banyakkah kamu dari alam? Apa yang kau kejar sebenarnya? Kebahagiaan? Tidak cukup bahagiakah dirimu? Atau mungkin
aku terlalu menggenalisir semua orang sepertiku, yang menyenangi kehadiranmu
seperti hadirnya pelangi. kamu, pelangiku. Dengan keseharian yang kau bawa lewat
gelak tawa, candaan, kisahmu tentang berapa ratus dongeng yang kau hafal, keceriaan
itu… tapi mungkin aku terlalu terbuai dengan ceriamu, karena tak pernah
kudapati air mata sedihmu. Sampai kamu pergi pun, tak kulihat titik itu. Mungkin
kau kecewa pada keindahan pelangi versiku, mungkin kau marah karena ku hina
dongeng-dongeng indahmu itu.
Apa guna aku menulis ini tak lain
untuk mengungkapkan rasaku saja. aku menikmati kebersamaan bersamamu dalam
keceriaan itu. Pun ketika kamu tidak ada bersamaku, sama seperti ketika pelangi
itu harus pudar, tidak sengotot itu aku memaksamu untuk menemaniku. Mungkin kamu
tidak sama denganku. Terus menerus mengejar kebahagiaan hingga akhirnya kau
luput dengan bahagiamu saat ini. Apa aku bukanlah bahagiamu?
Ah, aku teringat guru mengaji
kita yang pernah bilang, senang, tenang,
maka bahagialah. Kalau kamu memang
senang mengejar ujungnya, silakan berbahagialah. Paling tidak itu harapanku. Lantas
apalagi yang harus kuucap? Hiduplah dalam dongengmu, dan aku hidup dalam
nyataku.
5 tahun lamanya, saking sakitnya,
setiapku melongok dan hadir pelangi di sana aku terhenyak. Kekosongan akanmu
mengisiku. Lalu, sudah kau temukan ujungnya? Dan bayi unicorn itu, sudah kau
dengar senandungnya? Dan bertemu juga kau dengan bidadari?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar