Aku cinta sore hari. Aku cinta
hujan. Aku cinta lantai ini. Aku cinta kamu. Sempurna adalah, aku selalu bisa
menambahkan kalimat keempat dalam apapun situasi kalimatnya, pertama, kedua,
atau ketiga. Aku cinta sore hari, apalagi bersamamu. Aku cinta hujan, apalagi
bersamamu. Aku cinta lantai ini, apalagi bersamamu. Aku cinta hujan di sore
hari, bersamamu. Aku cinta sore hari di lantai ini, bersamamu. Kita pernah
bersama senyata pada kalimat-kalimat yang kutuliskan tadi. Hingga sore hari
ini, hujan di lantai di lantai ini. Sendiri.
Ragaku segera berlari ke depan
pintu teras di lantai ini, entah mencari apa. Kurasakan tetesan pertama yang
jatuh tanpa ada intervensi angin, sehingga jatuhnya terasa lembut di telapakku.
Kulemparkan pandanku pada sederetan gedung tinggi lainnya di sekitarku dan
mendapati awan mendung yang menutupi kemegahan gedung-gedung itu. Kutengadahkan
kepalaku dan melihat awan putih di atasku, menelurkan tetes demi tetes yang
tidak terlalu tampak. Kutundukkan kepalaku melihat sekitar di bawahku, sembari mengucapkan
syukur atas kemegahan, yang lebih dahsyat dari gedung sekitar, yang justru
hadir dengan menawarkan kelembutan bukan kekokohan. Mungkin memang seperti
itulah yang dikatakan mahadahsyat. Satu-satunya sifat Sang Pencipta. Rupanya Ia
menawarkan karyanya yang juga mahadahsyat, yang datang dengan kelembutan.
Cinta.
Lalu pikiranku segera melesat
melanglang buana, mencarimu. Dan dia mungkin terlalu jauh melanglang, maafkan
aku yang hampir melupakan kamu yang mungkin saja kehujanan kedinginan. Ah ya,
aku sepertinya memang orang yang lebih suka berandai-andai ketimbang menerima
kenyataan. Dimulai dari “andai kamu ada di sini saat ini”dan berlanjut ke
pengandaian lainnya. Kenyataan, kutahu, tidak semenjanjikan pengandaianku.
Pengandaianku menjanjikan kebahagiaan. Sementara kenyataan, apa yang ia
janjikan? Nelangsa. Adalah manusiawi atas apa yang kulakukan ketika aku
memiliki untuk sementara hidup dalam pengandaian. Aku bisa mereguk bahagia sebanyak-banyaknya,
tanpa mengorbankan satu apapun. Kecuali kenyataan itu sendiri. Saat itu, aku
hilang dari realita. Masuk, tenggelam, dan hilang, dalam kebahagiaan utopia
versiku. Bersamamu, selamamnya, memilikimu, bercinta, berkasih sayang, tinggal
satu rumah, hampir tidak terpikir masalah dan penghadang yang bisa menjegal
kebersamaan antara kita berdua. Tidak satupun, sebab ini adalah utopiaku.
Begitulah Sang Pemiliki Utopia, juga seenaknya menentukan apa yang boleh
terjadi pada setiap insannya.
Keadaan ini sama seperti hujan di
lantai 23. Hujan deras di luar sana, tapi tidak ada deru angin yang bahkan
terdengar dari dalam sini. Hanya terlihat putih dari kumpulah buih yang jatuh.
Tidak ada basah yang terasa, apalagi becek. Semua indah, saat hujan di lantai
23. Meski di luar badai sekalipun, kurasa aku akan tetap tenang, bersantai, dan
bahagia saja menyaksikan badai lebat itu. Itulah sebabnya, aku ingin bersamamu
sore hari ini di lantai ini. Kita, jauh dari apapun. Hanya kita berdua, dan
kita bahagia menyaksikan setiap kejadian yang datang menghadang tembok lantai
ini. Itulah sebabnya, pikiranku mencarimu, dengan alasan akan membawamu ke sini
dan menjanjikan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan, yang tidak dijanjikan
oleh kenyataan.
Di saat kenyataan memberiku tiga
pilihan dan belum memberikanmu pilihan, di utopiaku kita sudah saling memilih
dan meninggalkan opsi-opsi baik yang ada atau yang tidak ada, sebab kita sudah
saling mengada untuk kita. Utopiaku, sesederhana itu.
Bagaimana aku tidak ingin kabur saja
dari kenyataan? Siapa yang suka diuji? Aku benci semua ujian. Soal pilihan
ganda, soal menjodohkan, juga mungkin soal essay, belum terlalu siap
menjawabnya. Aku belum terlalu siap memilih. Hidup ini memang sialnya soal
memilih. Sejak pertanyaan awal, aku sudah memilih antara melanjutkan hidup atau
menghentikan hidup. Itu sebabnya, konsekuensi dari pilihanku membawaku pada
pertanyaan pilihan-pilihan berikutnya. Dan kali ini, kamu tidak mungkin hadir
sebagai pilihanku. Lalu apa yang akan kupilih? Lari sejenak ke utopiaku, tempat
di mana kamu dan setiap pilihan-pilihan yang tidak mungkin dipilih akan abadi
di sana.
Pertanyaan berikutnya adalah,
kapan waktunya aku pulang dari tempat menyenangkan ini? Kapan aku kembali ke
realita? Sama seperti anak kecil yang tidak mau pulang ketika berlibur ke desa
tempat nenek dan kakeknya. Sama seperti anak kecil yang merengek ingin tetap
ada di sini karena segala kesenangan yang bisa didapat. Sama seperti anak kecil
yang egois ingin semua keinginannya dipenuhi. Aku belum siap untuk kembali
menghadapi realita yang tidak menjanjikan kebahagiaan.
Sekarang ini, hujan mereda, tapi
petir yang berlaga. Sahut menyahut dari kejauhan. Menakuti setiap mahkluk yang
ada di bawah kuasa langit. Mengetuk yang tidak tergusir oleh hujan lebat yang
baru saja turun. Aku mendekat pada jendela. Ah, masih hujan, tapi memang angin
sudah tidak sekencang tadi, kabut putih juga sudah hilang dari gedung-gedung
tinggi itu, menampakkan kembali kejayaan mereka sebagai gedung yang akan selalu
mendapatkan pujian dari setiap mata yang memandangnya. Kabut putih yang hilang
juga memperlihatkan deretan bangunan kumuh yang ada di antara gedung-gedung
tadi. Deretan mobil pun tampak. Macet, pasca hujan lebat. Genangan air berwarna
coklat juga memanggil mataku untuk melihatnya. Banjir di daerah proyek gedung
yang sedang dibangun. Terlihat juga manusia ukuran kecil dari sini, yang mulai
berkeluaran entah untuk apa. Mungkin untuk memberiku pertanda bahwa sudah
saatnya keluar dari tempatku juga, dari utopiaku yang tidak terjangkau oleh
siapapun kecuali kamu.
Begitulah memang, tidak ada yang
indah dari kenyataan. Tidak ada juga yang dijanjikan oleh kenyataan. Hanya ada
harapan. Harapan mungkin wadah yang mampu menampung janji kehidupan dan
keindahan yang didambakan. Tidak ada harapan di utopiaku. Itulah sebabnya tidak
ada yang membuatku berjuang di utopiaku. Tetapi ada banyak pengharapan di
kenyataan yang harus kujalani. Ada banyak juga yang perlu kuperjuangkan di
sini. Pertanyaannya sekarang adalah, “memperjuangkanmu, mengharapkanmu,
mungkinkah?”
Belum selesai perenunganku
tentang kenyataan, hujan turun lagi. HAHAHAHA! Ke mana aku harus melangkah,
wahai pencipta surga dan dunia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar