Dari sebuah jembatan
penyeberangan, di atasnya terhampar langit yang cantik, di bawahnya terhampar
kesibukan duniawi. Akhir-akhir ini lebih banyak orang yang tenggelam di bawah sana.
Meski beberapa kali jembatan sudah meneriakkan tentang keindahan di atas, kaki-kaki yang menginjaknya tetap melangkah dengan cepat, dengan kepala-kepala
yang ada di atasnya menunduk terus ke bawah. Belum ada jejak yang melambat, belum
ada kepala yang menengadah.
Jembatan tidak pernah berhenti
memberikan pertandanya, meski ribuan kaki sudah mengabaikannya. Dan lebih
banyak lagi mulut yang memakinya. Pasalnya sudah dua minggu ini atap jembatan yang
dibuat dari seng tidak terpasang dengan benar. Efek dari angin besar di musim
yang mestinya sudah bukan musim hujan. Ia sering terangkat kemudian terbanting
oleh angin. Orang memaki sebab selain berisik, jembatan dianggap tidak
melindungi kepala para manusia yang berisi jutaan ide tentang kemajuan dunia
entah apakah terlintas tentang kemaslahatan manusianya sendiri. Saat hujan
turun, saat matahari terik, jembatan tidak melindungi dengan sempurna. Manusia
terlalu takut idenya meluntur dan menguap. Manusia juga takut otaknya kosong. Maka
mereka memaki, bukannya membetulkan. Katanya para mulut itu lagi, sudah ada
orang yang bertugas dan orang yang bertugas itu tidak becus, katanya.
Bagi jembatan, apapun keadaannya,
ia tetap tersenyum. Dengan langit cantik di atasnya, dengan kesibukan duniawi
di bawahnya. Bagi jembatan, keadaannya yang bobrok kali ini justru menguatkan
misinya untuk memperkenalkan temannya di pagi hari kepada hati manusia yang
tenggelam. Beberapa kali dengan sengaja, ia membanting atapnya. Berharap
manusia menengok ke arahnya. Sayang, belum ada kepala yang terangkat sejak
tadi. Lagi-lagi keluhan yang ia dapatkan. Kaki tetap melangkah dengan cepatnya,
kata-kata ketus meluncur dengan lebih cepatnya. Manusia lainnya lagi, jangankan
peduli, mendengar saja tidak. Iringan musik yang menyumbat telinganya
membuatnya tidak lagi mendengarkan sekitar. Jembatan tahu ini beberapa waktu
yang lalu. Ia sempat merasa tersanjung ketika seorang anak muda menganggukkan
kepala kepadanya. Setelahnya, jembatan tersandung. Ternyata yang jembatan dapatkan
bukan anggukan kepala manusia sebagai salam, melainkan angguk-anggukkan
kepala menikmati dirinya sendiri. Dan suara kenikmatan itu lebih kencang dan
lebih membuai daripada sapaan jembatan. Jadi, percuma saja.
Jembatan sendiri tidak punya
alasan lain mengapa ia sebegitu inginnya memperkenalkan teman paginya kepada
manusia. Ia hanya ingin. Titik.
Sampai seorang wanita menapakkan
kakinya pada anak tangga terakhir di atas jembatan. Kakinya terhenti bukan
karena lelah. Kakinya terhenti karena otaknya menyuruhnya untuk berhenti. Kepala
wanita itu menengadah, mencari-cari sumber suara yang terlalu berisik. Cukup
terusik rupanya. Lalu ia berjalan perlahan sambil terus mendongak lalu
memutarkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Dan ia berhenti, beberapa detik.
Sungguh, kita tidak pernah tahu keajaiban apa yang menanti dari sebuah detik.
Pada beberapa detik itu, jembatan tersenyum lebar. Jelas, ia menangkap satu
manusia. Satu-satunya di pagi hari yang terlalu sibuk untuk semua manusia.
Jembatan mengedipkan sebelah matanya kepada teman di atasnya.
Mulut wanita itu sedikit ternganga.
Nafasnya tertahan. Matanya menerawang jauh ke sekitar. Pikirannya kosong. Seluruh
isi pikirannya tersedot entah ke mana. Tubuhnya terangkat melayang-layang.
Sesuatu merasukinya. Tersihir. Sekelilingnya
menjadi berwarna-warni. Tiupan angin seolah membawa melodi paling indah. Ia
bisa melihat pohon di bawah sana melambaikan rantingnya dan tanpa pikiran yang
mengontrolnya, wanita itu bisa dengan bebasnya melambaikan tangannya. Ia bisa
melihat jembatan penyeberangan tempatnya berdiri mengedipkan mata kepadanya, tanpa
ada sesuatu yang mengekangnya ia balas mengangguk sambil tersenyum manis. Ia
bisa melihat tiang-tiang listrik memainkan kabelnya, bermain lompat tali dengan
tupai. Dari kejauhan ia bisa melihat stasiun merentangkan tangannya untuk menyambutnya
dengan pelukan. Sayup-sayup ia bisa mendengar panggilan, “Kemarilah, wahai
wanita. Dari sinilah awal keberangkatanmu hari ini. Awal tujuan hidupmu hari
ini. Biar kurangkul dan kutemani harimu.” Dari jarak yang sama juga bisa ia
dengar dengan jelas gelak tawa dari anak-anak jalanan yang berlarian di
sepanjang jalur kereta yang lama tidak digunakan. Jelas, pada saat itu, ia
sedang tidak melihat tanggalan dengan coretan deadline tugasnya. Ia juga sedang
tidak merasakan tekanan dari waktu yang biasanya memburunya. Ia juga jauh dari
ketakutannya pada reaksi orang apabila tugasnya tidak sempurna. Jelas, pada
saat itu ia sedang menyaksikan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri.
Dari atas jembatan penyeberangan,
pukul 05.20 pagi hari, keajaiban terjadi.
Paginya wanita itu merona. Bukan oleh kata-kata puitis, juga bukan oleh sapuan pemerah pipi, melainkan oleh langit yang sempat ia tengok. Merahnya merasuk dengan penuh, sebelum sempat memantul sebentar di wajahnya. Hatinya merah jambu muncul ke permukaan, dengan semangat yang sempat terbuai oleh kantuk. Persis semu yang dipamerkan langit pagi malu-malu.
Hati dan matahari tidak lagi tenggelam.
Salam kenal, langit merah jambu,
bisik wanita itu. Tidakkah indahmu perlu dirasakan oleh semua manusia? Tidakkah
sesekali manusia perlu membuang jauh-jauh pikirannya terlebih dulu, meletakkan
sejenak otak di kakinya, sebab selama ini tanpa disadari manusia
menginjak-injak dirinya sendiri dengan pikirannya?
Salam kenal, wanita manis, ujar
matahari lewat sengat yang menghangat. Jadilah manusia yang berbeda hari ini. Manusia
yang berhati.
Jembatan penyeberangan menari
sekencang-kencangnya sepanjang hari itu. Harapannya kepada manusia tidak pernah
luntur. Dan satu manusia penuhi harapannya hari itu.
Hai,,
BalasHapusSampaikan salamku pada jembatan dengan suara berisik capernya*aku yakin dia sengaja lebih berisik saat wanita itu lewat :)
Sampaikan juga sapaan hangat kepada langit pagi yang selalu punya caranya untuk tampil elegan sekaligus sederhana.
Dan kalau tidak keberatan, mintakan cerita langit pagi yang lain dari wanita dengan rona merah muda di wajahnya.
Karena satu buah cerita tidak akan pernah cukup.
Tolong beritahu kalau jembatan atau langit pagi membalas sapaan salam ku. *atau kalau ada cerita lain tentang langit pagi :)
Biko.... Haiii..!! Waaah, dirimu mampir ke sini? Maaf yaa tidak dijamu apa-apa, hihihi :)
BalasHapusAku juga yakin, jembatan yang sama itu pasti mengenalmu. Sudah pernah kau sapa? Tentu salam dan sapamu akan kuteruskan untuknya. Tapi tentu dia juga akan lebih senang, ketika juga ada seorang pemuda yang tentunya juga punya banyak cerita tentang jembatan itu?
Dan tentang langit dan wanita berona merah muda, akan kumintakan. Tentu dia tidak akan segan.
Nanti kukabari kembali :)
Dian,,
BalasHapusGa usah repot-repot, ini juga kunjungan tanpa diundang, asal ga diusir udah cukup, hehe
Mungkin dia ingat aku. Atau juga tidak (karena mungkin saat itu dia sedang tertidur).
Saat lampu-lampu berkejaran cepat di bawahnya, atau merangkak perlahan, saat itulah pemuda itu lebih sering di sana.
Tentang cerita dari wanita berona merah muda, tentunya aku tidak akan segan menunggu. :)
ps: bagaimana pendapatmu hujan?