Senin, 11 Juni 2012

Tentang menjadi terang dalam 4 hari (1)




Kisah ini adalah perjalanan mereka masing-masing. 4 orang. Kesemuanya wanita. Kesemuanya muda. Tapi tidak kesemuanya bahagia. Mereka tidak saling mengenal, dan memang tidak perlu untuk saling mengenal. Hanya saja kosmos yang berbicara melalui keajaiban paralelnya menjadikan mereka mengenal satu sama lain, bahkan mendalaminya.

*

Hari pertama. Orang pertama.

Anak itu menahannya untuk pergi. Tidak, dia yang tertahan. Di suatu sore yang mendung dan semakin gelap, ketika dia meneguhkan hati untuk menemui yang dikasihinya di tempat lain, dia memilih untuk menemani anak kecil itu. Barang sebentar saja.

Anak kecil yang dengan paras ayu di depannya itu menatapnya dalam linangan air mata yang tertahan. Senyumnya dan gelak tawa dirasanya mampu menyembunyikan kepiluan yang dirasakan. Pilu. Kata yang tidak wajar dikenal oleh anak seusianya. Bahkan dia pun, kurasa belum pernah paham arti kepiluan. Mungkin karena itu juga, karena rasa ingin tahu yang tinggi dan juga kepolosan di usianya yang kepala dua, ia merelakan waktunya untuk anak itu.

Hari ini tanggal delapan. Setiap bulannya tanggal delapan, anak itu berdiam diri. Dan setiap tahunnya di tanggal delapan bulan itu, anak itu terisak di balik bantalnya. Hari ini, tepatnya, tanggal delapan bulan itu. Ada sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan istilah kejadian yang memilukan, perginya seorang sahabat. Perempuan itu tidak pernah tahu bagaimana rasanya ditinggal seorang sahabat. Ya, selama ini dia punya beberapa sahabat, yang belum pernah harus pergi darinya. Maka sepanjang umurnya memasuki kepala dua, persahabatan adalah satu kata yang membahagiakan. Namun tidak dengan anak itu. Tepatnya dua tahun ia ditinggal. Dua tahun merasakan berjuta rasa, ada kehilangan,. Dua tahun juga berjalan dengan pengobatan yang belum berujung pada sembuh dan penguatan yang melemahkan. Sungguh dua tahun yang memilukan.

Yang selama ini dialami oleh anak itu sungguh tidak pernah ada di dalam benak perempuan itu. Memori lucu dan momen gila-gilaan yang dijalani bersama yang beberapa sempat tersimpan di dalam pas foto dari photobox dan ada juga beberapa di facebook, kini tidak lagi menjadi lucu. Senyum cerianya menggetirkan hati. Gigi putihnya mengelabukan jiwa. Mata bulatnya membutakan asa. Tidak ada lagi sosok R, anak laki-laki. tidak ada lagi. Kecelakaan itu merenggutnya. Merenggut juga hati orang tuanya, dan sahabat-sahabatnya, salah satunya anak itu. Kalau boleh mempersalahkan waktu, mungkin iya, itu adalah salahnya, tidak ada waktu. Kalau boleh mempersalahkan kebijakan alam raya, mungkin iya, itu adalah salanya, tidak ada kesempatan. Kalau boleh mempersalahkan dirinya, mungkin iya, itu adalah salahnya, kurang hati-hati dalam berkendara. Perempuan itu tidak pernah tahu yang namanya firasat, tidak seperti ibu laki-laki itu. Persis setelahnya melarang anak satu-satunya keluar rumah, anak itu meninggal di tempat setelah diserempet oleh truk di pinggir jalan.

Setelahnya, bayang-bayang akan masa lalu mengelilingi anak perempuan itu. Terlalu sakit. Mulai dari foto bersama anak laki-laki itu sampai dengan jaket kesayangannya ada di tangan anak perempuan itu. Mengingatnya membuat sakit, tidak mengingatnya pun menyakitkan. Ah, apakah sebenarnya perasaan itu? Apakah sebenarnya hati itu? Mengapa bisa sedemikian dahsyatnya kekuatan hati? Dan sedahsyat itu pula kah kelemahan hati, jika terluka dan tersakiti? Tidak ada yang bisa mengobati hati selain regenerasi dari hati itu sendiri. Dan mengumpulkan bayang tentang masa lalu mungkin bisa jadi obat, tapi bisa juga menjadi racun yang mematikan. Entahlah, lagi-lagi bukan kewenangan perempuan itu untuk mengadili. Ia juga belum pernah tahu rasanya pedih.

Sudah cukup tentang masa lalunya. Toh membahas yang sekarang pun tidak akan luput dari masa lalu. Jadi biar kulanjutkan cerita tentang tanggal delapan bulan itu.

Dengan tertahan, di balik bantal, ia menceritakan kembali kisah memilukan itu pada sosok perempuan yang ia temui di sampingnya. Kadang menangis, kadang tertawa, kadang jujur, kadang pula menyembunyikan. Perempuan itu membiarkannya mengalir, baik kata-kata dan juga air mata, sambil sesekali memegang erat tangan anak itu. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dari mulut kecil itu, apakah untuk bertanya atau memang mempertanyakan, perempuan itu tidak berani menebak, juga tidak berani menjawab. Hanya diam. Diam yang dibenci oleh anak perempuan itu karena sudah terlalu lama ia bersembunyi dalam diam. Ia tidak ingin lagi berkawan dengan diam. Namun siapalah anak perempuan itu dibandingkan dengan kesunyian yang lebih mengetahui kepedihan yang dirasa? Maka seperti persahabatnnya dengan sosok laki-laki yang disayanginya, pertemanan dengan diam juga tak dapat dielakkan. Dan ia semakin menangis. Juga perempuan itu.

Menunggu redanya air mata si anak perempuan berarti menunggu datangnya hujan yang sepertinya akan sangat lebat. Sedan anak itu mulai melambat sementara angin di luar mulai bergemuruh. Dan dua kejadian paralel itu membuat perempuan polos itu bertanya-tanya, mana badai yang lebih mengerikan, di dalam atau di luar?

Setelah hampir benar-benar berhenti, anak perempuan itu mengatakan pada perempuan yang lebih tua darinya bahwa yang lebih menyakitkan ternyata bukan saat kehilangannya, melainkan saat kita tidak diberi kesempatan untuk menikmati kehilangan itu. Apa rupanya dasar anak itu mengatakannya? Selidik punya selidik setelah si perempuan menanyakannya, adalah karena anak itu tidak diberi kesempatan untuk menyembuhkan hatinya. Setiap kali ingin menangis, ada saja yang menentangnya dengan keras. Setiap kali ingin berduka, ada saja yang mengomentari dengan sinis. Selama ini, baik menangis dan berduka ia lakukan dalam diam. Ini rupanya yang membuatnya benci akan diam. Teman setianya.

Dan untuk beberapa lamanya ke depan, perempuan polos itu menggerakkan tangan yang tergerakkan oleh hatinya untuk merengkuh anak itu ke dalam dekapannya. Syahdu sekali pemandangan itu. Saking khidmatnya terasa sampai di bumi bahwa penjaga-penjaga langit berhenti melakukan aktivitasnya demi untuk menonton peristiwa itu. Tidak ada angin yang berhembus semilir kecuali nafas memburu dari perempuan yang terlalu terguncang dengan kisah anak itu. Tidak ada bau-bauan lain selain dari bau dari rambut anak perempuan yang tersibak. Tidak ada suara bahkan sedenting jarum yang jatuh kecuali suara bisik aku ada di sini untukmu dari perempuan kepada anak perempuan itu. Peristiwa menyatunya dua hati. Hati. Hati… untuk pertama kalinya perempuan itu paham apa itu hati. Penerang.

Dan pertama kali juga untuk anak itu terobati hatinya. Ada sosok teman baru dalam persahabatan dengan diamnya. Teman baru yang mempersilakannya untuk berteriak dan meraung, untuk merasa kehilangan dan duka, untuk melepaskan segala isak, untuk mengamukkan badai di dalamnya keluar, untuk merobek sekalian lubang-lubang kecil di hatinya, untuk sengaja benar meneteskan air garam di atas lukanya. Seiring dengan amukan yang keluar dari mulut kecil seorang anak berhati seluas samudera, tetesan di luar jatuh. rupanya penjaga langit mulai tersadar harus melakukan tugasnya. toh manusianya sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. maka mereka membawa pergi serpihan-serpihan luka hati yang berhasil dikorek, jauh, sejauh mungkin. 

*

hari dan tokoh berikutnya bersambung :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar