Minggu, 09 Juni 2013

Hujan di lantai 23



Tidak banyak yang tahu tentang keberadaan lantai ini. Hanya yang beruntung saja yang mengetahui. Untungnya kamu termasuk satu orang yang kenal dekat dengan lantai ini. Hanya satu kali, tetapi bersamamu memang aneh, baik yang sering atau yang sesekali-sesekali, selalu berkesan buatku.

Aku cinta sore hari. Aku cinta hujan. Aku cinta lantai ini. Aku cinta kamu. Sempurna adalah, aku selalu bisa menambahkan kalimat keempat dalam apapun situasi kalimatnya, pertama, kedua, atau ketiga. Aku cinta sore hari, apalagi bersamamu. Aku cinta hujan, apalagi bersamamu. Aku cinta lantai ini, apalagi bersamamu. Aku cinta hujan di sore hari, bersamamu. Aku cinta sore hari di lantai ini, bersamamu. Kita pernah bersama senyata pada kalimat-kalimat yang kutuliskan tadi. Hingga sore hari ini, hujan di lantai di lantai ini. Sendiri.

Ragaku segera berlari ke depan pintu teras di lantai ini, entah mencari apa. Kurasakan tetesan pertama yang jatuh tanpa ada intervensi angin, sehingga jatuhnya terasa lembut di telapakku. Kulemparkan pandanku pada sederetan gedung tinggi lainnya di sekitarku dan mendapati awan mendung yang menutupi kemegahan gedung-gedung itu. Kutengadahkan kepalaku dan melihat awan putih di atasku, menelurkan tetes demi tetes yang tidak terlalu tampak. Kutundukkan kepalaku melihat  sekitar di bawahku, sembari mengucapkan syukur atas kemegahan, yang lebih dahsyat dari gedung sekitar, yang justru hadir dengan menawarkan kelembutan bukan kekokohan. Mungkin memang seperti itulah yang dikatakan mahadahsyat. Satu-satunya sifat Sang Pencipta. Rupanya Ia menawarkan karyanya yang juga mahadahsyat, yang datang dengan kelembutan. Cinta.

Lalu pikiranku segera melesat melanglang buana, mencarimu. Dan dia mungkin terlalu jauh melanglang, maafkan aku yang hampir melupakan kamu yang mungkin saja kehujanan kedinginan. Ah ya, aku sepertinya memang orang yang lebih suka berandai-andai ketimbang menerima kenyataan. Dimulai dari “andai kamu ada di sini saat ini”dan berlanjut ke pengandaian lainnya. Kenyataan, kutahu, tidak semenjanjikan pengandaianku. Pengandaianku menjanjikan kebahagiaan. Sementara kenyataan, apa yang ia janjikan? Nelangsa. Adalah manusiawi atas apa yang kulakukan ketika aku memiliki untuk sementara hidup dalam pengandaian. Aku bisa mereguk bahagia sebanyak-banyaknya, tanpa mengorbankan satu apapun. Kecuali kenyataan itu sendiri. Saat itu, aku hilang dari realita. Masuk, tenggelam, dan hilang, dalam kebahagiaan utopia versiku. Bersamamu, selamamnya, memilikimu, bercinta, berkasih sayang, tinggal satu rumah, hampir tidak terpikir masalah dan penghadang yang bisa menjegal kebersamaan antara kita berdua. Tidak satupun, sebab ini adalah utopiaku. Begitulah Sang Pemiliki Utopia, juga seenaknya menentukan apa yang boleh terjadi pada setiap insannya.

Keadaan ini sama seperti hujan di lantai 23. Hujan deras di luar sana, tapi tidak ada deru angin yang bahkan terdengar dari dalam sini. Hanya terlihat putih dari kumpulah buih yang jatuh. Tidak ada basah yang terasa, apalagi becek. Semua indah, saat hujan di lantai 23. Meski di luar badai sekalipun, kurasa aku akan tetap tenang, bersantai, dan bahagia saja menyaksikan badai lebat itu. Itulah sebabnya, aku ingin bersamamu sore hari ini di lantai ini. Kita, jauh dari apapun. Hanya kita berdua, dan kita bahagia menyaksikan setiap kejadian yang datang menghadang tembok lantai ini. Itulah sebabnya, pikiranku mencarimu, dengan alasan akan membawamu ke sini dan menjanjikan keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan, yang tidak dijanjikan oleh kenyataan. 

Di saat kenyataan memberiku tiga pilihan dan belum memberikanmu pilihan, di utopiaku kita sudah saling memilih dan meninggalkan opsi-opsi baik yang ada atau yang tidak ada, sebab kita sudah saling mengada untuk kita. Utopiaku, sesederhana itu.

Bagaimana aku tidak ingin kabur saja dari kenyataan? Siapa yang suka diuji? Aku benci semua ujian. Soal pilihan ganda, soal menjodohkan, juga mungkin soal essay, belum terlalu siap menjawabnya. Aku belum terlalu siap memilih. Hidup ini memang sialnya soal memilih. Sejak pertanyaan awal, aku sudah memilih antara melanjutkan hidup atau menghentikan hidup. Itu sebabnya, konsekuensi dari pilihanku membawaku pada pertanyaan pilihan-pilihan berikutnya. Dan kali ini, kamu tidak mungkin hadir sebagai pilihanku. Lalu apa yang akan kupilih? Lari sejenak ke utopiaku, tempat di mana kamu dan setiap pilihan-pilihan yang tidak mungkin dipilih akan abadi di sana.

Pertanyaan berikutnya adalah, kapan waktunya aku pulang dari tempat menyenangkan ini? Kapan aku kembali ke realita? Sama seperti anak kecil yang tidak mau pulang ketika berlibur ke desa tempat nenek dan kakeknya. Sama seperti anak kecil yang merengek ingin tetap ada di sini karena segala kesenangan yang bisa didapat. Sama seperti anak kecil yang egois ingin semua keinginannya dipenuhi. Aku belum siap untuk kembali menghadapi realita yang tidak menjanjikan kebahagiaan.

Sekarang ini, hujan mereda, tapi petir yang berlaga. Sahut menyahut dari kejauhan. Menakuti setiap mahkluk yang ada di bawah kuasa langit. Mengetuk yang tidak tergusir oleh hujan lebat yang baru saja turun. Aku mendekat pada jendela. Ah, masih hujan, tapi memang angin sudah tidak sekencang tadi, kabut putih juga sudah hilang dari gedung-gedung tinggi itu, menampakkan kembali kejayaan mereka sebagai gedung yang akan selalu mendapatkan pujian dari setiap mata yang memandangnya. Kabut putih yang hilang juga memperlihatkan deretan bangunan kumuh yang ada di antara gedung-gedung tadi. Deretan mobil pun tampak. Macet, pasca hujan lebat. Genangan air berwarna coklat juga memanggil mataku untuk melihatnya. Banjir di daerah proyek gedung yang sedang dibangun. Terlihat juga manusia ukuran kecil dari sini, yang mulai berkeluaran entah untuk apa. Mungkin untuk memberiku pertanda bahwa sudah saatnya keluar dari tempatku juga, dari utopiaku yang tidak terjangkau oleh siapapun kecuali kamu.

Begitulah memang, tidak ada yang indah dari kenyataan. Tidak ada juga yang dijanjikan oleh kenyataan. Hanya ada harapan. Harapan mungkin wadah yang mampu menampung janji kehidupan dan keindahan yang didambakan. Tidak ada harapan di utopiaku. Itulah sebabnya tidak ada yang membuatku berjuang di utopiaku. Tetapi ada banyak pengharapan di kenyataan yang harus kujalani. Ada banyak juga yang perlu kuperjuangkan di sini. Pertanyaannya sekarang adalah, “memperjuangkanmu, mengharapkanmu, mungkinkah?”

Belum selesai perenunganku tentang kenyataan, hujan turun lagi. HAHAHAHA! Ke mana aku harus melangkah, wahai pencipta surga dan dunia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar