Kisah ini adalah perjalanan
mereka masing-masing. 4 orang. Kesemuanya wanita. Kesemuanya muda. Tapi tidak
kesemuanya bahagia. Mereka tidak saling mengenal, dan memang tidak perlu untuk
saling mengenal. Hanya saja kosmos yang berbicara melalui keajaiban paralelnya
menjadikan mereka mengenal satu sama lain, bahkan mendalaminya.
*
Hari pertama. Orang pertama.
Anak itu menahannya untuk pergi. Tidak,
dia yang tertahan. Di suatu sore yang mendung dan semakin gelap, ketika dia
meneguhkan hati untuk menemui yang dikasihinya di tempat lain, dia memilih
untuk menemani anak kecil itu. Barang sebentar saja.
Anak kecil yang dengan paras ayu
di depannya itu menatapnya dalam linangan air mata yang tertahan. Senyumnya dan
gelak tawa dirasanya mampu menyembunyikan kepiluan yang dirasakan. Pilu. Kata yang
tidak wajar dikenal oleh anak seusianya. Bahkan dia pun, kurasa belum pernah
paham arti kepiluan. Mungkin karena itu juga, karena rasa ingin tahu yang
tinggi dan juga kepolosan di usianya yang kepala dua, ia merelakan waktunya
untuk anak itu.
Hari ini tanggal delapan. Setiap
bulannya tanggal delapan, anak itu berdiam diri. Dan setiap tahunnya di tanggal
delapan bulan itu, anak itu terisak di balik bantalnya. Hari ini, tepatnya, tanggal
delapan bulan itu. Ada sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan istilah
kejadian yang memilukan, perginya seorang sahabat. Perempuan itu tidak pernah
tahu bagaimana rasanya ditinggal seorang sahabat. Ya, selama ini dia punya
beberapa sahabat, yang belum pernah harus pergi darinya. Maka sepanjang umurnya
memasuki kepala dua, persahabatan adalah satu kata yang membahagiakan. Namun tidak
dengan anak itu. Tepatnya dua tahun ia ditinggal. Dua tahun merasakan berjuta
rasa, ada kehilangan,. Dua tahun juga berjalan dengan pengobatan yang belum berujung
pada sembuh dan penguatan yang melemahkan. Sungguh dua tahun yang memilukan.
Yang selama ini dialami oleh anak
itu sungguh tidak pernah ada di dalam benak perempuan itu. Memori lucu dan
momen gila-gilaan yang dijalani bersama yang beberapa sempat tersimpan di dalam
pas foto dari photobox dan ada juga beberapa di facebook, kini tidak lagi
menjadi lucu. Senyum cerianya menggetirkan hati. Gigi putihnya mengelabukan
jiwa. Mata bulatnya membutakan asa. Tidak ada lagi sosok R, anak laki-laki. tidak ada lagi. Kecelakaan
itu merenggutnya. Merenggut juga hati orang tuanya, dan sahabat-sahabatnya,
salah satunya anak itu. Kalau boleh mempersalahkan waktu, mungkin iya, itu
adalah salahnya, tidak ada waktu. Kalau boleh mempersalahkan kebijakan alam
raya, mungkin iya, itu adalah salanya, tidak ada kesempatan. Kalau boleh
mempersalahkan dirinya, mungkin iya, itu adalah salahnya, kurang hati-hati
dalam berkendara. Perempuan itu tidak pernah tahu yang namanya firasat, tidak
seperti ibu laki-laki itu. Persis setelahnya melarang anak satu-satunya keluar
rumah, anak itu meninggal di tempat setelah diserempet oleh truk di pinggir jalan.
Setelahnya, bayang-bayang akan
masa lalu mengelilingi anak perempuan itu. Terlalu sakit. Mulai dari foto
bersama anak laki-laki itu sampai dengan jaket kesayangannya ada di tangan anak
perempuan itu. Mengingatnya membuat sakit, tidak mengingatnya pun menyakitkan. Ah,
apakah sebenarnya perasaan itu? Apakah sebenarnya hati itu? Mengapa bisa
sedemikian dahsyatnya kekuatan hati? Dan sedahsyat itu pula kah kelemahan hati,
jika terluka dan tersakiti? Tidak ada yang bisa mengobati hati selain
regenerasi dari hati itu sendiri. Dan mengumpulkan bayang tentang masa lalu
mungkin bisa jadi obat, tapi bisa juga menjadi racun yang mematikan. Entahlah,
lagi-lagi bukan kewenangan perempuan itu untuk mengadili. Ia juga belum pernah
tahu rasanya pedih.
Sudah cukup tentang masa lalunya.
Toh membahas yang sekarang pun tidak akan luput dari masa lalu. Jadi biar
kulanjutkan cerita tentang tanggal delapan bulan itu.
Dengan tertahan, di balik bantal,
ia menceritakan kembali kisah memilukan itu pada sosok perempuan yang ia temui
di sampingnya. Kadang menangis, kadang tertawa, kadang jujur, kadang pula
menyembunyikan. Perempuan itu membiarkannya mengalir, baik kata-kata dan juga
air mata, sambil sesekali memegang erat tangan anak itu. Pertanyaan demi
pertanyaan mengalir dari mulut kecil itu, apakah untuk bertanya atau memang
mempertanyakan, perempuan itu tidak berani menebak, juga tidak berani menjawab.
Hanya diam. Diam yang dibenci oleh anak perempuan itu karena sudah terlalu lama
ia bersembunyi dalam diam. Ia tidak ingin lagi berkawan dengan diam. Namun siapalah
anak perempuan itu dibandingkan dengan kesunyian yang lebih mengetahui
kepedihan yang dirasa? Maka seperti persahabatnnya dengan sosok laki-laki yang
disayanginya, pertemanan dengan diam juga tak dapat dielakkan. Dan ia semakin
menangis. Juga perempuan itu.
Menunggu redanya air mata si anak
perempuan berarti menunggu datangnya hujan yang sepertinya akan sangat lebat. Sedan
anak itu mulai melambat sementara angin di luar mulai bergemuruh. Dan dua
kejadian paralel itu membuat perempuan polos itu bertanya-tanya, mana badai
yang lebih mengerikan, di dalam atau di luar?
Setelah hampir benar-benar
berhenti, anak perempuan itu mengatakan pada perempuan yang lebih tua darinya
bahwa yang lebih menyakitkan ternyata
bukan saat kehilangannya, melainkan saat kita tidak diberi kesempatan untuk
menikmati kehilangan itu. Apa rupanya dasar anak itu mengatakannya? Selidik
punya selidik setelah si perempuan menanyakannya, adalah karena anak itu tidak
diberi kesempatan untuk menyembuhkan hatinya. Setiap kali ingin menangis, ada
saja yang menentangnya dengan keras. Setiap kali ingin berduka, ada saja yang
mengomentari dengan sinis. Selama ini, baik menangis dan berduka ia lakukan
dalam diam. Ini rupanya yang membuatnya benci akan diam. Teman setianya.
Dan untuk beberapa lamanya ke
depan, perempuan polos itu menggerakkan tangan yang tergerakkan oleh hatinya
untuk merengkuh anak itu ke dalam dekapannya. Syahdu sekali pemandangan itu. Saking
khidmatnya terasa sampai di bumi bahwa penjaga-penjaga langit berhenti melakukan
aktivitasnya demi untuk menonton peristiwa itu. Tidak ada angin yang berhembus
semilir kecuali nafas memburu dari perempuan yang terlalu terguncang dengan
kisah anak itu. Tidak ada bau-bauan lain selain dari bau dari rambut anak
perempuan yang tersibak. Tidak ada suara bahkan sedenting jarum yang jatuh
kecuali suara bisik aku ada di sini
untukmu dari perempuan kepada anak perempuan itu. Peristiwa menyatunya dua
hati. Hati. Hati… untuk pertama kalinya perempuan itu paham apa itu hati. Penerang.
Dan pertama kali juga untuk anak
itu terobati hatinya. Ada sosok teman baru dalam persahabatan dengan diamnya. Teman
baru yang mempersilakannya untuk berteriak dan meraung, untuk merasa kehilangan
dan duka, untuk melepaskan segala isak, untuk mengamukkan badai di dalamnya
keluar, untuk merobek sekalian lubang-lubang kecil di hatinya, untuk sengaja
benar meneteskan air garam di atas lukanya. Seiring dengan amukan yang keluar
dari mulut kecil seorang anak berhati seluas samudera, tetesan di luar jatuh. rupanya penjaga langit mulai tersadar harus melakukan tugasnya. toh manusianya sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. maka mereka membawa
pergi serpihan-serpihan luka hati yang berhasil dikorek, jauh, sejauh mungkin.
*
hari dan tokoh berikutnya bersambung :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar