“Ke mana kita hari ini?” adalah sebuah
tanya yang akan membawa kita pergi, entah melangkahkan kaki berkelana atau
sekadar membuat pikiran melanglang bertualang. Empat hari yang lalu, pertanyaan
itu mendorong saya untuk pergi sangat jauh, melampaui batas langit.
Pagi itu saya
keluar rumah dengan membawa dua tas, satu tas ransel diisi dengan air minum
satu liter, roti, dompet, telepon genggam, dan alat-alat kecantikan (baca:
bedak biar ga tampak kucel, deodoran dan semprotan pewangi tubuh biar ga
menyiksa orang), dan satu lagi tas jinjing imajiner diisi dengan kekosongan. Setiap
kali saya bepergian, saya seringkali merasa perlu membawa dua sisi yang pada
diri saya itu. Satu sisi cukup persiapan sesuai rencana, berjaga-jaga
kalau-kalau di perjalanan saya butuh mengandalkan diri saya dengan apa yang
saya punya. Sementara satu lagi, sisi yang cukup legowo, kalau-kalau di jalan,
yang saya butuhkan ternyata bukan apa yang saya punya melainkan apa yang saya
tidak punya.
Tukang ojek yang ramah, senyum
sahabat yang cerah, dan kereta pagi yang parah, adalah tiga hal pertama yang
menyambut saya dengan sukacitanya. Tentang tukang ojek dan sahabat, tidak perlu
kita bahas panjang lebar di sini ya, lagipula, adalah hal yang mudah untuk
merasakan kebaikan dari hal yang memang sudah tampak baik, bukan begitu?
Nah, tentang
kereta pagi yang parah dan sukacitanya. Bagaimana agar bisa melihat kebaikan
dari setiap keganasan dan kebrutalan yang terjadi di depan mata? (saya
berlebihan kok ini, maklum, bawaan nyeri pinggang pasca berdesakan di dalam
gerbong!) Hari itu, sebelum saya tiba pada batas langit, terlebih dahulu saya
mesti berhasil melewati ujian hidup di kereta pagi. Mirip-mirip perjalanan
Buddha, ada hal-hal keduniawian yang perlu saya tapiskan dan teguhkan untuk
kedamaian yang lebih tinggi. Maka kemudian di dalam pikiran, gerbong kereta
wanita di kereta pagi berubah menjadi arena pertarungan kungfu. Sejujurnya,
saya tidak punya dasar teknik kungfu, kalaupun ada teknik dasar, ada ajaran karate
waktu SD yang terpendam di memori-memori bawah sadar. Saya hanya suka membaca
cerita-cerita kungfu, membuat saya punya gambaran tentang bagaimana kungfu dan
kebijaksanaan-kebijaksanaannya, paling tidak itu yang masih menggantung di alam
sadar saya. Jadi saya coba untuk menjadi air, belajar mempraktikkan
kebijaksanaan air tentang kontrol dan batas diri: untuk tidak memaksakan diri
bertahan (khawatir nanti malah menyakiti diri) dan tidak juga menyusahkan orang
lain (tidak sepenuhnya bertahan pada diri bukan berarti bersandar seenaknya
pada orang lain). Saya bisa menyatakan diri lulus dengan predikat “cukup
memuaskan” dari sebuah babak kereta-pagi-dari-Bogor-menuju-Jakarta-di-gerbong-wanita.
Saya keluar di Stasiun Sudirman tanpa ada luka luar, sedikit nyeri di titik
pinggang dan lutut (oh tidak!), dan tanpa sakit hati yang banyak (meski masih
ada beberapa pertanyaan tentang perilaku berkereta manusia).
Stasiun Sudirman yang selalu
sibuk, menyapa manusia-manusia yang menggantungkan kakinya di sana. Barisan
para pekerja itu saya lewati, bukan hanya karena berbeda jalur antrian,
melainkan karena saya tidak sedang menjadi pekerja hari itu. Hari itu saya
adalah penonton.
Keluar dari lorong stasiun, kami memilih
untuk menggunakan bus Kopaja saja, daripada bus TransJakarta. Langsung duduk di
jok Kopaja yang berhenti sembarang di tepi jalan dan tidak mesti berjalan kaki
lagi menuju halte adalah pilihan terbaik setelah berjuang di dalam kereta. Pembenaran.
Dalam perjalanan, masuk seorang
pria tua berusia sekitar 50-an dengan penampilan tunawisma, berkemeja hitam
lusuh, berambut ikal putih. Tidak ada kata sambutan seperti penampil lain, yang
meminta izin dan meminta rezeki. Beliau memulai pertunjukan dengan menepuk-nepukkan
tangannya, membuat tempo sekaligus intro. Lalu meluncurlah nada demi nada Sweet
Child O' Mine ciptaan Guns N Roses. Suara tinggi, pejaman mata, dan tepukan
dari tangannya. Indah. “Siapa orang ini?” Begitu magisnya, caranya menjaga
eksistensinya. Saya masukkan pria tua itu ke dalam tas kosong. Pria tua itu
adalah hal pertama yang saya bawa pulang. Untuk nanti saya ingat-ingat bahwa
menjadi adil mulai dari pikiran sungguh memanusiakan yang lain. Tidak mudah
memang, namun bisa dimulai dengan paling tidak meyakini bahwa setiap orang
punya cerita, kemudian membiarkan waktu beberapa saat, memberikan kesempatan,
dan menjawab pertanyaan.
Tibalah kami di Gelora Bung
Karno, tempat Soekarno dulu mengajak kita semua membentuk MANUSIA BARU
INDONESIA. Kini, Asian Para Games 2018 diselenggarakan di tempat ini, menghadirkan
surga di atas bumi, di mana segalanya boleh terjadi bagi siapapun; menunjukkan
sebuah miniatur kota baru yang menandakan masyarakat kita siap inklusif, setiap
orang siap mempersilakan orang lain melihat dunia yang sama dari mata yang
berbeda.
Apa saja yang bisa didapat dengan
100 ribu rupiah harga tiket terusan? Keriuhan di setiap lokasi pertandingannya
dan di dalam kepala saya. Riuh yang tadinya jauh perlahan-lahan mendekat,
sampai-sampai saya tenggelam bersamanya.
Stadion GBK adalah lokasi pertama
yang kami injak. Cabang olahraga atletik, lari 400m. Atletnya buta. Dari jauh
sudah saya lihat tiga pasang peserta, atlet dan pendampingnya, bersiap-siap di
setiap lajur. Ada yang berlatih dua tiga langkah lari, ada yang meregangkan
tangan dan kakinya. Sebentar lagi pertandingan dimulai, keenam peserta bersiap
di lajur. Pertandingan dimulai. Berlari, berpasangan, dengan tangan terikat,
mengitari lapangan hijau. Barangkali dari ikatan pada tangan ke tangan itu, mereka
melakukan sinkronisasi, bersama-sama dan saling berbagi data tentang langkah,
ritme, dan laju yang mesti dipacu, dengan sangat cepat. Kalau pernah
menyaksikan masquerade di televisi, secanggih itulah yang ditunjukkan oleh
setiap peserta. Diri dan bayangan, sama persis, tidak ada cela sedikitpun. Lari
dengan kecepatan yang dipercepat, gerak tangan dan langkah kaki yang serima,
belok ke kiri dengan tepat di setiap tikungannya. Hingga 400m terlibas dan tiba
di garis akhir, dengan catatan waktu di bawah satu menit. Diri dan bayangan
saling berpelukan, ada juga yang menepuk-nepukkan tangan di pundak. “Kita
menuntaskan ini dengan baik, kawan.” Hangat mengaliri sekujur tubuh menyaksikan
mereka berlari. Jelas mereka mampu berlari sendiri, lebih jelas lagi, akan ada
saja orang-orang yang tidak akan membiarkan mereka berlari sendiri dan
menemani.
Setelah ikut merasakan satu
kemenangan dari stadion, kami sedikit berlari membawa semangat itu berpindah ke
lapangan voli duduk, di mana tim Indonesia akan bertanding melawan Jepang
memperebutkan medali perunggu. Kami menuju bangku penonton bersamaan dengan
persiapan atlet memasuki lapangan. Setelahnya kami masih sempat berdiri bersama
menyanyikan Indonesia Raya dan menghormati Kimigayo. Masih lekat di ingatan
bagaimana rasa haru dan bangga yang saya rasakan menyatu bahkan sejak awal
melihat para atlet di depan mata. Para atlet berdiri gagah baik dengan satu
kaki atau berdiri ditopang penyangga kaki dan kaki palsu. Selesai lagu nasional
masing-masing diperdengarkan, pertanda pertandingan akan dimulai. Atlet
memasuki lapangan dengan lincah. Beberapa dengan langkah pincang, yang lain
meloncat dengan satu kakinya, dan ada juga yang berjalan menggunakan pantat dan
tangannya. Pertandingan berjalan dengan sangat menarik, banyak warna yang saya
lihat. Pukulan-pukulan yang dahsyat, penempatan bola-bola yang cerdik,
pertahanan yang ketat, dan yang paling menarik menurut saya adalah kelincahan
para atlet bermobilisasi di dalam lapangan. Dalam posisi duduk mereka mendorong
dan mengupayakan diri agar bisa berada pada posisi yang tepat untuk menangkap
bola.
Adegan lain yang juga saya simpan
adalah ketika pergantian lapangan, setelah selesai satu babak. Perpindahan dari
dalam lapangan keluar dilakukan juga dengan cekatan. Beberapa langsung
mengangkat tubuhnya berdiri dan melesat menuju pinggir lapangan, beberapa
memilih menyeret dan mengayunkan tangan sebagai kaki, dan dua di antaranya
memilih kawan setimnya sebagai kawan jalannya. Sambil saling merangkul pundak,
mereka berdua bergantian melangkah, menjadi kaki bagi satu sama lain. Di antara
ringan langkahnya, ada juga senyum yang saling dilemparkan di tengah raut wajah
serius yang mengevaluasi performa pada babak sebelumnya. Pada akhirnya,
Indonesia kalah atas Jepang, namun saya tidak kecewa. Hal ini lebih dipengaruhi
oleh kekosongan yang saya tenteng, daripada rasa nasionalisme yang kurang atau
kurangnya empati terhadap perjuangan atlet kita. Mereka telah menunjukkan
kepada kepala saya yang keras ini. Entah berapa kali mereka mengalami kekalahan
dalam hidupnya, dan berkali-kali itu juga mereka menangis untuk kembali
menciptakan makna.
Sambil mengantongi kekalahan,
sepaket dengan penghargaan terhadap upaya dan perjuangan para atlet, kami
keluar dari arena pertandingan voli dengan rasa bangga. Senyum, kekaguman, dan
cerita mengalir di antara kami. Entah ada cerita apalagi di lokasi berikutnya.
Istora Senayan.
Setelah mengisi perut di bawah
pepohonan rindang di atas tanah tandus kekeringan, kami menuju lokasi
pertandingan bulutangkis. Olahraga kebanggaan masyarakat Indonesia. Olahraga
yang dulu sempat singgah menjadi mimpi saya. Masuk ke dalam Istora, sebagian
besar bangku penonton sudah penuh, kami harus mencari-cari sisa bangku. Siang
itu, Indonesia mengirimkan banyak perwakilannya di beberapa nomor. Hal ini yang
menambah riuh suasana di bangku penonton. Seorang pendukung meneriakkan nama
Indonesia dan segera disambut oleh tepukan balon-balon. Dari tempat kami duduk,
saya bisa menyaksikan lima pertandingan sekaligus di setiap lapangan
bulutangkis. Dua lapangan dikhususkan bagi atlet berkursi roda, tiga lapangan
lain diisi dengan atlet yang mengalami cacat di tangan atau di kaki.
Pemandangan itu segera menawan saya. Bola mata berlarian acak melihat
pertandingan di mana-mana, berloncatan dari satu lapangan ke lapangan lain.
Setiap ada kok yang mati, otomatis mata mencari lapangan yang bolanya masih
hidup dan bergulir. Tidak fokus memang dan beberapa kali saya merasakan lelah
menontonnya.
Di saat lelah itulah, saya
menemukan oase. Sebuah pemandangan yang hangat dan bersahabat dari area khusus penyandang
disabilitas yang membutuhkan pendampingan. Di sana ada mereka, siswa SDLB
dengan beragam cacat yang menghidupinya. Saya ikut terlarut melepas lelah
ketika mata terarah pada seorang anak yang mengantuk di kursi rodanya,
menempelkan kepalanya pada sandaran dan memejamkan mata. Di deretan
belakangnya, dua orang anak buta asyik bercengkrama. Untuk bisa mendengar apa
yang disampaikan, seorang anak perlu memiringkan kepalanya, lalu dia tertawa.
Beberapa saat kemudian, terdengar sorakan nama Indonesia, membuat percakapan
mereka terhenti. Anak perempuan itu diam sejenak, mendengarkan. Tidak lama
kemudian, ia menepukkan tangannya mengikuti irama tepukan balon-balon di
sekitarnya, dan mulutnya meneriakkan INDONESIA, sambil tertawa kecil. Ah,
lihatlah anak-anakmu, Ibu Pertiwi. Di belakangnya lagi, ada siswa dengan hydrocephalus.
Seorang anak laki-laki yang lebih sering diam dan mengamati dengan tatap muka
datar. Raut muka yang tiba-tiba menjadi berseri ketika seorang atlet tunggal
putra Indonesia yang berhasil memenangi pertandingan melemparkan bungkusan baju
ke arah bangku penonton siswa-siswa itu. Dia ikut berdiri menyambut
kemungkinan, dan tetap tersenyum selebar tiga jari sekalipun baju tersebut
tidak ia dapatkan. Ya, mereka pantas mendapatkan apresiasi juga dari para
atlet, yang saling mendapatkan dukungan dari kehadiran dan energi mereka. Saya
beruntung, bisa merasakan jalinan energi dan kebaikan dari dalam Istora.
Meninggalkan gegap gempita dan
sorak-sorainya, kami beralih ke lapangan yang jauh dari keramaian, mengumpulkan
cap lain di tangan dari olahraga lawn
balls. Olahraga yang baru buat saya ini mengajarkan lagi bagaimana menjadi
penonton yang beretika, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung.
Olahraga yang membutuhkan konsentrasi dan kecermatan tidak boleh diusik oleh
suara yang terlalu berisik. Ketenangan itu membuai saya, apalagi hari mulai
sore dan semilir angin mulai kencang. Saya mengantuk! Sampai tiba satu teman
baik saya, psikolog timnas lawn ball
Indonesia. Darinya, saya tahu tentang lawn
balls, tentang peran psikolog dalam mendampingi kesiapan dan ketidaksiapan
atlet, dibagikan cerita perjuangan beberapa atletnya, dan menangkap keseruan
yang ia rasakan selama tinggal di wisma atlet. Merinding mendengarnya. Dia
bilang, “Ini tempatnya psikolog pendidikan.” Bersamaan dengan itu, di bangku
penonton deretan depan tampak sepasang muda-mudi saling berbagi cerita dengan
bahasa isyarat, di bangku penonton sederet dengan saya seorang pria buta
didampingi tiga orang muda bercakap-cakap, di sisi tribun yang lebih jauh
tampak seorang artis ibu kota bertepuk tangan. Sementara di lapangan lawn balls, empat orang atlet berembuk
menentukan skor pada putaran tersebut, yang dua berbadan kerdil, yang satu
sedikit pincang, satu lagi bertangan satu. Saya mengangguk membenarkan, sambil
dalam hati menyambungnya, “Ini tempat buat kita semua.”
Layar lebar di hadapan saya
menunjukkan keadaan langit di atas kawasan GBK, sudah mulai berwarna gelap
dengan matahari merah jingganya semakin matang. Setelah berpamitan, kami
melanjutkan petualangan yang penuh kejutan. Pemberhentian berikutnya adalah arena
akuatik. Menjelang senja di arena renang
adalah waktu final untuk beberapa nomor. Kami datang lebih lambat, kursi
penonton sudah penuh semua. Sisanya adalah di sisi jauh, di situlah kami
berdiri. Awalnya perlu berjinjit agar bisa lebih puas menyaksikan para atlet
memulai dorongan pertama. Sudah berjinjitpun, tetap saya tidak bisa melihat
secara langsung siapa yang lebih dulu tiba di garis akhir karena terhalang
tembok. Saya terpaksa menonton dari layar lebar. Seperti di rumah. Tidak. Tidak
seperti di rumah. Saya bersama puluhan pendukung lain yang datang menyaksikan
perjuangan para atlet secara langsung. Atlet yang berenang tanpa kaki, sangat
mengandalkan kekuatan tangan dan otot tubuh bagian atas, membuat siapapun yang
melihatnya otomatis menggerakkan otot bagian pergelangan dan telapak tangannya
untuk membuat gerak tepukan. Berkali-kali. Mulai dari awal dorongan awal, hingga
sentuhan tangan di garis akhir. Berlaku bagi seluruh atlet yang menyelesaikan
pertandingan, yang tercepat maupun yang terakhir. Tenggorokan saya seperti
kering, ada rasa yang tertahan, sekalipun air mata di hati saya menderas. Seperti
tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Momen mengharukan. Ada kalanya, ketika
tidak ada menang dan kalah pada setiap perjalanan, yang ada hanya setiap jiwa
akan tiba pada waktunya. Para atlet telah menunjukkan bahwa kita menyelesaikan
apa sudah kita mulai, menggenapi kesempatan yang dijanjikan. Para pendukung telah
menunjukkan bahwa kita merayakan apa yang kita hidupi.
Setelah beberapa atlet dipanggil
ke podium untuk penyerahan medali, kami beranjak dari area akuatik,
meninggalkan perayaan yang membahagiakan. Malam sudah sempurna, begitu juga
dengan anginnya. Masih ada apa lagi di sini? Satu lagi harta karun datang dari
olahraga kursi roda bola basket.
Di hall basket, kami bisa duduk
di deretan yang dekat dengan para atlet, berjarak sekitar 6 meter, tinggal
berjalan sedikit untuk menepuk pundak si atlet lalu berkata “you go, girl!” Sambil duduk manis, saya
menyaksikan pertandingan berlanjut pada quarter
ketiga. Alot sekali, beberapa kali kursi roda beradu. Dua dari sekian kali itu
membuahkan hasil salah satu atlet terjerembap, dengan posisi masih duduk di
kursi roda. Pemandangan yang menyakitkan buat saya, mungkin juga buat pada
atlet itu. Tanpa memandang lawan atau kawan, atlet yang ada di dekatnya segera
mendekati dan membantunya. Dengan bantuan tersebut, si atlet juga perlu
memelantingkan tubuhnya ke belakang agar mendapat daya dorong yang cukup untuk
bisa tegak kembali. Setelah itu, seperti melupakan peristiwa jatuh, mereka
berlarian lagi, memutar roda-rodanya, meluncur dengan cepatnya dari satu sisi
ke sisi lapangan lain, membangun serangan. Mereka ini tidak ada matinya, mengalirkan
bola, merebut bola, melakukan pelanggaran, membuang bola sia-sia, dinamika yang
disaksikan pada setiap olahraga. Saya selalu mengagumi dan menaruh hormat pada
atlet sebab mereka memiliki jiwa yang tidak biasa. Hingga sirine panjang
menjadi tanda selesainya pertandingan di quarter keempat.
Malam semakin panjang, seperti
menolak sejenak untuk besok, namun rumah menunggu pulangnya kita. Dengan
kondisi tubuh yang lelah, kami memutuskan pamit dari kawasan GBK. Persediaan
air dan roti habis sudah, tas ransel saya ringan sekarang. Sementara tas kosong
imajiner saya, penuh. Banyak yang terekam dan masuk ke dalamnya diam-diam. Keseluruhan
hari ini seperti satu hal yang perlu masuk ke dalam daftar “101 hal yang
dilakukan sebelum mati: menonton pertandingan atlet yang cacat fisik”, dengan
catatan tambahan dari saya, “nikmati segala aspeknya, biarkan mereka menarikmu,
membawamu larut, menerbangkanmu ke langit, dan memulangkanmu pada yang sejati.”