Aku hampir terlambat menyapa embun di pagi ini. Yang jelas,
embun pertama sudah lama menguap. Hingga tersisa mungkin embun ke-seratus dua
puluh, yang masih merebah di atas daun.
Kuamati lekat-lekat.
Semilir angin memainkannya, bergeser ke kiri, semakin
mendekati ujung daun. Sebentar lagi ia akan jatuh, pikirku. Apakah ia akan
lebih dulu menguap atau jatuh?
Kuamati lekat-lekat.
Beningnya sempurna, aku bisa menembus hingga hijau daun
tampak berbinar. Sedang asyik-asyiknya mengamati, anjingku menyeruak di antara
aku dan dedaunan. Embun hilang.
Aku hampir terlambat menyapa embun di pagi ini. Menyapa sesaat, mencari sejuk yang hangat. Yang sesaat, terkadang menimbulkan sesal dan harap
agar lebih lama lagi. Sesal, mungkin kesal, sebab semestinya bisa lebih lama
lagi bercakap-cakap. Di satu mata lain, yang sesaat, terkadang menimbulkan syukur.
Tapi toh, ada embun yang tidak pernah lewat menyapaku. Embun
yang tidak mengenal waktu, yang datangnya bisa pada empat penjuru waktu. Embun
yang hampir selalu berhasil membawa gundahku menguap bersamanya.
Sebuah pesan masuk, “Selamat pagi! Ini pelukku yang sejak
semalam tidak ingin kau lepas, hihihi!”
Seketika sejuk yang hangat mengaliri setiap sendi tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar