Dua orang anak kecil berkaca. Bukan di cermin. Hanya berdiri
berhadap-hadapan dan mengikuti gerakan yang satunya. Satu memiringkan kepala ke
kiri, satu ke kanan. Satu mengangkat tangan kiri ke atas dan bergoyang, satu
mengangkat tangan kanan ke atas dan bergoyang. Hanya satu yang tidak
dicerminkan. Satu tersenyum lepas, satu tersenyum menyembunyikan getir.
Permainan pantulan itu terhenti. Ada yang melihat ketidakberesan pada jiwa
teman bermainnya itu. Dan yang tidak beres itu mesti dibereskan, bagaimanapun
caranya. Satu memutuskan untuk merangkul yang lain dan mendudukkan mereka
berdua di sebuah kursi di halaman belakang dekat dapur.
*
Dua orang remaja tanggung bercengkrama di pinggir telaga,
memutuskan untuk menarik sampan ke tengah telaga. Sekitarnya penuh dengan pohon
dan semak yang tidak berbelukar. Airnya tenang hanya sedikit beriak karena
disapu angin. Airnya tenang hanya sedikit tergores oleh kayuhan dayung dua remaja.
Telaga itu punya legenda yang bilang bahwa ada monster, mungkin ikan, sebesar
tak terkira yang tinggal di sana. Dua orang remaja itu sudah tidak percaya
lagi, seperti dulu ketika bocah, dan sekarang mencelupkan kakinya dari atas
sampan. Sejuk. Sejuk di kaki, sejuk di hati.
Satu mengajak yang lainnya untuk tengkurap di atas sampan
sambil melongokkan kepala mereka ke air, satu menolak. Satu memanggilnya sekali
lagi dan mengajaknya untuk melihat bayangan mereka di permukaan air, satu tetap
menggeleng. Satu bertanya mengolok dan berkata, “tidak ada monster di sini”,
satu tetap takut tetapi diam. Ia bukannya takut melihat monster, melainkan
takut melihat dirinya. Remaja satunya tidak tahu mengenai ketakutan temannya,
menarik remaja yang takut itu ke tepi sampan, kemudian memposisikannya
tengkurap. Remaja satu menolak. Sampan bergejolak. Remaja yang memaksa jatuh
tetapi tidak tenggelam. Remaja yang dipaksa semakin yakin bahwa ia bukanlah
orang baik, sebab mana ada orang baik yang menjatuhkan? Saat jatuh, remaja satu
merasa ada yang salah pada jiwa teman sekelasnya. Dan dari yang salah, mereka
selalu bisa belajar tentang kebenaran. Kebenaran, yang sebaiknya terus dicari
tanpa kenal lelah, hanya bisa didapatkan dengan suatu cara, bagaimanapun itu.
Satu memutuskan untuk tertawa keras-keras sambil
mengata-ngatai kebodohannya karena tercebur, satu terdiam. Tawa itu, sejalan
dengan air yang sengaja dicipratkan ke wajah temannya, mampu membasahi muka dan
membasuhi juga jiwa remaja yang bersalah itu. Remaja yang mulai menyunggingkan
senyum yang malu-malu, ikut menertawainya. Menertawai kesalahan, menertawai
kebodohan. Tawa selalu menjadi pembuka yang menyenangkan untuk sebuah kisah apapun
yang kemudian terlantun, termasuk kisah yang menyakitkan telinga seperti kegagalan
dan keburukan.
Dua remaja itu kini merebahkan dirinya terlentang. Sesekali
yang satu menengok ke sebelah kiri memerhatikan si pencerita dan memerhatikan
air mata yang tergenang. Sesekali si pencerita menengok ke sebelah kanan,
melihat respon si pendengar dan memerhatikan sapaan hangat dari mata yang
tenang. Sesekali mereka berdua menatap langit sambil terus bercerita. Sampan
tetap melaju oleh tiupan angin. Air mata di atas sampan juga tetap mengalir dan
terhapus oleh angin. Di akhir-akhir, karena posisi terlentang membuat pegal,
mereka mengubah menjadi tengkurap. Tengkurap menyaksikan pantulan alam di atas
telaga. Telaga yang diam saja memantulkan kedamaian. Monster dalam diri sudah pergi,
sama seperti legenda yang menyisakan cerita tanpa ketakutan.
*
Sore hari, pukul 17.00, tepat sebelum senja memantulkan
keindahan. Berselimutkan scarf hijau
dan biru, menantang angin sore yang tidak deras, dua orang berusia senja duduk
di teras ditemani teh tanpa gula. Dua cangkir teh tawar yang tidak hambar. Perjalanan
hidup mereka terlalu terasa sehingga mengalahkan rasa dari teh itu. Dua cangkir
teh yang baru diseruput seperlimanya, kini tidak lagi panas. Tapi tak mengapa
karena tetap hangat. Perjalanan hidup mereka terlalu deras bergulir dan terbagi
sehingga mengalahkan hangat dari teh itu.
Senja sudah terbiasa menjadi penghubung kedua jiwa itu, pun
ketika mereka berjauhan. Mungkin mereka merasa nyaman. Sebab senja selalu
menampakkan kejujurannya. Indah saat cerah dan kurang indah saat mendung atau
berkabut. Begitu saja dan mereka memutuskan untuk menjadi jujur seperti senja.
Untuk mereka, senja di manapun selalu sama. Senja di manapun
selalu memantulkan keindahan, dari kegetiran ataupun dari kebahagiaan dua cerita
kehidupan. Begitulah, sudah puluhan tahun senja menjadi bagian dari mereka
berdua. Sejak mereka menyepakati tanpa berjanji untuk saling menyambut setiap hari
baru dengan kejutannya. Puluhan tahun mereka membagi harinya dengan senja,
terkadang menyimpannya dalam senja. Satu berbisik kepada senja di langit
tentang syukurnya, satu berteriak dengan lantang kepada senja di langit tentang
pencapaiannya. Satu tersenyum kepada senja tentang karunia yang didapat, satu
menumpahkan kecewanya kepada senja di langit tentang kesedihannya.
Saat ini, tinggal senja yang memutarkan potongan-potongan
film yang sempat puluhan tahun lamanya dititipkan kepadanya. Dua orang tua mendongakkan
kepalanya, memandang lurus ke depan, sesekali menghadap ke sampingnya, saling tersenyum
melihat pemutaran cerita-cerita kehidupan di belakang. Tertawa kecil melihat perjalanan mereka bersama meski tak selalu bersama-sama, sesekali
mengusap air mata. Entah sudah berapa ketidakberesan mereka jumpai, juga berapa
kesalahan mereka hadapi. Tetapi mereka tetap mereka, dengan jiwanya yang
berbahagia dan bertumbuh. Jiwa yang berbahagia sejak mereka masih menjadi dua orang
anak kecil yang senang bermain pantul gerakan. Jiwa yang bertumbuh sejak mereka adalah dua orang
remaja yang saling melihat bayangan.
Senja yang indah merefleksikan keindahan kehidupan yang tentram. Selesai
senja berganti malam. Jiwa mereka belum saatnya padam.
*
untuk seorang sahabat :)
*
untuk seorang sahabat :)
seperti menemukan pantulan jiwa dalam tulisan ini... terima kasih Dii, suka sekali dengan tulisanmu! :)
BalasHapusHihihii, aku juga terima kasih! sudah jadi teman main, danau, dan teman minum teh! :)
Hapus