Pernah ada
masanya, rahasia adalah jarak bagi kita. Sedekat apapun kita berdiri dan
berpeluk, ada satu ruang di aku dan di kamu yang menjadikan kita bukanlah
pijakan untuk kuat masing-masing, juga bukan sebuah pelabuhan bagi lelah
masing-masing.
Masa-masa
itu,senyum kita tidak selebar bentang sayap rajawali, kata-kata kita tidak
sejujur rasa sakit. Berbalut
canda, rahasia tetap menyimpan dirinya.
Apa-apa
yang terus tersimpan membuatnya perlahan tak tersentuh. Ya, kemudian, kita
menjauh.
Sampai lupa rasanya merindukan satu sama lain.
Pada masa
kejayaannya, rahasia berbahagia. Sangat berbahagia. Aku dengan rahasiaku, kamu
dengan rahasiamu. Jauh mundur ke tahun pertama kita, kita sepakat bahwa
berbahagia adalah urusan diri sendiri. Aku tidak bertanggung jawab atas
kebahagiaanmu, begitu juga kamu atasku. Kamu tidak perlu menjadi alasan
kebahagiaanku, sebagaimana aku yang bersikeras bahwa bahagia tidak memerlukan
alasan. Maka, pada masa kejayaannya, aku tahu kamu berbahagia dengan pilihanmu,
meski pada saat itu aku tidak benar-benar tahu apa saja yang menjadi opsimu.
Sama halnya, kamu tahu aku berbahagia dengan asumsi atas lika-liku yang
kujalani, meski saat itu kamu tidak benar-benar tahu putaran apa yang kulakukan.
Masa itu, rahasia mendewasakan kita.
Hingga tiba
kemudian, pilihan berliku kita bermuara pada satu malam. Bukan wajah dan raga
yang bersua, tak mengapa. Suara kita bertemu, bersamaan dengan hati yang saling
menyapa. Aku tidak pernah menyangka bahwa sebuah kata 'halo' bisa mengungkap
kisah 36 bulan dalam 4 jam.
*
Pernah ada
masanya, rahasia adalah jembatan bagi kita. Jembatan bagi dua jiwa yang
ternyata saling merindukan. Jembatan bagi deras air mata keharuan serta henyak
nafas tak percaya. Kita menyeberanginya malam itu. Menyeberangi rindu yang
dalam, bersama melewati deras air mata yang hamper menghanyutkan, dan selama
mungkin tetap menahan nafas demi terus hidup.
Pukul satu
dini hari. Barangkali rahasia lebih senang keluar di kegelapan, sekalipun yang
menjadi rahasia adalah salah satu yang menerangi kehidupan. Ruanganku tetap
lengang, membiarkan raunganku melenggang. Sebebas senyap malam itu, terungkap aku
yang disembunyikan dari kenyataan.
Di seberang
sana, keheningan bersepakat dengan jangkrik yang diam meski masih tersadar,
juga dengan angin yang datang mengendap-endap agar tidak mengganggu setiap
hembusan nafas. Sebagian dirinya yang dianggap tak layak menerobos telingaku
dengan tiba-tiba, sebagian dirinya yang jujur mengetuk hatiku dengan lembut.
*
Kita memang
tidak bisa merebut peran rahasia sebagai sahabat bagi masing-masing. Tetapi
mungkin, kita hanya butuh tempat. Semata-mata agar hati kita tidak lagi sesak.
Agar hati kita bisa terus menjadi ladang kebaikan dan kebahagiaan.
***
Ps. Rahasia
tetap menjadi rahasia. Tetap ada celah-celah yang kita tutupi, sebesar apapun
penerimaan satu sama lain. Bagaimanapun, manusia ini tampaknya masih saja takut
pada sesamanya. Barangkali karena belum paham benar kepada siapa seharusnya
manusia takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar