Bagaimana bisa aku melihat terang kalau selama ini, masih belasan
memang usiaku, sekelilingku adalah gelap? Mana aku tau terang itu seperti apa,
kalau selama ini yang selalu akrab adalah gelap? Apa yang kata orang, ada
baiknya kau tau gelap untuk tau apa itu terang? Di mana letak indahnya gelap
kalau memang diantara gelap itu hanya semburat suram yang selalu kudapat,
bahkan yang secercah terang pun tak nampak? Di mana ujung dari segala derita
ini?
Ah, sialan! Lagi-lagi menulis
gila. Ya, daripada aku jadi gila. Atau memang aku sudah gila? Tapi sepertinya
belum , karena aku masih sadar bahwa aku gila, dan itu berarti aku tidak gila,
bukan? Tuhan, kalau aku lebih baik gila, gilakan saja aku. Atau masih adakah
zat yang bisa kupanggil dengan sebutan Tuhan? Atau kalau tidak ada, seseorang,
kumohon, matikan aku. Atau masih adakah sosok manusia yang bisa kupanggil
dengan seseorang? Atau kalaupun tidak ada seorangpun kecuali aku, bukan tidak
mungkin aku mematikan aku.
Lebam semua. Mungkin juga aku
lupa bahwa merah adalah darah dan putih adalah tulang. Sebab semua biru
kehijauan serba kehitaman, memar.
Nyeri sekali, kepalaku, kena
tendang. Berdarah sedikit sepertinya karena sempat kuhindari lemparan itu.
Berdenyut nadiku cepat sekali, beruntung bisa kulawannya dengan teriakan.
Perih, tergores kuku yang mencakarku.
Aku bertanya-tanya apakah hati
itu tetap merah kalau terus dilukai dan memar hingga bernanah? Tidakkah ia biru
lebam dan malah harusnya hancur berkeping? Sudah bertahun-tahun. Lebih pekak
daripada telinga yang mendengar caci, karena lebih dalam kena tajamnya lidah
yang menusuk. Juga rasanya lebih ringkih daripada linuku akan narkosa. Tapi dia
belum pernah mati sekalipun.
Entah siapa yang harus
dipersalahkan atas segala hal yang menyiksa ini. Orang bilang aku patut
bersyukur karena diberikan hati yang hidup, nyatanya aku tidak hidup. Orang
bilang aku beruntung karena masih bisa merasa, nyatanya aku mati rasa. Aku
tidak percaya pada orang-orang. Aku percaya pada terang yang mana kini remang.
Paling tidak, pernah percaya.
Gelap. Aku takut. Tidak ada
terang itu. Sampai belasan tahun kemudian, terpaksa aku hidup dalam bayangan,
semua tanpa berontak. Karena yang aku tahu, sekali berontak, sekali sepak.
Sekali berontak, sekali sayatan. Sekali berontak, sekali bunuh diri. Sekali
lagi, maka aku mati. Maka aku biarkan diriku hidup, seadanya, daripada mati
tanpa daya.
Soal cita-cita, rasanya hanya itu
yang menguasai pikiranku setiapku melangkah. Orang tua aku tak ingat, sahabat
aku tak ingat, lupakan semua. Ketika sudah tidak ada orang lain lagi di dalam
hidupku, untuk siapa lagi aku hidup kecuali untukku? Dan begitulah kisahku
belasan tahun lamanya, terseok. Akhirnya aku berhasil melarikan diri dari
rumah. Aku mandiri. Aku kuliah, aku bekerja, aku membayar kos-kosan, aku
membeli baju makan sendiri, aku bersusah payah menabung untuk semua itu, aku
mengejar beasiswa, aku harus lulus, aku punya cita-cita, aku bertumbuh dewasa.
Tulisan yang patah-patah ini
persis seperti perjalananku hingga kepala dua ini. Tentunya zat yang bernama
Tuhan itu dengan kehendakNya yang seenaknya menggariskanku demikian. Garis yang
patah-patah. Dan setiap patahan memaksaku untuk bertumbuh dari rasa sakit.
Terus dan terus demikian saja hingga terbentuklah satu kesatuan garis yang
menyusun liku hidupku. Aku tak pernah bisa membayangkan akan sepanjang apa
garisku. Akankah dia berhenti di patahan kesekian atau, ah, sudah aku tak akan
bisa mengetahuinya.
Mungkinkah aku adalah petunjuk? Kadang aku pernah berpikir demikian.
Petunjuk bagi orang lain. Pernahkah kalian melihat buku panduan untuk anak
sekolah, hubungkan titik-titik berikut dan tebak gambar apakah itu? ya, mungkin
saja dari garis patahanku nantinya kalau disusun dan digabungkan akan jadi
gambar yang menyenangkan, membahagiakan.
HAHAHA lagi-lagi menulis bodoh,
wahai pemikir bodoh! TERbodoh. Sudahnya miris karena setiap perjalanan adalah
luka, bahkan harus sampai menghibur diri sendiri untuk mengobatinya?? Sudah
kuremas saja kertas tulisan bodoh itu. Remas yang berisi sedikit asa, mungkin
aku bisa seperti itu. Remas yang
penuh dengan keringat di tangan, tanda perjuangan mungkin aku akan menjadi seperti itu. Baiknya kubuka
kembali kertas itu dan kuselipkan di diariku. Dan kubiarkan mata sembabku
memaksaku memejamkan mata. Mudah-mudahan malam ini sedikit kebaikan mimpi
senantiasa hadir menemaniku.
“Akulah terang yang tenggelam. Akulah yang kucari. Akulah yang
kudamba.”, bisikku sebelum benar-benar terlelap dan suara pecahan piring
terdengar mengawali mimpi malam ini. Mimpi yang sama. Tidak ada yang baik. Aku
tidak akan jadi terang. Terangku hanya lampu kamar kosanku. Semoga aku bangun
besok pagi dengan melihat semburat lampu sebagai terang pertama yang kudapati
setiap harinya. Paling tidak, aku akan bangun. Selamat malam duniaku.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar