Selasa, 15 Januari 2013

rindu dan waktu




Di sini aku, di tempat terakhir kita bercumbu.

Aku terbaring di sini. Menunggumu yang pergi sejak beberapa hari yang lalu. Ke mana kamu?

Hari ini hari Minggu. Dari pagi tadi hingga detik ini, hujan tak kunjung berhenti. Di mana kamu?

Bertanya dan terus bertanya, tentang perseteruan antara waktu dan rindu. Apakah pernah rindu merindukan waktu dan waktu mengukur rindu? Rasanya tidak, rindu hanya merindu rindu dan waktu mengukur waktu. Waktu tak pernah mengukur rindu. Hanya aku yang mengukur rindu. Demikian rindu tak pernah merindukan waktu, hanya aku yang merindukan waktu.

Terbang sudah aku dalam dunia hitung-hitunganku. Kucoba menakar seberapa banyak sudah rindu yang mengendap, juga seberapa rindu yang menguap. Ya, kuhitung. Sebab aku tak tahu harus bagaimana lagi mengatasi rindu yang semakin lama semakin memuncak tanpa tahu di titik mana ia akan berhenti dan stagnan. Aku tidak mau gila karena rindu.

Lalu kuambil timbangan dan kutuangkan rinduku pada neraca itu. Kuluapkan padanya tentang rinduku yang hanya satu. Satu rindu, yang nyatanya lebih berat daripada tumpukan pemberat itu. Satu rindu yang tak setara dengan 5 ons, pun tak bisa seimbang dengan 1 kilogram. Satu rindu yang tak punya satuan berat, sehingga mau diapakan juga tidak akan muncul persamaanya. Mungkinkah suatu saat, rindu akan menjadi satuan berat, yang melebihi megaton atau entah berapa aku tak pernah pandai matematika. Seberat itu, satu rinduku. Harus bagaimana melepasnya? Melepas dari pundakku, melepas dari hatiku, melepas dari pikirku.

Kucoba juga mengambil takaran fluida. Satuannya liter. Aku merasa rinduku meluap. Jadi sebaiknya kuukur berapa banyaknya rindu ini. Selanjutnya, sama yang kulakukan, menuangkannya perlahan, meneteskannya sedikit demi sedikit kepingan rindu itu, seolah rindu berwujud sama dengan fluida itu. Tampak berisi takaran itu dengan tetesan rinduku. Tapi tak tampak berapa liter sudah takaran itu terisi. Sudah kucoba menuangkannya pada gelas ukur, tetapi mengapa hanya hati dan pikir yang terus meluap? Hampir putus asa, aku memejamkan mata. Merasakan aliran rindu itu semakin deras. Semakin lebat. Semakin hebat. Hampir saja kuterhanyut, mataku terbuka. Ini gila. Rindu ini.

Jika dalamnya samudra dapat diukur, begitu semestinya dengan rinduku. Masih di tempat terakhir kita bercumbu, ragaku. Tapi pikirku ada tepat di tengah samudra, karena aku tengah berada di tengah rinduku. Seberapa dalam rinduku, aku ingin tahu. Lalu kutumpahkan semua rindu yang kurasa kepada hamparan air itu. Kali ini kutumpahkan, tidak kutuangkan, sebab tidak perlu lagi menahan, tidak perlu lagi peralahan. Semakin berani kutumpahkan, semakin menusuk rasaku hingga ke ulu hati. Ulu hati? Inikah dasar dari rinduku? Sempat kurasakan ngilu, tapi kuabaikan. Lalu kucoba bernafas perlahan, sedikit lega. Tampaknya terburu melepas rindu malah menyiksaku. Mencoba menarik rindu yang terlanjur jatuh, bukan hal yang mungkin. Maka sudah saja, berikutnya kucoba menuangkan sedikit demi sedikit rinduku pada hamparan samudra itu. Perlahan, sama seperti kutuangkan tetes rinduku pada gelas ukur. Tetapi nihil, semakin perlahan, semakin kurasakan banyak sekali luapan rindu di dalamku. Semakin perlahan, semakin tak tertahankan. Semakin perlahan, semaki kurasakan bahwa rinduku tak terkatakan. Sekali lagi, aku tersiksa.

Bukan gelas ukur itu, bukan pula samudra yang terukur. Rinduku, tak terbatas. Tolong aku. 

Terbang sudah aku ke putaran waktu. Masa-masa indah bersamamu. Melihatmu tersenyum padaku, melihatku tersenyum kepadamu. Melihat jutaan senyum. Kupikir kunang-kunang yang mengitariku dengan kerlip cahayanya. Ternyata bukan. Ternyata itu kita. Kita yang beterbangan sejak 2 tahun yang lalu. Memang baru muda sekali usia waktunya, tetapi begitu banyak cerita kita. Kuperhatikan kepingan itu. Mereka bergerak. Gambar itu bergerak. Aku dan kamu yang bergerak. Bergerak saling mendekap. Bergerak saling mencium. Bergerak saling berteriak. Bergerak saling mencampakkan. Bergerak saling menatap. Bergerak saling berangkulan. Dan terus bergerak. Betapa sangat aku menginginkan itu. Semua. Semakin kuperhatikan, semakin sesak kurasa. Hampir tak bernafas, nyeri di dada, dan kurasakan ada yang jatuh. Air mata manusia jatuh sebagai konsekuensi manusia merindukan waktu.

Terhenyakku di tempat terakhir kita bercumbu.

Tidak seharusnya aku mengukur rindu. Tidak seharusnya aku merindukan waktu.

Berakhir sudah perjalanan mengawangku, sayang. Sudah 4 hari sejak aku terbaring di tempat terakhir kita bercumbu. Ya, aku menghitungnya dan aku benar menghitungnya. Sejak aku terbaring di tempat terakhir kita bercumbu, aku merindukan mencumbumu dan aku benar merasakannya.
Itu saja. Aku tak peduli dengan pertarungan antara waktu dan rindu yang ingin menjadi penguasa atasku.

Aku tak ingin menjadi budak mereka. Waktu yang terlalu semena-mena dengan perjalanannya yang kadang terlalu cepat dan kadang terlalu lambat; waktu yang tak pernah cukup. Rindu yang terlalu semena-mena dengan perjalanannya yang kadang terlalu buas dan kadang begitu lembut; rindu yang tak pernah pas porsinya. 

Karena aku hanya ingin satu yang dua: menikmati merindu dan  menikmati waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar