anggap saja waktu adalah sebuah sahabat terdekat, yang ingin selalu disayangi dan menyayangi, yang selalu ingin dekat tidak ingin pergi menjauh, yang tidak ingin disesali. maka isilah dengan penuh makna.
Jumat, 26 Oktober 2012
sebentar lagi
Sebentar, aku menyelonjorkan kakiku. Waktuku tersisa 36 menit. Sampai mati nanti. Apa yang akan kulakukan dalam waktu 36 menit ini? Dan tiba-tiba saja waktu dalam pikirku mundur, ke masa 60 menit yang lalu masa hidupku. Waktu yang belum kutahu bahwa sejumlah itulah masa hidupku.
Aku berjalan, tidak terlalu jauh. Pada akhirnya memang akan banyak yang bisa diambil dari suatu perjalanan, seberapapun pendeknya jarak tempuhnya.
Aku di sebuah tempat, yang diramaikan oleh berisik dari burung dan angin. Mungkin ada manusia, namun kuabaikan. Tidak apa, aku sudah terlalu banyak mendengar manusia. Aku hanya ingin mendengar mereka yang lain. Mungkin di sana ada juga jin, tapi aku juga sudah terlalu banyak mendengar desis iblis. Aku hanya ingin mendengar mereka yang lain. Mendengar yang tidak perlu mengerti.
6 menit berlalu dan telah kudapati semilir angin yang menyejukkan, yang desahnya menghangatkan, yang bisiknya ternyata tidak semengerikan iblis. Katanya angin tidak dapat mengatakan apapun, kata orang angin tidak terdengar, kataku angin terabaikan. Aku dan angin, ternyata sama. Mungkin karena itu, aku seolah paham apa yang disampaikan angin, walau tidak berkeinginan untuk mengerti. Semakin kencang angin bertiup, semakin merinding bulu romaku. Merinding yang baru kali ini kurasakan. Ternyata ada nikmat duniawi lain yang tersaji selain kenikmatan duniawi yang akrab denganku, lewat uang, laki-laki, dan botol. Ternyata nikmat yang ini, seberharga ini. Ternyata nikmat yang ini, gratis. Ternyata nikmat yang ini, berlimpah. Ternyata nikmat yang ini, semenagihkan itu. Karena aku tidak bisa bicara dengan uang, walau memang uang bisa bicara. Aku juga tidak bisa bicara dengan laki-laki, selain ah dan uh. Apalagi bicara dengan botol, yang selama ini merasukiku dengan bisiknya “rileks lah!”. Aku bisa bicara dengan angin. Bodoh memang, dan memang masa bodoh.
5 menit juga telah kudapati teriakan anak burung, yang ciapnya menggemaskan, yang kicaunya ternyata lebih bernada daripada musikku. Angin dan burung sepertinya memang perpaduan yang menyenangkan. Lalu kulanglangkan anganku pada angin dan debur ombak, pada burung dan air terjun, pada angin dan hujan, pada angin dan padang rumput, pada angin dan ketinggian, pada burung dan hutan, pada masanya 12 menit lainnya berlalu dengan khidmat.
Selama 23 menit itu juga kuraup sesuatu bernama oksigen itu sepenuhnya, sesuatu yang langka, yang akhirnya 100% merasuki nadiku. Aku hidup.
Terus saja kuberjalan, tanpa tahu arah. Kutemukan persimpangan antara jalan aspal dan jalan tanah basah. Aku memilih tanah basah. Aku hanya ingin melangkah dan berpijak, tanpa penilaian. Maka ketika harus terpeleset, aku jatuh. Sial, tanah itu licin. Maka ketika harus terjerembab, aku jatuh. Sial, tanah itu becek. Aku tidak kuat, ya, tidak sekokoh ketika kuberjalan di tanah beraspal. Tapi paling tidak, waktuku yang kira-kira 7 menit di tanah basah itu menenangkanku dengan mempersilakanku goyah namun bisa kembali berdiri di atas kakiku sendiri. Bukan di atas aspal yang keras, bukan di atas topangan apapun, tapi di atasku. Hadiahnya adalah sebuah kursi dari batang pohon karya manusia lain. Sampai juga aku di kursi itu.
Kulihat juga sehelai daun jatuh. Perlahan, seperti ditimang, lalu mendarat. Aku terhipnotis dan baru tersadar ketika seekor kumbang melintas. Apa rasanya mati? Daun yang jatuh, akan mati, tanpa meninggalkan kebencian pada apapun. Tidak pada pohonnya, tidak juga pada angin. Akankah kumati tanpa benci? Bukankah aku akan membenci orang tuaku? Bukannya aku akan membenci lingkunganku? Inginnya kutepiskan pemikiran yang selalu berhasil kutepiskan dalam keramaian. Tapi sepi ini dengan menyebalkannya mendorong pemikiran itu menguasaiku. Lalu aku menangis. Aku ingin menjadi daun.
Rupanya karena tidak mau terbuai oleh keadaan diam, aku berjalan lagi, setelah 25 menit duduk di sana dengan air mata dan isak. Aku memang tidak suka diam, hingga aku jengah sendiri dengan kebisingan. Beruntung paling tidak dalam masa hidupku, ada waktu 60 menit yang kusisakan untuk hening.
Aku pencinta keramaian. Di mana ada keramaian, di situ ada aku. Di mana ada aku, di sana ada keramaian. Begitu akrabnya kami, hingga antara satu sama lain inginnya saling meniadakan. Dalam beberapa adegan kepalsuan dalam hidupku, entah apakah aku ingin sesekali dianggap hilang, atau memang keramaian yang menenggelamkanku. Gemerlap itu hilang, kilau itu sirna, terang itu pudar. Tiba-tiba aku bukan siapa-siapa.
Kembali pada masa hidup 96 menit terakhirku, aku menemukanku yang sempat hilang. Bukan dalam hiruk-pikuk. Namun dalam sepi. Aku memang bukan siapa-siapa, karena aku adalah aku.
5 menit kulangkahkan kakiku ke tempat favoritku dulu, tempat yang sudah lama tidak kusambangi, yang dulu pernah membuatku merasa sehidup ini, tempat yang kemudian kutinggalkan. Kuberanikan menuju ke sana, ke tampat yang terlupakan. Ke sebuah lapangan dengan 2 gawang, dengan pagar di sekelilingnya, dengan 2 ring basket, dengan 4 lampu sorotnya, dengan aspal berwarna hijau dan merah, serta bangku penontonnya. Di sini, dulu, semua meneriakkan namaku. Ini panggungku. Di sini, aku sempat jujur. Di sini, manusia lainnya juga jujur. Di sini aku pernah baik, dan manusia lain juga baik. Terdudukku di sini, dengan 36 menit sisa hidupku. Memutar perjalanan sejam terakhirku, memutar perjalanan duapuluhan tahunku.
Bicara tentang kematian, mungkin aku lebih baik mati di sini, tempat di mana aku merasa baik, dengan orang-orang yang pernah baik, di tempat terbaikku. Mungkin. Tapi sudah habiskah masa hidupku?
Ternyata hidupku tidak seburuk yang kukira.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar