Di sini aku, di tempat terakhir
kita bercumbu.
Aku terbaring di sini. Menunggumu
yang pergi sejak beberapa hari yang lalu. Ke mana kamu?
Hari ini hari Minggu. Dari pagi
tadi hingga detik ini, hujan tak kunjung berhenti. Di mana kamu?
Bertanya dan terus bertanya,
tentang perseteruan antara waktu dan rindu. Apakah pernah rindu merindukan
waktu dan waktu mengukur rindu? Rasanya tidak, rindu hanya merindu rindu dan
waktu mengukur waktu. Waktu tak pernah mengukur rindu. Hanya aku yang mengukur
rindu. Demikian rindu tak pernah merindukan waktu, hanya aku yang merindukan
waktu.
Terbang sudah aku dalam dunia
hitung-hitunganku. Kucoba menakar seberapa banyak sudah rindu yang mengendap,
juga seberapa rindu yang menguap. Ya, kuhitung. Sebab aku tak tahu harus
bagaimana lagi mengatasi rindu yang semakin lama semakin memuncak tanpa tahu di
titik mana ia akan berhenti dan stagnan. Aku tidak mau gila karena rindu.
Lalu kuambil timbangan dan
kutuangkan rinduku pada neraca itu. Kuluapkan padanya tentang rinduku yang
hanya satu. Satu rindu, yang nyatanya lebih berat daripada tumpukan pemberat
itu. Satu rindu yang tak setara dengan 5 ons, pun tak bisa seimbang dengan 1
kilogram. Satu rindu yang tak punya satuan berat, sehingga mau diapakan juga
tidak akan muncul persamaanya. Mungkinkah suatu saat, rindu akan menjadi satuan
berat, yang melebihi megaton atau entah berapa aku tak pernah pandai
matematika. Seberat itu, satu rinduku. Harus bagaimana melepasnya? Melepas dari
pundakku, melepas dari hatiku, melepas dari pikirku.
Kucoba juga mengambil takaran
fluida. Satuannya liter. Aku merasa rinduku meluap. Jadi sebaiknya kuukur
berapa banyaknya rindu ini. Selanjutnya, sama yang kulakukan, menuangkannya
perlahan, meneteskannya sedikit demi sedikit kepingan rindu itu, seolah rindu
berwujud sama dengan fluida itu. Tampak berisi takaran itu dengan tetesan
rinduku. Tapi tak tampak berapa liter sudah takaran itu terisi. Sudah kucoba
menuangkannya pada gelas ukur, tetapi mengapa hanya hati dan pikir yang terus
meluap? Hampir putus asa, aku memejamkan mata. Merasakan aliran rindu itu
semakin deras. Semakin lebat. Semakin hebat. Hampir saja kuterhanyut, mataku
terbuka. Ini gila. Rindu ini.
Jika dalamnya samudra dapat
diukur, begitu semestinya dengan rinduku. Masih di tempat terakhir kita
bercumbu, ragaku. Tapi pikirku ada tepat di tengah samudra, karena aku tengah
berada di tengah rinduku. Seberapa dalam rinduku, aku ingin tahu. Lalu
kutumpahkan semua rindu yang kurasa kepada hamparan air itu. Kali ini
kutumpahkan, tidak kutuangkan, sebab tidak perlu lagi menahan, tidak perlu lagi
peralahan. Semakin berani kutumpahkan, semakin menusuk rasaku hingga ke ulu
hati. Ulu hati? Inikah dasar dari rinduku? Sempat kurasakan ngilu, tapi
kuabaikan. Lalu kucoba bernafas perlahan, sedikit lega. Tampaknya terburu
melepas rindu malah menyiksaku. Mencoba menarik rindu yang terlanjur jatuh,
bukan hal yang mungkin. Maka sudah saja, berikutnya kucoba menuangkan sedikit
demi sedikit rinduku pada hamparan samudra itu. Perlahan, sama seperti
kutuangkan tetes rinduku pada gelas ukur. Tetapi nihil, semakin perlahan,
semakin kurasakan banyak sekali luapan rindu di dalamku. Semakin perlahan,
semakin tak tertahankan. Semakin perlahan, semaki kurasakan bahwa rinduku tak
terkatakan. Sekali lagi, aku tersiksa.
Bukan gelas ukur itu, bukan pula
samudra yang terukur. Rinduku, tak terbatas. Tolong aku.
Terbang sudah aku ke putaran
waktu. Masa-masa indah bersamamu. Melihatmu tersenyum padaku, melihatku
tersenyum kepadamu. Melihat jutaan senyum. Kupikir kunang-kunang yang mengitariku
dengan kerlip cahayanya. Ternyata bukan. Ternyata itu kita. Kita yang
beterbangan sejak 2 tahun yang lalu. Memang baru muda sekali usia waktunya,
tetapi begitu banyak cerita kita. Kuperhatikan kepingan itu. Mereka bergerak.
Gambar itu bergerak. Aku dan kamu yang bergerak. Bergerak saling mendekap.
Bergerak saling mencium. Bergerak saling berteriak. Bergerak saling
mencampakkan. Bergerak saling menatap. Bergerak saling berangkulan. Dan terus
bergerak. Betapa sangat aku menginginkan itu. Semua. Semakin kuperhatikan,
semakin sesak kurasa. Hampir tak bernafas, nyeri di dada, dan kurasakan ada
yang jatuh. Air mata manusia jatuh sebagai konsekuensi manusia merindukan
waktu.
Terhenyakku di tempat terakhir
kita bercumbu.
Tidak seharusnya aku mengukur rindu.
Tidak seharusnya aku merindukan waktu.
Berakhir sudah perjalanan
mengawangku, sayang. Sudah 4 hari sejak aku terbaring di tempat terakhir kita
bercumbu. Ya, aku menghitungnya dan aku benar menghitungnya. Sejak aku
terbaring di tempat terakhir kita bercumbu, aku merindukan mencumbumu dan aku
benar merasakannya.
Itu saja. Aku tak peduli dengan
pertarungan antara waktu dan rindu yang ingin menjadi penguasa atasku.
Aku tak ingin menjadi budak
mereka. Waktu yang terlalu semena-mena dengan perjalanannya yang kadang terlalu
cepat dan kadang terlalu lambat; waktu yang tak pernah cukup. Rindu yang
terlalu semena-mena dengan perjalanannya yang kadang terlalu buas dan kadang
begitu lembut; rindu yang tak pernah pas porsinya.
Karena aku hanya ingin satu yang
dua: menikmati merindu dan menikmati
waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar