Kubaca-baca buku tentang
bagaimana menulis dan katanya dalam buku itu, biasakan menulis setiap harinya,
kurang lebih 20 menit. Biarkan mengalir, apapun ide ceritanya, jangan ragu
untuk mengawali menulis dan rasakan hingga akhir. Maka kuputuskan serta
kugenapkan hatiku untuk mulai menulis. Tentang kamu.
Kenapa kamu?
Karena denganmu, aku tidak ragu
memulai cerita. Maka kurasa wajar jika aku memulai belajar menulis dengan
menceritakan tentang kamu. Mungkin juga tentang kita. Aku punya 20 menit untuk
melantur, jadi bersiaplah untuk membacanya nanti. Aku menyadari bahwa waktu
yang 20 menit ini tidak akan bisa cukup untuk menceritakan kamu yang kukenal
tahunan. Maka lebih baik, yang 20 menit ini kupakai untuk menghayati 20 menit
bersamamu.
Merindukanmu disini. Memang tidak
sedahsyat yang kala itu. tapi tetap, rindu adalah rindu, berapapun beratnya,
berapapun masanya, secuil atau sebongkah atau segunung, itulah rindu. Hanya memang
efeknya saja yang berbeda, dan sungguh-sungguh bisa mengubah aku dan caraku
menyikapi kehidupanku. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa tidak bosan
merindukanmu.
Apa yang kulakukan ketika
merindumu? Aku memikirkanmu, yang kadang bisa lebih sulit daripada soal ujian
masuk perguruan tinggi ternama berstandar internasional, kurasa. Sungguh. Neuron-neuron
yang berloncatan di otakku yang mengerti tentang asosiasi, sebenarnya, yang
membuatnya jadi rumit. Beberapa hal tentangmu berampur aduk. Ada yang ceria,
ada juga yang sendu, maka mulailah perjalanan roller coaster ku sendiri. dan di
sini aku berteriak, bukan untuk marah, bukan untuk sedih, tapi untuk menikmati.
Kamu tau kan, bagaimana tampaknya
orang yang menikmati permainan roller coaster?
Pertama, selalu terucap doa, yang
pasti, doa memohon agar dijaga agar selalu selamat dan tidak ada kekurangan
satu apapun, serta doa agar kepasrahan yang dijalani ini berakhir dengan
kelegaan. Persis seperti itulah aku. Mudah-mudahan, ini bukan mengumbar bahwa
aku sedemikian religiusnya, hanya saja aku belajar dari pepatah orang lama
tentang “tingkat merindukan level maksimal adalah bukan ketika kita tidak
saling berjumpa, bukan juga ketika kita tidak saling bersapa, tapi ketika kita
bersatu dalam dua untaian doa yang terpisah”. Maka namamu, empat kata itu,
terbisikkan dari mulutku setiap ku berdoa. Entah doa apapun itu, mau tidur, mau
makan, ketika solat, mau pergi, ya kubawa serta nama itu.
Kedua, tampak ceria. Ya, tidak
ada yang tahu apakah aku merasa takut aku akan jatuh dan hilang darimu
selamanya, juga tidak akan ada yang tahu aku akan terjebak selamanya di
permainan ini, dan tidak ada yang tahu juga bahwa sebenarnya aku teramat sangat
mengingkanmu lagi dan lagi. Persis seperti roller coaster. Hanya saja
mekaniknya Tuhan itulah. Ya, hanya keceriaan yang tampak ketika dilarikannya
roller coaster itu, tanpa ada yang tahu pergulatan di dalamku. Biar saja, toh
rindu ini memang sedemikiannya.
*
Ah rindu, rindu, rindu. Esok hari
kita berjumpa, bersua, saling peluk, saling dekap, saling erat, bagaimana bisa
setiap pertemuan malah memberiku alasan untuk merindumu dan bukan alasan untuk
melepas rindu?
Serasa kembali ke masa 10 sampai 6 tahun yang lalu...
BalasHapussaat itu Rindu terasa indah meski berat
kapan nikah neng?