Senin, 02 Juli 2012

terang (2)


Bagaimana bisa aku melihat terang kalau selama ini, masih belasan memang usiaku, sekelilingku adalah gelap? Mana aku tau terang itu seperti apa, kalau selama ini yang selalu akrab adalah gelap? Apa yang kata orang, ada baiknya kau tau gelap untuk tau apa itu terang? Di mana letak indahnya gelap kalau memang diantara gelap itu hanya semburat suram yang selalu kudapat, bahkan yang secercah terang pun tak nampak? Di mana ujung dari segala derita ini?

Ah, sialan! Lagi-lagi menulis gila. Ya, daripada aku jadi gila. Atau memang aku sudah gila? Tapi sepertinya belum , karena aku masih sadar bahwa aku gila, dan itu berarti aku tidak gila, bukan? Tuhan, kalau aku lebih baik gila, gilakan saja aku. Atau masih adakah zat yang bisa kupanggil dengan sebutan Tuhan? Atau kalau tidak ada, seseorang, kumohon, matikan aku. Atau masih adakah sosok manusia yang bisa kupanggil dengan seseorang? Atau kalaupun tidak ada seorangpun kecuali aku, bukan tidak mungkin aku mematikan aku.
Lebam semua. Mungkin juga aku lupa bahwa merah adalah darah dan putih adalah tulang. Sebab semua biru kehijauan serba kehitaman, memar.

Nyeri sekali, kepalaku, kena tendang. Berdarah sedikit sepertinya karena sempat kuhindari lemparan itu. Berdenyut nadiku cepat sekali, beruntung bisa kulawannya dengan teriakan. Perih, tergores kuku yang mencakarku.

Aku bertanya-tanya apakah hati itu tetap merah kalau terus dilukai dan memar hingga bernanah? Tidakkah ia biru lebam dan malah harusnya hancur berkeping? Sudah bertahun-tahun. Lebih pekak daripada telinga yang mendengar caci, karena lebih dalam kena tajamnya lidah yang menusuk. Juga rasanya lebih ringkih daripada linuku akan narkosa. Tapi dia belum pernah mati sekalipun.

Entah siapa yang harus dipersalahkan atas segala hal yang menyiksa ini. Orang bilang aku patut bersyukur karena diberikan hati yang hidup, nyatanya aku tidak hidup. Orang bilang aku beruntung karena masih bisa merasa, nyatanya aku mati rasa. Aku tidak percaya pada orang-orang. Aku percaya pada terang yang mana kini remang. Paling tidak, pernah percaya.

Gelap. Aku takut. Tidak ada terang itu. Sampai belasan tahun kemudian, terpaksa aku hidup dalam bayangan, semua tanpa berontak. Karena yang aku tahu, sekali berontak, sekali sepak. Sekali berontak, sekali sayatan. Sekali berontak, sekali bunuh diri. Sekali lagi, maka aku mati. Maka aku biarkan diriku hidup, seadanya, daripada mati tanpa daya.

Soal cita-cita, rasanya hanya itu yang menguasai pikiranku setiapku melangkah. Orang tua aku tak ingat, sahabat aku tak ingat, lupakan semua. Ketika sudah tidak ada orang lain lagi di dalam hidupku, untuk siapa lagi aku hidup kecuali untukku? Dan begitulah kisahku belasan tahun lamanya, terseok. Akhirnya aku berhasil melarikan diri dari rumah. Aku mandiri. Aku kuliah, aku bekerja, aku membayar kos-kosan, aku membeli baju makan sendiri, aku bersusah payah menabung untuk semua itu, aku mengejar beasiswa, aku harus lulus, aku punya cita-cita, aku bertumbuh dewasa.

Tulisan yang patah-patah ini persis seperti perjalananku hingga kepala dua ini. Tentunya zat yang bernama Tuhan itu dengan kehendakNya yang seenaknya menggariskanku demikian. Garis yang patah-patah. Dan setiap patahan memaksaku untuk bertumbuh dari rasa sakit. Terus dan terus demikian saja hingga terbentuklah satu kesatuan garis yang menyusun liku hidupku. Aku tak pernah bisa membayangkan akan sepanjang apa garisku. Akankah dia berhenti di patahan kesekian atau, ah, sudah aku tak akan bisa mengetahuinya.

Mungkinkah aku adalah petunjuk? Kadang aku pernah berpikir demikian. Petunjuk bagi orang lain. Pernahkah kalian melihat buku panduan untuk anak sekolah, hubungkan titik-titik berikut dan tebak gambar apakah itu? ya, mungkin saja dari garis patahanku nantinya kalau disusun dan digabungkan akan jadi gambar yang menyenangkan, membahagiakan.

HAHAHA lagi-lagi menulis bodoh, wahai pemikir bodoh! TERbodoh. Sudahnya miris karena setiap perjalanan adalah luka, bahkan harus sampai menghibur diri sendiri untuk mengobatinya?? Sudah kuremas saja kertas tulisan bodoh itu. Remas yang berisi sedikit asa, mungkin aku bisa seperti itu. Remas yang penuh dengan keringat di tangan, tanda perjuangan mungkin aku akan menjadi seperti itu. Baiknya kubuka kembali kertas itu dan kuselipkan di diariku. Dan kubiarkan mata sembabku memaksaku memejamkan mata. Mudah-mudahan malam ini sedikit kebaikan mimpi senantiasa hadir menemaniku.

“Akulah terang yang tenggelam. Akulah yang kucari. Akulah yang kudamba.”, bisikku sebelum benar-benar terlelap dan suara pecahan piring terdengar mengawali mimpi malam ini. Mimpi yang sama. Tidak ada yang baik. Aku tidak akan jadi terang. Terangku hanya lampu kamar kosanku. Semoga aku bangun besok pagi dengan melihat semburat lampu sebagai terang pertama yang kudapati setiap harinya. Paling tidak, aku akan bangun. Selamat malam duniaku.
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar